PENGALAMAN KECILKU DI BULAN RAMADHAN
Oleh: Arya Noor Amarsyah Bustamam
arnabgaizir@yahoo.co.id
Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana kami sekeluarga menjalani hari-hari di bulan Ramadhan. Rumah kami terletak diantara stasiun Manggarai dengan stasiun Hias Rias Cikini. Namun rumah kami lebih dekat ke stasiuan Manggarai. Terletak di antara kedua stasiun itu, bukan berarti rumah kami terletak di tengah-tengah rel. Rumah kami terletak di pinggir rel kereta api. Maka tidak heran, bila teman-temanku datang ke rumah, mereka akan merasa terganggu. Berisik katanya. Lokasi rumah kami tepatnya terletak di belakang gedung Perintis Kemerdekaan. Itu lho, tempat dibacakannya teks Proklamasi. Jika para pembaca berjalan-jalan ke gedung yang terletak di jalan Proklamasi ini, maka para pembaca dapat mengetahui bahwa di bagian belakang gedung Perintis Kemerdekaan itu terdapat jalan rel kereta api. Rel kereta api yang menghubungkan stasiun Manggarai dan stasiun Hias Rias Cikini. Nah, di sekitar itulah dulu kami tinggal.
Aku anak sulung dari dua bersaudara. Usiaku terpaut dua tahun dengan adikku. Kami berdua sama-sama ‘jagoan’ alias anak laki-laki. Kami biasa berdua. Pergi sekolah bersama, berangkat bersama untuk mengikuti kegiatan pramuka dan sudah tentu kami sering berkelahi. Senjata andalan adikku dalam berkelahi adalah menggigit. Namun namanya anak kecil, cepat bertengkar dan cepat pula berdamai.
Ada suatu peristiwa yang membuatku takut dan jera berkelahi dengan adikku. Dalam suatu perkelahian, aku pukul hidung adikku. Hidungnya berdarah. Rasa sayangku padanya begitu mendominasi diriku, sehingga timbullah rasa iba dan penyesalan yang tiada bertepi. Mulai saat itu, aku menjadi jera untuk berkelahi dengannya.
Walau kami sering berkelahi, namun kami kompak di bulan Ramadhan. Aku tidak ingat lagi mulai usia berapa kami berpuasa. Yang kuingat, kami tidak pernah merasakan puasa setengah hari. Makanya, ketika adzan maghrib berkumandang, kami segera berlarian. Maklum, anak kecil sedang kelaparan.
“Dug, dug, dug. Allahu Akbar…..Allahu Akbar!
“Bedug!” teriak kami.
Kami sama-sama berlari menuju pintu pagar dan terus berlari hingga ke bagian belakang rumah. Kami berlari menuju ke ruang makan. Memang rumah kami tidak terlalu besar. Hanya saja, rumah kami memanjang ke belakang. Bagian depan adalah areal yang biasa digarap oleh ibuku. Ibu membuat kebun kecil-kecilan. Berbagai macam tanaman ada di sana, termasuk sebuah pohon sirsak. Bagian selanjutnya adalah teras dan diikuti dengan ruang tamu. Di belakang ruang tamu terdapat kamarku dan adikku. Kami berada di kamar yang sama. Kami tidur di tempat tidur bertingkat. Aku di atas dan adikku di bawah. Di belakang kamarku ada kamar ayah dan ibuku. Nah, di belakang kamar inilah terdapat ruang makan. Ruang makanlah yang menjadi tujuan kami, ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang. Seolah kami sedang berlomba lari. Lomba lari jarak 100 m. Tanda dimulainya lomba ini bukanlah letusan pistol, tapi suara bedug dan adzan maghrib. Garis finish-nya adalah ruang makan. Begitu sampai di ruang makan, sirup yang sudah tersedia, langsung kami ‘sikat’. Kolak ubi pun tidak dapat bertahan lama. Dalam sekejap, 1 gelas kolak kami ‘gasak’.
Sesaat setelah kami shalat maghrib dan makan; aku, adikku dan seorang tetangga langsung berangkat ke masjid Sunda Kelapa. Jarak antara rumah kami dan masjid Sunda Kelapa cukup jauh, kurang lebih 2,5 km hingga 3 km. Karena itulah, kami berangkat secepat mungkin. Kami bertiga; aku, adikku dan tetanggaku yang bernama Sahono berangkat menuju ke masjid. Semuanya mengenakan celana pendek, dengan sarung dililit dipinggang dan sebuah sajadah kami genggam atau kami letakkan di atas pundak.
Kami berjalan sejajar dengan rel kereta api. Selanjutnya, masuk jalan seukuran gang. Melintasi Gg. Anyer 17 dan 16 dan terus berjalan hingga ke ujung gang. Sesampainya di ujung gang, kami memasuki jalan yang lebih besar. Jalan yang bisa dilalui oleh mobil. Namun, karena jalan tersebut buntu di ujung gang tadi, maka jarang sekali mobil yang melalui jalan itu. Jika pun ada mobil yang lalu lalang, itu berarti mobil milik penghuni di sekitar situ atau tamu dari penduduk daerah itu.
Kami bertiga terus menyusuri jalan itu. Berjalan melintasi Gg. Anyer III, Anyer II, Anyer I. Terus berjalan hingga sampai di ujung jalan. Di ujung jalan itu, berdirilah sebuah Sekolah Lanjutan Pertama, SLTP VIII namanya.
Bagaimana para pembaca? Terbayangkah oleh para pembaca jarak yang cukup jauh? Tapi bagi kami walaupun masih SD, jarak sejauh itu tidak menjadi masalah. Ayah biasa mendidik kami hidup prihatin. Kami biasa berjalan kaki, bila ke rumah nenek yang terletak di jalan Ungaran. Aku, adikku dan ayah terkadang berjalan kaki ke rumah mak ‘ngah (kakak perempuan dari ibu) yang terletak di jalan Kenari.
Namun perjalanan menuju masjid Sunda Kelapa tidak sampai di situ. Kami memasuki jalan Mangunsarkoro. Terus berjalan dengan dua kali menyeberangi jalan raya. Hingga akhirnya, kami sampai di masjid Sunda Kelapa.
Masjid Sunda Kelapa termasuk masjid yang cukup besar di Jakarta. Masjid ini memiliki halaman berumput yang cukup luas dan halaman tidak berumput yang juga cukup luas. Bangunan masjidnya sendiri terletak di bagian atas. Untuk sampai di ruang utama, kita harus melewati beberapa buah anak tangga. Ruang utama berada di tengah dan diapit oleh ruang selasar/beranda yang terletak di kanan kirinya. Kami biasanya shalat di selasar bagian kanan.
Di selasar bagian kanan itu, sudah menunggu 3 orang teman kami bahkan terkadang 6 orang teman. 3 orang teman itu terdiri adalah 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Arief. Dia teman sekelasku. Sedangkan kedua adiknya tidak setingkat dengan adikku, namun kami semua bersekolah di tempat yang sama. 3 orang lainnya lagi, juga 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Danny. Dia juga teman sekelasku. Sedangkan adiknya merupakan teman sekelas adikku. Danny bersaudara ini juga bersekolah di tempat yang sama dengan kami. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya suasana shalat Tarawih, bila semuanya berkumpul.
Ada saja yang membuat kami bercanda di saat shalat Tarawih. Mulai dari meneriakkan kata ‘aamiin’ dengan tidak wajar, bersenggol-senggolan dalam shalat, hingga tertawa-tawa dalam shalat. Sampai pada suatu ketika, kami ditegur oleh penceramah Tarawih saat itu. Pembaca ingin tahu, siapa penceramah Tarawih saat itu?? Penceramah Tarawih saat itu adalah Bung Tomo. Itu lho, pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya. Dengan suaranya yang berwibawa, beliau bertanya pada kami, “Apakah kalian yang tadi berisik ketika shalat Tarawih sedang berlangsung?”
“Ya, benar,” jawab kami sambil mengangguk tertunduk.
Keesokkan harinya, kami tetap menunaikan shalat Tarawih. Namun kali ini tidak disertai dengan ‘aksi ribut kami’. Kami menunaikan shalat Tarawih dengan tenang. Seusai menunaikan shalat Tarawih, bung Tomo menemui kami kembali. Tapi kali ini bukan untuk menegur kami. Beliau menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang, sebagai imbalan karena kami tidak melakukan aksi ribut. Itulah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.
Usai menunaikan shalat, kami semuanya pergi menuju ke bagian sekretariat masjid Sunda Kelapa. Sebagai anak SD, kami ditugaskan oleh guru agama untuk meminta tanda tangan penceramah dan stempel masjid. Tanda tangan penceramah dan stempel masjid ini merupakan bukti bahwa kami telah menunaikan shalat Tarawih. Berapa kali dalam bulan Ramadhan kami menunaikan shalat Tarawih, semuanya dapat dilihat dalam lembaran yang diberikan oleh guru agama. Dalam lembaran ini terdapat beberapa kolom. Kolom hari pertama hingga hari terakhir bulan Ramadhan, judul ceramah, tanda tangan penceramah dan stempel masjid.
Ketika sampai di sekretariat masjid, kami berebutan meminta tanda tangan. Karena tidak hanya dari sekolah kami saja yang diberi tugas oleh guru agama. Banyak sekolah lain yang juga ditugasi oleh guru agamanya. Banyak tangan terangkat pada saat itu memegang selembar kertas.
“Pak saya dulu pak!”
“Pak saya dulu pak!” teriak yang lain.
Penceramah Tarawih atau orang yang mewakilinya dikelilingi oleh puluhan anak-anak SD. Tidak ubahnya dengan seorang pencopet yang sedang dikeroyok oleh massa. Atau tidak ubahnya remah makanan yang dirubungi semut.
Setelah dewasa, terkadang aku berpikir. Mengapa aku dan adikku dapat menempuh jalan yang sebegitu jauh? Belum lagi dilanjutkan dengan aktivitas shalat yang juga menguras tenaga? Apakah karena mendapat tugas dari guru agama? Atau karena lainnya?
Setelah dipikir-pikir, jawabannya satu. Segala perbuatan -betapapun beratnya- yang dilakukan dengan senang hati, suka cita dan penuh keikhlasan, tidak akan terasa memberatkan. Hanya saja ada perbedaan dalam pengertian senang hati dan suka cita. Senang hati dan suka cita di saat kecil berawal dari bercanda. Sedangkan senang hati dan suka cita di saat dewasa berangkat dari keikhlasan karena Allah (itulah yang selalu kita upayakan).
Kalau malam hari diisi dengan shalat Tarawih, lain halnya siang hari di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan di masa kecilku dulu merupakan hari-hari libur. Walhasil, tidak ada satupun kegiatan sekolah yang kami lakukan. Apa yang kami lakukan di pagi atau siang hari di bulan Ramadhan? Salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan pada saat itu adalah menyewa komik. Ada komik serial si Tolol karya Djair, ada komik serial Mandala karya Man dan komik-komik lainnya. Biasanya serial komik-komik itu berjilid-jilid. Sehingga untuk menghabiskan satu judul komik, cukup memakan waktu. Bila sedang membaca komik, lapar dan haus sepertinya tidak dirasa. Jadi, berpuasa di siang hari tidak terasa melelahkan. Kalau lelah, kami tinggal tidur.
Bagi kami, kegiatan membaca bukanlah hal yang membosankan. Karena kedua orang tua kami, terutama ayah adalah seorang kutu buku. Seorang yang gemar membaca. Kalau para pembaca melihat koleksi buku ayah kami, mungkin akan terkagum-kagum. Banyak sekali koleksi buku ayah kami, ratusan jumlahnya. Suatu jumlah yang menurutku cukup banyak. Selain itu, aku dan adikku sering dibelikan komik, novel Lima Sekawan dan buku-buku lainnya. Sehingga membaca juga menjadi hobi kami.
Nampaknya gemar/hobi membaca perlu ditumbuhkan. Sehingga anak-anak, tunas-tunas muda tidak hanya melulu disuguhi oleh berbagai macam jenis games. Games bukan suatu hal yang tidak berguna, namun membaca juga tidak kalah pentingnya.
Bila sore hari telah tiba, saat-saat menjelang maghrib semakin dekat. Namun tidak berarti aku dan adikku dapat bersantai menunggu maghrib sambil menonton televisi. Bulan Ramadhan biasanya identik dengan sirup, batu es dan kolak. Berbuka puasa tanpa es sirup seperti kurang lengkap rasanya. Oleh karena itu, aku atau adikku diberi tugas untuk membeli es batu. Pada saat itu, kulkas atau lemari es masih merupakan barang yang mewah. Orang yang memiliki lemari es masih bisa dihitung. Jadi jika mau es batu, kita harus membelinya di depot-depot es.
Pukul 16.00 atau 16.30 adalah waktu yang tepat untuk berangkat membeli es batu. Untuk mencapai depot es terdekat, aku harus menempuh jalan sekitar 150 - 200 m.
Dengan membawa satu buah kantong plastik, aku berjalan menuju depot es yang terletak di jalan Tambak. Udara yang tidak terlalu panas dan terkadang disertai dengan buaian angin sepoi-sepoi, membuatku tidak merasa berat memikul tanggung jawab ini. Dengan langkah seperti orang yang tidak berpuasa, aku pun sampai di depot es itu. Kalau sedang beruntung, aku dapat segera mendapatkan esnya. Namun jika agak terlambat datang ke depot es, maka peminatnya akan semakin banyak. Itu berarti, persaingan untuk mendapatkan es juga semakin ketat. Bila ini terjadi -bahkan sering terjadi-, berebut untuk minta dilayani terlebih dahulu terciptalah. Aksi saling mendorong pun terkadang ikut mewarnai.
Setelah berhasil memperoleh sebongkah es batu, aku pun pulang dengan riang. Riang karena berhasil mengalahkan beberapa orang rival dan riang menyambut datangnya bedug adzan Maghrib.
Tulisan ini kubuat sebagai media diriku dan adikku untuk mengucapkan rasa hormat dan beribu-ribu terima kasih kepada kedua orang tua kami. Kedua orang tua yang telah mendidik dan menyayangi kami semenjak kecil. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami. Dan, semoga Allah menyayangi mereka, sebagaimana mereka menyayangi kami semenjak kecil. Aamiin.
TULISAN INI BERHASIL MASUK 10 BESAR DAN MENDUDUKI PERINGKAT KETUJUH