Minggu, 25 Mei 2008

PENYAKIT KLASIK

PENYAKIT KLASIK

Macet merupakan masalah klasik di ibukota Jakarta, khususnya. Orang yang berangkat dari Bogor akan sampai di Rasuna Said lebih dulu, dari orang yang berangkat dari Kali Malang, Jakarta Timur. Itulah yang pernah terjadi. Mengapa? Karena jalur dari Bogor ke Jakarta (jalan tol Jagorawi), tidak terkena macet. Sementara jalur dari Kali Malang terkena macet.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi kemacetan ini. Pembangunan jalan tol misalnya. Dengan adanya jalan tol, mungkin jalan-jalan di luat tol akan terasa lengang dan lancar. Namun ternyata, kemacetan berpindah ke jalan tol.

Pengoperasian bus way dan pembangunan jalannya. Memang dengan adanya bus way, berarti ada jalur khusus yang bebas kemacetan. Karena hanya bus way saja yang boleh melewati jalur khusus itu. Mungkin tidak ada bedanya dengan rel kereta api. Hanya kereta api yang boleh melewati rel kereta api.

Dengan adanya bus way, orang-orang yang enggan membawa mobil atau merasa keletihan membawa mobil ke kantor, maka dia akan menggunakan jasa angkutan ini. Bila ratusan, ribuan orang berpikiran seperti ini, mungkin jumlah kendaraan di jalan akan berkurang.

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Jalan yang dijadikan sebagai jalur khusus bus way mengambil jalanan yang telah ada. Sehingga lebar jalanan yang telah menjadi sempit. Akibatnya, kendaraan yang ada di jalanan yang dilalui jalur khusus bus way menjadi menumpuk alias macet.

Program three in one juga merupakan suatu upaya untuk menekan tingkat kemacetan di ibu kota Jakarta. Sasaran dari program ini adalah orang-orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu. Setiap anggota keluarga memiliki kendaraan masing-masing. Jadi, bila seorang ayah melewati jalur three in one untuk menuju kantornya dan anggota keluarga yang lain juga melewati jalur three in one di waktu yang sama, maka keinginan untuk menaiki kendaraan pribadi masing-masing dapat diredam.

Pembangunan jalan fly over juga merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kemacetan. Namun ternyata kemacetan hingga kini masih saja menghiasi jalan-jalan di ibukota Jakarta.

Saya pernah berpikir, bagaimana cara untuk mengatasi kemacetan. Saya mencoba mengamati. Diantaranya jalan yang ada di sekitar Asrama Haji Pondok Gede. Jika musim haji tiba, jalanan yang ada di sekitar Asrama Haji menjadi macet. Pasalnya, volume kendaraan yang melewati jalanan itu banyak, namun jalanan yang dilalui kendaraan itu kecil.

Melihat kenyataan ini, salah satu cara yang mungkin dapat mengatasi kemacetan adalah memperlebar jalan. Berdasarkan keterangan orang-orang yang pernah ke luar negri, katanya jalan-jalan di sana lebar. Dalam satu baris ke samping dapat menampung mobil dalam jumlah yang banyak.

Masih berdasarkan kenyataan di atas, tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang banyak, hendaknya terletak di jalan-jalan raya dan bukan jalan seperti yang terdapat di sekitar Asrama Haji Pondok Gede.

Kata orang bijak, jika kita menghadapi suatu permasalahan, coba cari penyebabnya. Seorang anak kecil yang menderita demam atau suhu tubuh sedang tinggi, jangan langsung disimpulkan bahwa anak itu sedang influenza. Sebab suhu tubuh yang tinggi dapat ditimbulkan oleh demam berdarah, influenza, flu burung atau yang lainnya.

Jadi, mungkin kita perlu bertanya. Mengapa terjadi kemacetan di Jakarta? Apakah karena disebabkan banyaknya penduduk desa, luar kota yang datang ke Jakarta? Mungkin saja. Soalnya bukan rahasia lagi, bila orang-orang yang tinggal di Bekasi bekerja di Jakarta. Orang-orang yang bertempat tinggal di Tanggerang, bekerja di Jakarta.

Jika ini masalahnya, nampaknya pemerintah perlu membuka lapangan pekerjaan di daerah-daerah atau desa-desa. Membuka lapangan pekerjaan di desa tidak juga berarti mengganti lahan pertanian menjadi pabrik atau industri. Bagaimana menurut pembaca? Ada masukan?

Senin, 05 Mei 2008

BELAJAR DARI NYAMUK

BELAJAR DARI NYAMUK

Pernahkah kita mengeluh karena merasa amat lelah bekerja? Pernahkah kita merasa diperlakukan tidak adil, karena tenaga dan pikiran yang kita keluarkan dalam mencari nafkah tidak seimbang dengan imbalan yang diterima?

Sikap mengeluh dan perasaan yang tergambar di atas, mungkin sering kita temukan, bahkan mungkin kita rasakan sendiri.

Tapi pernahkah kita terpikir, bagaimana perjuangan seekor nyamuk dalam mencari nafkah? Dia terbang dan hinggap di kulit seseorang dan pindah lagi ke kulit yang lainnya. Nyamuk adalah hewan yang senantiasa membutuhkan transfusi darah. Pekerjaannya untuk mencari makan selalu mengandung resiko. Betapa tidak? Taruhannya nyawa. Sedikit saja dia bengong atau keasyikan menghisap darah seseorang, maka nyawanya akan melayang. Plak! “Mati kau!” begitulah maki orang yang darahnya dihisap oleh nyamuk.

Kelelahan dan kejemuan kita dalam bekerja dan mencari nafkah tidak sebanding resiko yang harus ditanggung oleh seekor nyamuk.

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh shaum atau shalat. Beliau ditanya, "Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Bekerja mencari nafkah penghidupan." (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah)

Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ra, tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Sa'ad, beliau bersabda, "(Ini adalah)dua tangan yang dicintai Allah ta'ala."

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS Al-Baqarah (2):26)