Jumat, 28 Desember 2007

BERSYUKUR 1

BERSYUKUR I
Allah swt berfirman yang artinya: “Dan ingatlah juga, tatkala Robmu memaklumkan “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”(QS 14:7) .

Kita baru merasakan nikmatnya melihat, manakala mata kita sakit. Kita akan teringat nikmatnya mendengar suara alam, burung berkicau, tatkala telinga kita tersumbat air. Kita akan bersyukur telah berhasil mengecap pendidikan bila kita melihat ada anak yang putus sekolah. Kenapa demikian ??. Sudah begitu keraskah hati kita. Padahal Allah swt memberikan pilihan dengan cara menambah nikmat-Nya bagi orang yang bersyukur. Dan Allah juga mengancam dengan adzab-Nya yang pedih bagi orang-orang yang kufur nikmat. Bagi orang yang berakal tentu akan memilih sikap bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya.

Syukur atas nikmat, merupakan bukti berbaktinya manusia kepada Allah. Bagi orang yang telah mengesakan Allah sebagai penciptanya. Bagi orang yang telah menetapkan dirinya hanya mengabdi, menyembah dan beribadah kepada Allah saja, maka ia akan bersikap mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Allah swt berfirman yang artinya:…….syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah (QS 16:114).

Suatu ketika Abdurrahman ibn Jarir bertanya kepada Salamah bn. Dinar ( beliau salah seorang tabi’in atau orang yang hidup ketika generasi para sahabat Rasulullah saw masih ada ). Ia bertanya, “Wahai Abu Hazim ( panggilan Salamah bn. Dinar ), seringkali kita memperoleh sesuatu yang harus kita syukuri. Lantas bagaimana sebenarnya hakikat syukur itu ?”. Dijawab, “Untuk setiap bagian dari tubuh kita adalah syukur”. Kemudian ditanya bagaimana cara mensyukuri kedua mata. Abu Hazim menjawab bahwa mensyukuri kedua mata adalah menyiarkan kebaikan setelah kita melihat kebaikan itu dan menutupi keburukan setelah kita melihatnya. Adapun mensyukuri kedua telinga, kata Abu Hazim melanjutkan adalah engkau sadari atau engkau pahami apabila engkau mendengar kebaikan. Dan engkau tanam dalam-dalam tatkala engkau mendengar keburukan. Sedangkan bersyukur dengan kedua tangan adalah tidak menggunakannya untuk mengambil yang bukan hakmu dan tidak boleh dipakai untuk menghalangi hak-hak Allah swt. Kemudian Abu Hazim menerangkan bahwa barang siapa yang membatasi syukurnya hanya dengan lidahnya tanpa menyertakan anggota badannya, maka dia seperti seseorang yang memiliki pakaian yang hanya dibawa dengan tangannya tetapi tidak dipakainya. Dengan begitu ia tidak bisa terhindar dari terik matahari dan hawa dingin[1]. Sudahkah para konglomerat bersyukur dengan harta-hartanya?. Dan sudahkah para penguasa bersyukur dengan kekuasaannya?. Kita tunggu jawabannya.

[1] Insan Teladan dari Para Tabi’in, karya DR. Abdurrahman Ra’fat Basya

MENJELANG LEBARAN

MENJELANG LEBARAN
Peristiwa ini terjadi di masa pemerintahan khalifah Al-Makmun. Di masa itu, hiduplah tiga orang sahabat yang masing-masing bernama Abu Abdullah Al-Waqidi, Wafa bin Rafi' dan Ahmad Al-Hasyimi.
Di hari menjelang lebaran, Ummu Abdullah –istri Abu Abdullah Al-Waqidi- mengeluhkan keadaan anak-anak mereka. Pakaian anak-anak mereka sudah tak layak dipakai. Sedangkan anak-anak tetangga mereka telah memiliki pakaian baru. Karena kasihan dan merasa bertanggung jawab, Al-Waqidi berusaha mencari pinjaman. Dia pergi menemui sahabatnya yang bernama Ahmad Al-Hasyimi. Hasilnya, Al-Waqidi memperoleh sekantung uang.
Di tengah perjalanan, Al-Waqidi bertemu dengan sahabatnya yang lain, dia bernama Wafa bin Rafi'. Wafa mengeluhkan permasalahannya dan ternyata dia juga membutuhkan uang untuk menyambut lebaran. Tanpa ragu, Al-Waqidi menyerahkan uang tersebut dan dia pulang dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, Al-Waqidi bertemu dengan istrinya. Dia menceritakan tentang eratnya persaudaraan mereka bertiga (Al-Waqidi, Al-Hasyimi dan Wafa). Kemudian beliau menceritakan tentang hadits yang menceritakan tentang kisah Rasulullah dan Aisyah yang menyembelih seekor domba. Lalu beliau bertanya, "Apa yang tersisa dari domba itu?" Aisyah menjawab, "Hanya pundaknya." Mendengar jawaban itu, Rasul saw bersabda, "Semuanya masih tersisa (balasan di akhirat kelak) kecuali pundaknya."
Kemudian Al-Waqidi menyitir sebuah ayat, "Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (QS Al-Hasyr (59):9). Setelah itu Al-Waqidi menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Mendengar kisah ini, istri Al-Waqidi senang dan mendukung sikap suaminya.
Lain halnya dengan Wafa. Belum sempat dia menggunakan uang yang di dapatnya, bahkan belum sempat dia buka kantong uang tersebut, sahabatnya Al-Hasyimi datang memohon bantuan. Tanpa ragu, Wafa langsung menyerahkan kantung uang itu kepada Al-Hasyimi.
Peristiwa ini merupakan cermin buat kita semua, buat kaum muslimin. Hasyimi lebih mementingkan saudaranya, walaupun ternyata dia sendiripun membutuhkannya. Demikian pula dengan Al-Waqidi. Dia membutuhkan biaya untuk keperluan lebaran. Wafa pun membutuhkan uang untuk lebaran, sehingga dia harus meminjam dari Al-Waqidi. Namun mereka semua saling mengutamakan yang lain. Potret ini akan sangat berbeda sekali dengan potret kaum muslimin menjelang lebaran. Mereka masing-masing sibuk menyambut lebaran. Rasa individualis mereka mendadak meninggi menjelang lebaran ini.

BERSYUKUR 2

BERSYUKUR II

Allah swt berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian mema’lumkan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”
Di dalam ayat ini Allah menawarkan dua pilihan, antara bersyukur dan kufur (nikmat). Jika bersyukur, maka nikmat akan ditambah. Namun, jika kufur, azab Allah amat pedih. Bagi orang yang berakal, tentu dia akan bersyukur. Siapa orang yang nikmatnya tidak ingin ditambah? Semua orang pasti menginginkannya. Siapa pula yang ingin mengecap ancaman lantaran tidak bersyukur? Jadi, orang yang berakal pasti akan memilih bersyukur daripada kufur (nikmat).
Jika dia bersyukur, maka dia harus kembali bersyukur, karena nikmat yang diberikan untuknya telah bertambah. Jika bersyukur, dia kembali harus bersyukur, karena nikmat yang lebih besar telah diterimanya. Sehingga bagi orang yang bersyukur tidak ada kata untuk berhenti dalam bersyukur. Terlebih lagi Allah swt berfirman, “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
Allah swt memberikan contoh, cara kita bersyukur. Di dalam surat Al-Kautsar dijelaskan, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.”
Mendirikan shalat adalah salah satu cara untuk bersyukur. Rasulullah saw adalah orang yang amat rajin menunaikan shalat Tahajud. Padahal beliau sudah dijamin masuk surga, namun mengapa beliau tetap rajin menunaikan shalat malam? Pertanyaan ini pula yang mengusik benak para sahabat. Ketika ditanya demikian, beliau menjawab, “Bukankah lebih baik, aku menjadi hamba yang bersyukur.” Alangkah indahnya, ucapan beliau. Ucapan ini merupakan suatu sikap bahwa bersyukur harus dilakukan oleh siapapun juga orangnya.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab "Shahih mereka berdua". Hadits ini berasal dari Abu Hurairah, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah saw bersabda, "Ada tiga orang Bani Israil yang menderita penyakit kusta, botak dan buta. Allah ingin menguji mereka. Maka, Allah mengutus malaikat kepada mereka. Malaikat mendatangi mereka satu persatu dan menyembuhkan semua penyakit yang diderita mereka. Selain itu, mereka diberi harta yang cukup banyak (ada yang dalam bentuk unta, sapi dan kambing, semuanya dalam jumlah yang banyak)
Setelah beberapa lama berselang, malaikat itu mendatangi si penderita kusta, si botak dan si buta dalam bentuk dan rupa seorang laki-laki miskin. Kepada mereka masing-masing, laki-laki miskin itu memohon bantuan. Namun si penderita kusta dan si botak menolak untuk memberikan bantuan. Si penderita kusta menolak untuk menginfakkan seekor untanya. Bahkan dia mengingkari bahwa unta itu merupakan pemberian Allah. Demikian pula dengan si botak, dia menolak untuk menginfakkan seekor sapinya. Akibat keingkarannya ini, malaikat tersebut berkata kepada mereka masing-masing, "Jika engkau berdusta, maka engkau akan kembali pada kondisimu yang dulu."
Lain halnya dengan si buta, dia menjawab, "Dulu saya buta. Kemudian Allah mengembalikan penglihatanku. Dulu saya miskin. Kemudian Allah membuat saya menjadi kaya. Ambillah sesukamu dan tinggalkanlah sesukamu. Demi Allah saya tidak susah, lantaran sesuatu yang engkau ambil karena Allah."
Malaikat itu berkata, "Jagalah hartamu! Engkau baru saja diuji. Allah telah meridhaimu dan membenci kedua sahabatmu.”
Kisah di atas adalah contoh bagi orang bersyukur dan kufur terhadap nikmat Allah.
Terkadang kekurangan yang kita miliki, harus kita syukuri. Mungkin kita masih ingat dengan seseorang yang hidup di masa Rasulullah. Dia adalah sosok yang amat rajin menunaikan shalat berjamaah. Hanya saja, dia termasuk orang yang miskin. Kemudian dia meminta Rasulullah untuk mendoakan agar keadaannya menjadi berubah. Rasul pun mendoakannya. Setelah itu, dia mulai mempunyai beberapa hewan ternak. Tatkala hewan ternak semakin bertambah, dia tidak lagi sempat menunaikan shalat berjamaah di masjid. Bukankah kekurangannya ini patut disyukuri. Sebab, tatkala dia kekurangan, dia rajin menunaikan shalat berjamaah.
Rasulullah saw bersabda, “Allah swt menulis atas anak Adam (manusia) perbuatan zinanya…….selanjutnya beliau bersabda, zina mata adalah melihat, zina lidah adalah berkata-kata.” (HR Bukhari bab. Isti’dzan 6243, HR Muslim 2657/20)
Bila kita memperhatikan hadits di atas, mungkin orang buta akan bersyukur, karena dia tidak melakukan zina mata. Orang bisu pun akan melakukan hal yang sama, akan bersyukur karena tidak melakukan zina lidah.
Kekurangan janganlah dijadikan beban. Hal-hal yang belum dapat dicapai jangan terlalu dipusingkan. Berusaha terus, berdoa tidak putus-putus dan terus mensyukuri kekurangan yang ada. Jadi, mensyukuri kekurangan, bukan berarti menghalangi kita untuk maju.
Walaupun ganjaran bagi orang bersyukur sudah dikumandangkan, ancaman bagi orang yang tidak bersyukur juga didengungkan. Mengingatkan kembali akan asal usul, juga sudah dilakukan, tetap saja ada orang yang tidak bersyukur. Si kusta dan si botak melupakan masa lalunya yang suram. Namun si buta tidak demikian. Kita tinggal memilih, ingin bercermin ke mana.

PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM

PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM

Persaudaraan sesama muslim adalah sangat indah. Indah sebagaimana digambarkan dalam suatu hadits, Rasulullah saw bersabda:
“Perumpamaan orang-orang mu’min bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya, dengan berjaga (tidak tidur) dan bereaksi meningkatkan panas badan (demam) (HR Muslim).

Seorang muslim adalah bagian dari muslim yang lain. Bila ia sakit, maka muslim yang lain ikut merasakan sakit. Jika seorang muslim mempunyai masalah, sesungguhnya itupun merupakan masalah kaum muslimin seluruhnya. Jika seorang muslim tidak menolong saudaranya, maka hal itu akan berakibat fatal bagi dirinya dan bagi saudaranya. Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa mengumpulkan harta dengan cara tidak benar (haram), Allah akan memusnahkannya dengan banjir dan tanah longsor (HR Al Baihaqi).

Bila kita tidak menolong, maka masalah keuangan yang dihadapi saudara kita akan dapat memicunya untuk menempuh cara-cara haram dalam mendapatkan materi. Dan bila hal ini dibiarkan, maka banjir dan tanah longsor dapat menimpa diri kita semua. Sikap tak peduli dengan penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan saudara kita akan menimbulkan bencana bagi kita semua. Sikap egois, mau menang sendiri, sombong, cuex dan tamak adalah sikap yang menunjukkan ketidak pedulian seseorang.

Dan memahami masalah yang dihadapi oleh saudara kita adalah jalan untuk menolong mereka. Sekecil apapun masalahnya. Dalam suatu riwayat, diceritakan pernah terjadi peperangan antara pasukan kaum muslimin melawan kaum kafir. Peperangan itu terjadi di tepi sungai. Satu pasukan berada di sisi sungai dan satu pasukan lagi berada di sisi lainnya. Pada suatu ketika, piring salah satu anggota pasukan muslim jatuh ke dalam sungai. Piringku…piringku, teriaknya. Dengan serta merta, saudaranya yang lain langsung terjun ke dalam sungai untuk mencari piring tersebut. Melihat keadaan ini, pasukan musuh akhirnya menyerah kalah pada pasukan kaum muslimin. Karena mereka berpikir, satu piring saja yang jatuh ke sungai sudah demikian rupa, bagaimana kalau salah seorang dari mereka sampai terbunuh (dari buku Iman dan Kehidupan, karya Yusuf al-Qardhawy)

Peduli dan mau menolong saudara-saudara kita, sekecil apapun masalahnya akan membawa keberuntungan untuk kita semua. Begitulah seharusnya sesama muslim. Tolong menolong. Bahu membahu dan bukannya gontok-gontokan. Apalagi berperang sesama muslim. Karena berperang sesama muslim, sesungguhnya berperang pada diri sendiri. Seorang muslim menyakiti muslim yang lain, berarti ia menyakiti dirinya sendiri.

Ikatan sesama muslim tidak dibatasi oleh warna kulit, suku, bangsa dan batas-batas teritorial.
Allah swt berfirman:“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS Al Hujurat, 49: 10)
Kalau kita sudah mau saling memahami posisi kita masing-masing, tentu Malaysia dan Indonesia tidak perlu berperang.

HIKMAH MENOLONG ORANG LAIN

HIKMAH MENOLONG ORANG
Sejak tahun 1999 hingga 2002, saya bekerja di sebuah kantor PJTKI. Itu lho! Perusahaan yang memberangkatkan orang untuk bekerja di luar negri. Setiap warga negara Indonesia dapat memilih tujuan negara menurut minatnya masing-masing. Yang mau bekerja di negrinya Jet Lee, dapat mendaftarkan diri di PJTKI yang memberangkatkan ke Hongkong. Yang berminat tinggal 1 negara dengan Siti Nurhaliza, dapat menghubungi PJTKI yang memberangkatkan ke Malaysia.
PJTKI tempat saya bekerja ialah PJTKI jurusan Saudi. Kami memiliki hubungan kerja dengan agent/perwakilan di Saudi. Fungsi PJTKI adalah menerima/mencari orang yang ingin bekerja di Saudi. Sementara itu, fungsi perwakilan di Saudi adalah mencari orang yang membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia. Mulai dari pembantu rumah tangga, supir, penjaga toko, perawat hingga ahli komputer. Kami memiliki perwakilan di Jeddah, Madinah, Dammam, Riyadh, 'Ar'ar dan Thaif. Semua wilayah ini berada di bawah kekuasaan pemerintahan kerajaan Saudi Arabia.
Saya bersama sebut saja Mr. X (bukan teman Mbah Darmo) mengurus segala yang berkaitan dengan perwakilan ini. Jika berkas-berkas dari perwakilan datang, kamilah yang menanganinya. Berkas-berkas itu ditulis dalam bahasa Arab. Setiap satu berkas terdiri dari visa, wakalah dan kriteria permintaan majikan. Di dalam visa, diantaranya terdapat nama pemesan (majikan). Di dalam wakalah terdapat keterangan pemberian kuasa dari majikan kepada perwakilan di Saudi. Kemudian permberian kuasa dari perwakilan kepada PJTKI untuk memilih dan memberangkatkan TKI berdasarkan kriteria yang dipesan. Kriteria permintaan majikan biasa disebut dengan istilah muwashafaat. Di dalamnya terdapat berbagai permintaan majikan. Mulai dari jenis kelamin, usia, status dan gambaran tugas di negara tujuan. Karena muwashafaat ini juga berbahasa Arab, maka saya atau Mr X harus menterjemahkan terlebih dahulu ke dalam B. Indonesia. Sehingga bos dapat memahami permintaan majikan dan mencarikan TKI yang sesuai dengan permintaan itu.
Kami juga bertugas menjawab semua surat yang berasal dari perwakilan. Isinya bisa berupa keluhan majikan bahwa TKI yang dikirim bermasalah, tidak dapat bekerja dan bla, bla, bla.
"Ya’! Coba terjemahkan surat ini!." begitu biasanya suara bos memanggil. Dengan segera saya menghampiri ruangan bos. Kemudian membacanya dan menterjemahkan.
Itulah diantaranya tugas saya dan Mr X di dalam kantor.
Di samping tugas dalam kantor, saya juga ditugaskan di luar kantor. Dengan sepeda motor Yang Selalu Terdepan, saya pergi ke Kedubes Saudi Arabia (KBSA) di Jl Mt Haryono. Tugas utama saya adalah membawa paspor ke KBSA, guna memperoleh izin masuk para TKI ke negara Saudi. Begitulah jika kita ingin pergi ke luar negri. Setiap orang harus mempunyai surat izin masuk dari kedutaan negara yang di tuju. Jika paspor ini diserahkan Senin pagi, maka paling cepat esok hari saya sudah dapat jawabannya. Yaitu paspor TKI yang diserahkan telah memperoleh surat izin masuk (stempel visa). Untuk pengambilan 1 paspor yang telah mendapat stempel visa ini, kami diharuskan membayar $14 US.
Jika paspor yang harus dibayar senilai $ 70, maka kami harus menyerahkan uang pecahan $ 50 dan $ 20. Pihak kedutaan menginginkan uang pas. Konon katanya, pihak kedutaan pernah memberikan uang kembalian lebih dari yang seharusnya. Sehingga petugas loket kedutaan harus bertanggung jawab atas kelalaian ini. Nah, sejak itulah peraturan pembayaran dengan uang pas diterapkan. Jadi, jika kita dibekali pihak kantor uang pecahan $100 dan harus membayar $ 28 alias dua paspor, maka selamat! Selamat mencari pecahan $ 20, $ 5 dan $ 1 (sebanyak 3 lembar).
Mencari pecahan ini tidaklah mudah. Karena orang yang membutuhkannya tidak hanya kita. 50’an orang yang merupakan petugas dari PJTKI yang lain juga membutuhkannya. Sekedar tahu saja, jumlah PJTKI di negri ini sudah mencapai ratusan. Artinya, banyak sekali petugas seprofesi dengan saya yang datang ke KBSA.
Belum lagi masalah lain muncul. Uang dollar yang lecek, terlipat, ada bekas steples atau ada noda tinta, tidak diterima di kedutaan. Nampaknya nasib uang ini sama dengan ungkapan ‘Karena nila setitik, rusak susu sebelangah’. Karena noda tinta, uang dollar ditolak.
Dalam benak petugas PJTKI tidak ada istilah bayar esok hari. Setiap paspor yang memperoleh stempel visa hari ini, dibayar hari ini. Sebab biasanya sudah terbayang, jika tugas dilalaikan, bos akan mencak-mencak.
Walhasil segala macam cara dicari. Untuk pergi ke money changer sudah tidak mungkin. Karena waktu pembayaran hanya sebentar. Di sinilah tolong menolong amat diperlukan.
Jika seseorang memiliki pecahan $ 20 (2 lembar) dan $10 (1 lembar), maka pecahan $ 20 itu akan diburu oleh teman yang membutuhkannya. Misalnya, Nanang harus membayar $ 28, sedangkan uang yang ditangannya adalah pecahan $ 50. Terjadilah tukar menukar. Pecahan $ 50 ditukar dengan $ 20 (2 lembar) dan $ 10 (1 lembar). Selanjutnya Nanang harus mencari pecahan $ 5 dollar (1 lembar) dan pecahan $ 1 (3 lembar).
Begitulah kesulitannya. Sekali lagi, di saat inilah pentingnya tolong menolong. Dari pengalaman di kedutaan inilah, saya menjadi yakin pada sabda Rasulullah yang terdapat di dalam hadits Arba’in. Di dalam hadits Arbain terdapat hadits yang artinya “Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya.”
Suatu ketika, saya harus membayar 10 paspor, itu artinya saya membutuhkan uang sebesar $140. Uang sebesar ini telah ada di tangan, pas $ 140. Saya tidak perlu lagi mencari uang pecahan. Saya mengantri di dalam barisan. Sesampainya di loket pembayaran, uang pecahan $ 100 saya ditolak. Ditolak setelah melalui proses pemeriksaan sinar ultar violet. Mendadak saja saya bingung. Betapa tidak, siapa yang ingin meminjamkan uang sebesar $ 100. Kalaupun ada yang ingin meminjamkan, dia juga butuh dengan uang itu.
Dengan lesu, saya keluar dari kedutaan. Di dalam perjalanan keluar, banyak sekali simpati teman pada masalah saya. “Kenapa Ya’?, “Pecahan berapa yang ditolak? dan masih banyak pertanyaan lainnya. Masih dalam perjalananan keluar dari kedutaan, saya bertemu dengan Sofyan.
“Lo butuh berapa Ya?” tanya Sofyan
Dengan lesu, karena merasa tipis sekali harapan, saya menjawab, “$ 100 Yan.”
“Mana $ 100 lo?” pinta Sofyan sambil menyerahkan pecahan $ 100 miliknya.
“Kebetulan gue punya uang lebih $ 100.”
“Wah, terima kasih banget nih, coy,” jawab saya dengan semangat. Saya kembali ke barisan dan mengantri. Mungkin inilah balasan dari Allah. Karena alhamdulillah, saya sering membantu teman.
Dalam pengalaman yang lain, saya pernah mempunyai pecahan dollar yang dibutuhkan teman. Saya tidak ingat berapa besarnya. Tapi yang jelas, teman itu sedang butuh bantuan. Di saat yang sama, saya juga sedang butuh bantuan orang lain. Namun dengan tidak ragu, saya pinjamkan pecahan dollar yang dibutuhkannya. Tidak lama kemudian, permasalahan yang saya hadapi juga selesai. Saya dapat membayar paspor yang telah memperoleh stempel visa.
Alhamdulillah karena banyak menolong, saya banyak mempunyai teman. Jika seorang teman yang baru saja dikenal meminjam dollar pada saya, saya minta kartu namanya. Tanpa terasa, jumlah kartu nama yang saya miliki menjadi banyak. Mulai saat itulah, teman-teman memanggil saya dengan sebutan pak RT. Karena hampir semua petugas PJTKI di saat itu, saya kenal. Sehingga bila ada seorang teman mempunyai piutang dengan petugas PJTKI PT anu misalnya, maka teman tersebut akan menelepon saya. Dia menanyakan no. telepon PJTKI PT anu dan biasanya saya tahu.
Ada satu lagi pengalaman yang lain. Motor operasional yang saya gunakan amat memprihatinkan, walaupun mesinnya masih bagus. Shock breakernya sudah tidak berfungsi dan rem belakangnya tidak ada. Bukan itu saja, jarum speedometer dan jarum penunjuk isi bensin tidak semestinya. Suatu ketika motor saya mati, tidak dapat berjalan. Saya coba stater berulang kali, tetap saja tidak ada gunanya. Kemudian saya periksa tangki bensin. Alah mak! Bensinnya telah habis. Namun sekali lagi, Allah memperlihatkan kuasa-Nya. Hikmah menolong orang kembali terbukti. Karena saya teringat, lokasi tempat motor saya mogok dekat dengan kantor teman. Alhamdulillah masalah saya dapat ditangani.

Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam penulisan Qisthi press

PERASAAN

PERASAAN
Perasaan manusia kadang kala sejalan dengan kebenaran. Rasa kasihan dan prihatin yang muncul dari diri manusia sejalan dengan anjuran Rasulullah saw untuk membantu tetangga kita yang sedang kelaparan. Namun, kadang-kadang perasaan tidak sejalan dengan kebenaran. Pada saat itu, manusia dituntut untuk mengesampingkan perasaannya dan mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Pada awal munculnya Islam, banyak sekali tantangan yang muncul. Diantaranya tantangan yang muncul dari pihak keluarga, hal ini seperti yang dialami oleh sahabat Mushab bn Umair ra. Mushab mendapat tantangan dari ibunya. Ibu beliau tidak setuju dengan perubahan yang ada pada diri anaknya, yaitu anaknya memeluk Islam. Hingga ibu beliau memohon berulang kali agar anaknya kembali kepada agama nenek moyang. Namun, setelah ibu beliau mengetahui bahwa semua usaha yang telah dilakukannya itu gagal, kembali ia berusaha untuk memurtadkan anaknya. Kali ini ia mengancam dengan aksi mogok makan hingga mati. Bagi seorang manusia, tentu akan muncul perasaan kasihan, tidak tega dan seterusnya. Apalagi orang itu adalah orang tua kita. Orang yang telah merawat kita hingga menjadi dewasa. Tapi, apa yang terjadi ??. Mushab tetap pada pendiriannya, bahkan ia sanggup menunggu hingga ibunya mati. Ia berkata, “Andaikan ibu memiliki nyawa yang banyaknya hingga 100 dan nyawa ibu keluar dari diri ibu satu persatu, maka saya akan tetap memeluk dienul Islam”. Ini satu contoh bahwa perasaan kasihan tidak sejalan dengan kebenaran dan merupakan contoh bahwa kita dituntut untuk mengesampingkan perasaan serta mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Hal ini juga dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS yang mau mengorbankan/menyembelih anaknya, Ismail AS demi melaksanakan perintah Allah swt.. Nabi Muhammad saw pun mencontohkan hal itu, hingga beliau saw berjanji akan memotong tangan Fatimah ra, putri beliau saw, jika terbukti mencuri. Jika Ibrahim AS dan Muhammad SAW mendahulukan perasaannya tentu beliau berdua akan mengabaikan perintah Allah..
Alqur’an menjelaskan pula betapa pentingnya menegakkan hukum Allah swt dan mengesampingkan perasaan. Hal ini termaktub di dalam AlQur’an surat An Nuur ayat 2, yang artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat……..”.
Nampaknya setelah Ramadhaan ini, merupakan momentum tepat, bagi kita untuk kembali memegang teguh prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Islam. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk hanyut dalam perasaan, sementara itu kebenaran terabaikan. Terabaikan karena oleh sesuatu yang namanya perasaan.

MENCOBA MEMAHAMI ORANG LAIN

MENCOBA MEMAHAMI ORANG LAIN
Suatu ketika, aku pulang bepergian dari toko buku. Jalan yang dilalui motorku semula tidak padat. Namun begitu masuk jalan By pass, jalan berubah padat. Motor sulit untuk bergerak, sehingga kukendarai motor dengan hati-hati. Begitu ada ruang kosong di sebelah kanan, aku menyalip dari sebelah kanan. Begitu jalur sebelah kanan sulit untuk ditembus, aku mencoba mencari jalur lain. Kubelokkan motor ke sebelah kiri. Semuanya tetap dilakukan dengan hati-hati dan tidak lupa lampu sen tetap dinyalakan. Jika berbelok ke kanan, lampu sen kanan yang berperan. Begitu berbelok ke kiri, lampu sen kiri yang menyala.
Perlahan tapi pasti, jalur macet itu dapat dilalui. Aku berbelok ke kiri untuk selanjutnya menuju ke kawasan Pondok Bambu.
Sesampainya di kawasan Pondok Bambu alias jalan Pahlawan Revolusi, aku kembali terjebak macet. Kembali motorku beraksi. Motorku sepertinya sudah menyatu dengan diriku. Diperintahkan ke kanan, dia ke kanan. Dibawa lari kencang, dia tidak protes. Dibawa lambat, dia tidak pernah berteriak minta dibawa cepat. Namun kali ini, dia sedikit ngambek. Ban depan motorku menginjak kaki pengendara motor yang ada di depanku. Maklum jalan padat. Ada jalur yang kosong sedikit, langsung dimanfaatkan. Si pengendara motor yang menjadi korban ban motorku berteriak.
"Apa loh!" bentaknya
Matanya seolah keluar ingin melumatku. Tapi wanita diboncengnya mencoba untuk menenangkan. Si pengendara motor itu melanjutkan perjalanannya dan aku mengikuti terus laju motornya. Sambil melihat jalan, aku juga memperhatikan si korban. Wanita yang diboncengnya terus mengelus-elus pundak si korban. Melihat tindakan si wanita ini, aku berkesimpulan bahwa si pengendara motor masih emosi. Dapat kubayangkan apa yang diucapkannya. Mungkin dia mengatakan, "Makanya naik motor itu hati-hati, lihat jalan!" Aku mencoba memahami kondisi si pengendara motor. Mengapa nampaknya dia begitu emosi? Tidak adakah rasa maaf untukku? Di saat perenungan itu, aku teringat pada peristiwa sama yang menimpaku.
Di jalan yang juga macet, kakiku pernah terlindas ban sebuah Taxi. Mengapa bisa demikian? Bagi mereka yang biasa mengendarai motor, mungkin dapat membayangkannya. Jika berada di jalanan macet dan motor kita tidak dapat bergerak lagi, maka otomatis kaki diturunkan. Bisa kedua-duanya atau hanya kaki kiri yang diturunkan. Sedangkan kaki kanan bersiap di pedal rem. Nah! Pada seperti inilah, kaki kiriku berada di bawah dan tanpa kusadari sebuah Taxi, masuk dari arah kiriku. Pada saat itulah, kaki kiriku terlindas ban Taxi. Sontak saja, saya kaget. Oooi, kaki nich! Begitu teriakku. Perasaan kaget dan sedikit marah bercampur pada saat itu. Mungkin seperti inilah kondisi kejiwaan yang dialami si pengendara motor yang menjadi korbanku.
Kesadaran ini mendorongku untuk menyusul si korban. Sesampai di lampu merah, motorku masuk di sebelah kiri motornya. Aku katakan padanya, "Maaf ya mas?"
"Ya, nggak apa-apa."
Pengalaman ini menyadarkanku bahwa memahami orang lain akan dapat memahami kesulitan dan kondisi kejiwaan orang lain.
Jika para pengembang, investor, aparat dapat memahami kesulitan orang lain, mungkin mereka tidak akan sembarang menggusur rakyat kecil. Mereka tidak akan mudah membongkar kios kaki lima. Lain halnya bila mendapat kompensasi yang sesuai. Itupun harus saling ridha. Sebab bila tidak, bisa masuk kategori perbuatan dzalim.
Mungkin kita pernah mendengar riwayat tentang Amirul Mukminin Umar bin Khaththab yang berniat membongkar rumah seorang Yahudi. Si Yahudi tidak ingin mengikhlaskan rumahnya untuk dibongkar, walau diganti dengan harga yang mahal.
Umar tidak jadi membongkar rumah Yahudi itu. Begitulah, bila kita mau mencoba memahami orang lain, kita tidak akan berbuat dzalim. Kita akan berbuat adil.
Mencoba memahami orang lain dapat mencegah orang berbuat mungkar. Di saat SLTP, temanku pernah mempunyai pacar. Temanku ini ingin mempermainkan cewek-nya. Namun apa yang terjadi? Dia teringat pada kedua adiknya yang perempuan. Dia takut kalau-kalau kedua adiknya dipermainkan oleh pria bajingan. Walhasil, temanku itu tidak jadi mempermainkan cewek-nya.
Mencoba memahami orang lain dapat mendorong kita menolongnya. Bila seorang teman berada di dalam kesulitan dan kita mencoba memposisikan diri seperti dirinya, maka mungkin kita tergerak untuk menolongnya. Terlebih lagi bila kita pernah mengalami kesulitan yang sama seperi dirinya. Kemungkinan besar kita akan membantunya.

MOTORKU MALANG

MOTORKU MALANG

Ledakan bom di Indonesia tidak saja membuat penduduk dunia terguncang, memeras air mata serta menyisakan beribu-ribu pertanyaan. Tetapi ternyata bisa juga mengundang tawa anak manusia. Pengalaman ini terjadi tepat beberapa hari setelah ledakan yang terjadi di kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ). Saat itu saya bekerja di salah satu perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di kawasan Jakarta Selatan. Perusahaan jasa ini melayani setiap warga negara Indonesia yang ingin bekerja ke luar negri. Tugas utama saya adalah membawa paspor ke Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA), guna memperoleh izin masuk para TKI ke negara Saudi. Begitulah jika kita ingin pergi ke luar negri. Setiap orang harus mempunyai surat izin masuk dari kedutaan negara yang dituju. Untuk memperlancar tugas, perusahaan memberi saya sebuah motor. Demikian pula dengan teman-teman saya yang berasal dari PJTKI yang lainnya. Mereka rata-rata diberi fasilitas sebuah motor oleh perusahaannya. Motor merupakan alat transportasi yang penting bagi kami. Karena waktu yang disediakan KBSA -untuk pengurusan TKI- terbatas. Sehingga kami tidak boleh terlambat.
Bila para petugas berbagai macam PJTKI datang ke KBSA ini, maka penuhlah halaman kedutaan dengan berbagai macam motor. Baik motor keluaran baru maupun keluaran lama. Ada motor yang terawat, adapula yang tak terawat, semuanya deh ada di situ. Motor saya termasuk motor keluaran baru, namun motor itu tak terawat. Sehingga ada cacat di sana-sini. Rem belakang sudah tak berfungsi. Ekor bagian belakang motor sudah tidak ada.
Sejak peristiwa peledakan kantor BEJ, penjagaan di KBSA menjadi semakin ketat. Kami harus diperiksa satu persatu oleh satpam warga negara Saudi dengan menggunakan detektor. Kemudian kami harus melewati gerbang detektor. Bila terdengar tanda sesuatu, maka kami diperiksa ulang. Atau kami disuruh keluar terlebih dahulu, untuk meninggalkan barang-barang yang menjadi sumber penyebab nyala atau bunyinya alat detektor. Begitulah tiap hari.
Pada suatu hari, salah seorang satpam warga negara Saudi keluar melihat keadaan. Ketika ia sampai di halaman kedutaan, tiba-tiba ia menunjuk sebuah motor yang letaknya sejajar dengan pintu gerbang kedutaan. Lalu ia mengisyaratkan agar motor itu dipindahkan ke tempat yang lain. “Eh, itu motor lo Ya!”, teriak salah seorang teman saya. “Dia minta motor lo dipindahin. Dia takut motor lo ada bomnya, kali”, teriak teman saya yang lain. Mendengar ungkapan ini tertawalah teman-teman saya yang lain. Maklum motor saya termasuk yang terjelek diantara motor-motor yang lain. Sehingga mungkin wajar, kalau motor saya dicurigai ada bomnya. Dengan perasaan malu dan sedikit sedih saya pindahkan motor itu. Oh ….motorku malang.
Motorku ini juga hampir mencelakan temanku. Suatu ketika motorku dipinjam oleh seorang teman. Dia bawa ngebut motor itu. Sampai pada suatu saat dia harus mengerem, namun ternyata rem belakang tidak lagi berfungsi. Temanku kaget, namun dengan refleks dia menurunkan 'gigi' hingga posisi gigi netral. Hingga akhirnya, dia terhindar dari kecelakaan.
Begitu kami bertemu, dia berkata, "Ya! Motor loh nggak ada rem belakangnya ya?"
"Oh ya, sorry Nang. Gue lupa ngasih tahu loh."
"Gue hampir nabrak. Motor lagi gue bawa ngebut. Pas gue mau rem belakang, ternyata remnya nggak ada. Tadinya gue pakai rem depan, tapi gue ngeri, motornya akan berputar dan gue bisa celaka. Akhirnya gigi motor gue turunin sampai gigi netral."
"Sekali lagi, sory ya Nang."
"Nggak masalah Ya."
Kejadian di atas menyangkut motor kantor yang biasa kupakai. Motorku yang malang. Namun ternyata, ketika saya memiliki motor sendiri, nasibnya tidak jauh berbeda dengan motor kantor itu. Bahkan lebih parah.
Suatu ketika, saya diminta bos untuk datang lebih pagi. Saya diminta untuk mengantarkan para TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke kantor imigrasi.
Saya berangkat dengan motor kesayangan. Dari jalan Jatiwaringin menuju jalan Kampung Sawah. Motor yang kugunakan adalah motor tahun 80’an. Pada saat kupakai usianya sudah remaja, sekitar 20 tahunan. Walau harganya murah, namun saya sangat membanggakannya.
Pagi-pagi sekali, saya beri minum motor itu hingga perutnya kembung alias full tank. Suasana pagi yang sejuk itu, tidak pernah terpikir olehku akan menjadi hari yang menyedihkan. Bagiku hari itu adalah hari uji kesabaran. Betapa tidak, di saat badan lelah, perut lapar dan terasa ngantuk, musibah itu terjadi.
Motor saya arahkan ke pasar Pondok Gede. Sesampai di jalan Gamprit, saya berbelok ke kiri. Saya ingin memotong jalan dan akan mengambil jalan yang tidak terlalu macet.
Selama perjalanan tidak banyak mengalami halangan. Baik dari segi macet maupun dari segi jalannya. Jalan yang kulalai hingga persimpangan Tol Jatiwarna semuanya mulus, tidak ada yang berlubang. Namun bagitu saya masuk jalan Kampung Sawah, jalanan mulai banyak ‘bekas jerawatnya’. Baru saja bebas dari satu lubang, saya memasuki jalanan yang penuh batu. Jika batu itu hanya kecil-kecil, tidak masalah. Tapi batu-batunya itu ada yang besar, ada yang sebesar kepalan tangan dan ada pula yang kerikil. Kekesalan melewati jalan ini, semakin sempurna. Karena jalanan ini juga dilengkapi dengan ‘polisi tidurnya’. Karena gundukan polisi tidur, jalan berbatu serta jalan yang berlubang itulah, motorku beberapa kali terguncang.
Hingga pada suatu ketika, saya merasakan punggung terasa hangat. Tak lama berselang, orang-orang yang berada di pinggir jalan berteriak api! api!. Sejurus kemudian, api sudah berada diantara pahaku. Dengan refleks motor itu kulepaskan dan langsung kusambar tas. Motorku terus terbakar. Mau mencari air di selokan tidak kutemui. Air selokannya kering. Saya melihat ada setumpuk pasir di dekat sana, tapi pasir itu telah mengeras. Walhasil, motorku itu terus terbakar. Bensin yang berada di tangki motorku, nampaknya membuat si jago merah semakin semangat beraksi. Aku pasrah.
Tubuhku lemas. Lemas bukan karena melihat peristiwa yang mengejutkan itu saja. Tapi memang pada saat itu saya sedang berpuasa. Saat itu bulan Ramadhan.
Berbagai perasaan yang kurasakan. Kesal, marah, bingung, sedih dan menyesal. Bingung karena saya harus menyelesaikan tugas dari bos. Sebab bila tugas tidak diselesaikan, bos tentu akan marah. Bingung bagaimana saya melaporkan kejadian ini kepada orang tua. Karena memang motor itu pemberian orang tuaku. Sedih karena motor itu belum lama ‘jadian’ denganku. Belum lagi genap 6 bulan, ‘kekasihku itu’ telah pergi meninggalkanku. Saya lagi sayang-sayangnya dengan motor itu. Walau larinya tidak terlalu kencang, namun dia telah mendampingiku kemana saja kupergi. Baik tempat yang jauh maupun yang dekat. Kesal, marah dan menyesal, mengapa saya tidak teliti pada motor itu? Mengapa saya tidak periksa seluruh bagian motor itu?
Di saat pikiran dan perasaan bercampur seperti es campur itu, saya harus mengendalikan diri. Saya sedang berpuasa, berpuasa Ramadhan.
Coba bayangkan! Di satu sisi perasaan dan pikiran saya sedang kusut seperti benang. Di sisi lain, saya harus bersabar, sebagai konsekwensi dari berpuasa.
Perasaan kalut itu kulepas dan kuserahkan kepada Allah. Saya meneruskan perjalanan menuju kantor dan menyelesaikan tugas. Sesampainya di kantor, saya tidak cerita pada bos, tidak cerita pada teman. Saya panggil supir dan segera memintanya untuk mengantar para TKW ke imigrasi.
Pengalaman ini banyak sekali mengandung hikmah. Diantaranya; jika kita sayang pada sesuatu atau pada seseorang, maka janganlah berlebihan. Sebab bila berlebihan, kita akan merasakan berat untuk melepaskannya. Karena itu kita harus menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Allah memberikan kepada kita sebagai sebuah titipan. Yang namanya titipan, suatu saat pemiliknya akan mengambil kembali. Kata seorang ulama, segala yang ada di dunia adalah titipan. Kita hanya diberikan hak guna pakai saja, bukan hak milik.

Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang dilombakan

Kamis, 27 Desember 2007

DISIPLIN DAN WAKTU

DISIPLIN DAN WAKTU
Berbicara tentang disiplin tidak bisa lepas dari tujuan yang ingin diraih. Karena tujuan turut mempengaruhi sikap seseorang. Selama tujuan belum dapat dicapai, dia akan selalu berusaha untuk mencapainya. Sehingga semua aktifitas yang tidak terkait dengan tujuan, akan disingkirkannya. Dia akan melakukan kegiatan yang hanya berkaitan dengan tujuan.
Disiplin juga terkait dengan 3 jenis hak. Hak Allah, hak diri sendiri dan hak orang lain. Di dalam hidup ini, kita tidak bisa lepas dari ketiga hak di atas. Masing-masing mempunyai hak. Rasulullah memberikan contoh hal itu. Beliau saw melakukan shalat malam, namun beliau juga memperhatikan hak tubuhnya, beliau juga istirahat. Beliau saw berpuasa, namun beliau juga berbuka, beliau memperhatikan hak tubuhnya.
Suatu ketika gubernur kota Himsha Sa'id bin 'Amir, dimasa kekhalifan Umar bin Khaththab ra., pernah ditanya oleh rakyatnya. Mengapa gubernur Sa'id tidak mau menerima pengaduan rakyat di malam hari? Beliau menjawab bahwa dirinya telah melayani rakyat sepanjang siang, sedangkan waktu malam dia khususkan untuk Allah swt.
Abdurrahman bin 'Auf ra. adalah salah satu sahabat Rasulullah saw yang kaya. Dia membagikan hartanya dalam tiga kelompok. Ada bagian harta yang siap untuk dipinjamkan untuk orang lain. Ada pula bagian hartanya yang dalam bentuk piutang. Sedangkan bagian lain adalah bagian untuk keluarganya. Sahabat Rasulullah ini memperhatikan hak orang lain dan hak keluarganya.
Seorang muslim dituntut untuk dapat selalu beribadah, baik beribadah memenuhi hak Allah, hak dirinya dan hak orang lain. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu memperhatikan ketiga jenis hak ini. Tidak boleh dia melakukan shalat malam terus, tanpa memperhatikan hak tubuhnya. Tidak boleh dia hanya memperhatikan hak orang lain saja, namun hak Allah diabaikan. Karena ketentuan inilah, kaum muslimin menjadi umat yang disiplin.
Di dalam kehidupan, manusia dibatasi oleh waktu. Dalam sehari manusia diberi jatah waktu selama 24 jam. Jika aktifitas yang harus dilakukan oleh manusia melebihi waktu yang tersedia, maka dia harus memilih mana yang harus dikerjakannya terlebih dahulu. Disinilah keuntungan dari umat Islam. Umat Islam diajarkan mana perbuatan yang mempunyai status hukum wajib dan mana yang sunnah, serta mana yang berhukum mubah. Dari ketentuan ini, seharusnya kaum muslim menjadi umat yang disiplin.
Di dalam kehidupannya, umat Islam tidak pernah lepas dari waktu. Umat Islam dalam sehari diwajibkan menunaikan shalat lima waktu. Shalat tersebut harus ditunaikan pada waktu-waktu tertentu. Tidak boleh shalat subuh dikerjakan di waktu dzuhur dan seterusnya. Umat Islam –terutama yang pria- diwajibkan untuk menunaikan shalat Jum'at. Shalat ini hanya boleh ditunaikan pada hari Jum'at saja. Kaum muslimin juga diwajibkan untuk menunaikan shaum di bulan Ramadhan. Ibadah haji juga hanya boleh ditunaikan pada bulan Dzulhijjah saja, tidak boleh ditunaikan pada bulan-bulan yang lain. Semua ketentuan di atas seharusnya dapat membentuk kaum muslimin menjadi umat yang disiplin. Apakah kaum muslimin telah menjadi umat yang disiplin?
Berbicara tentang disiplin tentu tidak dapat lepas dari waktu. Waktu dan umur adalah sesuatu yang amat berharga. Jika ada yang mengatakan waktu itu adalah emas, sebenarnya waktu lebih berharga daripada emas. Betapa tidak! Emas, tanah, rumah, mobil dapat dibeli. Sedangkan waktu tidak dapat diperjual belikan. Siapa yang ingin menjual waktu luangnya? Oleh karena itulah manfaatkanlah waktu.
Seorang tabi'in yang bernama Hasan Bashri berkata, "Wahai anak Adam! Saya adalah hari yang baru. Saya bersaksi atas amal perbuatanmu, oleh karena itu manfaatkanlah saya. Persiapkanlah dirimu dengan memanfaatkanku. Jika saya telah pergi, maka saya tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat."
Banyak para ulama yang berkata, "Salah satu tanda kemurkaan dan kebencian Allah terhadap seorang hamba adalah bila hamba tersebut menyia-nyiakan waktu. Salah satu tanda kecintaan dan keridhaan Allah pada hamba-Nya adalah bila hamba itu sibuk melakukan berbagai kegiatan, bahkan kegiatannya lebih banyak dari waktu yang tersedia."
Jadi, jika anda sibuk janganlah mengeluh. Lebih baik pusing karena banyak pekerjaan daripada pusing tidak ada pekerjaan. Kenapa? Karena Allah swt mencitai orang seperti ini.
Selain itu, waktu kosong sama saja dekat dengan maksiat. Di dalam karya Amru Khalid yang berjudul Hatta yughayyiru maa bi anfusihim, dijelaskan, mengapa Zulaikha istri raja Aziz menggoda nabi Yusuf? Karena Zulaikha adalah wanita yang tidak mempunyai kegiatan. Dia tidak mempunyai kegiatan yang bermanfaat sedikitpun.
Orang yang benar-benar mengerti tentang berharganya waktu, dia tidak akan membuang waktunya dengan sia-sia. Dia akan berbuat sesuatu yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh kita. Dia bukan saja manfaatkan usianya, tapi dia manfaatkan setiap hembusan nafasnya.
Di dalam buku yang sama, Amru Khalid mencantumkan keterangan sebagai berikut,
Pada suatu ketika Ibnu Al-Jauzi dihadang oleh seorang pria. Pria tersebut berkata, "Mari kita duduk dan berbicara bersama." Ibnu Al-Jauzi berkata, "Kalau begitu, hentikanlah peredaran matahari!!"
Ibnu Uqail telah mengarang sebuah buku fenomenal, nama bukunya adalah 'Al-Funun'. Buku ini disusun dalam 800 jilid, merupakan buku tertebal sejak zaman nabi Adam hingga hari kiamat (insya Allah).
Seorang hafidz dan ahli hadits yang bernama Ibnu Rajab berkata, "Saya telah menulis dengan kedua jari ini lebih dari 2000 jilid." Kemudian ada orang yang menghitung dengan membagi-bagi semua karyanya ke dalam hitungan hari selama hidupnya. Setelah dihitung, ternyata Ibnu Rajab setiap harinya dapat menghasilkan 9 buku!!
Imam Nawawi –semoga Allah memberinya rahmat- pengarang buku Riyadhush Shalihin, wafat pada usia 40 th. Buku yang dikarang beliau selama hidup berjumlah 500 buku.
Sa'ad bin Mu'adz memeluk agama Islam di saat usianya 30 th. Dia wafat pada usia 37 th. Rasulullah saw bersabda, "Arsy Allah bergetar ketika Sa'ad bin Mu'adz wafat." (HR Muslim 6295, At-Tirmidzi 3848). Ketika jenazah Sa'ad bin Mu'adz diusung, ringan sekali rasanya. Nabi saw bersabda, "Para malaikat turut mengusung jenazah Sa'ad bin Mu'adz." (HR At-Tirmidzi 3849)
Alangkah berkahnya usia sahabat Rasulullah ini. Hanya 7 tahun memeluk Islam, namun sudah mempunyai prestasi seperti ini.
Bagaimana dengan kita? Semoga Allah memberikan kita sisa usia yang berkah. Semoga Allah selalu memberikan kesadaran kepada kita tentang berharganya waktu. Sehingga kita menjadi umat yang disiplin, menjadi umat yang maju. Aamiin.

MEMBACA YUK!

MEMBACA YUK!
Hobi ayahku adalah membaca. Terutama membaca buku novel. Hobinya ini sudah berjalan cukup lama. Semenjak kecil. Beliau bercerita bahwa dia pernah membaca sebuah cerita menarik yang berjudul ‘Sebatang Kara’. Mendengar judul cerita ini, saya menjadi terkejut. Kenapa? Karena judul cerita ini sama dengan judul cerita yang pernah saya baca ketika masih kecil. Saya membacanya dari sebuah majalah anak-anak yang dimuat secara bersambung. Saya tanyakan padanya, “Apakah pemeran utamanya bernama Remi? Apakah Remi ditemani oleh seorang kakek yang piawai bermain biola? Apakah mereka juga ditemani oleh seekor kera dan anjing? Apakah mereka semuanya merupakan rombongan sirkus jalanan? Sirkus jalanan yang berkeliling dari desa satu ke desa yang lain atau mungkin ke kota lain?” Semua pertanyaan itu dijawab oleh ayah saya, “Ya benar!”
Saya membaca cerita itu kurang lebih 25 tahunan yang lalu. Sudah cukup lama memang. Apalagi ayah saya. Dia mungkin membaca cerita itu 60 tahunan yang lalu.
Hobi ayah ini diteruskan ketika beliau berada di luar negri. Waktu itu beliau masih muda dan ikut dengan kakek saya yang sedang bertugas di KBRI. Walau buku yang terbit di luar negri berbahasa Inggris, beliau tetap membacanya. Untuk mendukung hobinya ini, beliau belajar bahasa Inggris. Salah satu pesan guru bahasa Inggrisnya adalah cari kata yang sulit dimengerti dan sering digunakan dalam bacaan. Pesan gurunya diikuti. Ketekunannya ini membuahkan hasil. Beliau menjadi piawai berbahasa Inggris. Buku-buku bacaannya didominasi berbahasa Inggris. Saking pandainya berbahasa Inggris, beliau lebih mampu menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris daripada ke dalam bahasa Indonesia. Artinya beliau lebih siap menerjemahkan teks Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Bukan sebaliknya. Kemampuan bahasanya ini suatu saat dimanfaatkannya. Beliau sering menerima order menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pendapatan dari menerjemah ini lumayan besar, apalagi ketika penghasilan kerja beliau di kantor sedang minim. Semua ini bermula dari hobinya membaca.
Ketika sudah berkeluarga hobi ini terus berlanjut. Saya yang masih kecil terkagum-kagum melihat koleksi buku novelnya. Ada karya Ian Flemming, Agatha Christie, Irving Wallace, Robert Ludlum, Sidney Seldon, Ross Macdonald dan penulis lainnya. Koleksinya ratusan lebih. Setiap hari beliau membaca buku-buku novel itu. Kebanyakan buku-buku itu telah dibacanya berulang kali. Terkadang beliau ceritakan beberapa buku yang menarik. Ada novel yang berkisah tentang penculikan beberapa orang ilmuwan dari seluruh dunia dan dikumpulkan di suatu daerah. Ada pula yang mengisahkan tentang biro pembunuhan. Ada pula cerita tentang skandal pemberian hadiah Nobel.
Kebiasaannya membaca di depan anak-anak, nampaknya berpengaruh padaku. Apalagi ketika ayah membelikanku beberapa buah komik. Komik-komik di waktuku kecil kebanyakan buah karya komikus tanah air. Sebut saja Wid Ns, Hasmi, Djair, Ganes Th dan sebagainya. Saya kenal Gundala Putra Petir dari komik, bukan dari film. Saya tahu Jaka Sembung, Kinong, dan Si Tolol, bukan dari film.
Bacaan yang kubaca semakin beragam. Saya tahu penemu dinamit, telepon, serum dari koleksi buku-buku saya. Waktu itu, saya sempat gemar membaca buku-buku ilmu pengetahuan. Saya pernah punya koleksi buku mengenai berbagai ilmu pengetahuan. Seingat saya buku itu berjudul "Kenapa dan Mengapa?" Buku ini terdiri dari 17 jilid dengan halaman yang lumayan tebal.
Dengan membaca kita akan merasa selangkah lebih maju dibandingkan dengan yang lain. Kurang lebih, mungkin seperti ungkapan Mohammad Fauzil Adhim ketika beliau masih kecil. Di saat teman-temannya bercerita tentang film yang ditontonnya, mas Fauzil Adhim kecil bercerita tentang buku yang dibacanya. Ketertarikan teman-teman pada ceritanya, menumbuhkan rasa percaya diri yang luar biasa[1]. Tentu kita masih ingat dengan kuis miliaran rupiah. Dalam salah satu episodenya, ada seorang loper koran berhasil menjawab hampir seluruh pertanyaan. Tinggal 1 pertanyaan lagi yang tidak dijawabnya. Dia berhasil memperoleh uang sebesar Rp 500 juta rupiah. Suatu jumlah yang hanya segelintir orang –yang ikut kuis tersebut- saja yang dapat memperolehnya. Bagaimana rasanya, jika kita yang berhasil memperolehnya? Bagaimana perasaan orang tua si loper koran itu? Mengapa seorang loper koran dapat membuat sejarah spektakuler seperti itu? Kita tidak mungkin bertanya apa yang dimakannya? Kita akan bertanya apa yang dibac………nya?
Coba bayangkan, jika kita sedang menghadapi ujian semester atau akhir. Soal ujiannya adalah multiple choice. Jawabannya adalah salah satu dari 4 pilihan yang tersedia. Karena kita telah belajar alias membaca, maka kita dapat menjawabnya. Sementara itu teman-teman sedang menghitung kancing dari atas ke bawah dan sebaliknya. Jika jarinya berakhir di kancing terbawah maka jawabannya D. Namun jika kancingnya berakhir di atas, maka jawabannya A. Sebagian anak ada yang mencoba menyontek temannya. Karena jawabannya berbeda dengan jawaban temannya, maka dia merobah jawabannya sendiri. Itulah contoh anak yang tidak membaca. Jalan hidupnya hanya coba-coba alias trial and error. Jalan hidupnya selalu dipengaruhi orang lain. Tidak mempunyai pendirian.
Ketika duduk di bangku SLTP, saya mulai membaca buku remaja. Saya membaca buku novel remaja milik ayah. Saya amat tertarik sekali dengan karya Teguh Esha. Dia mengangkat kisah seorang pemuda broken home yang bernama Ali Topan. Dia pemuda urakan. Bila di jalan raya bersama ketiga temannya mereka adalah raja jalanan. Bila di kelas, tidak henti-hentinya mereka mempermainkan guru. Namun ada hal lain yang terdapat di dalam diri Ali Topan. Walaupun urakan, suka ngebut dan terkadang songong pada guru, dia termasuk anak terpandai di sekolahnya. Bila ujian sekolah, dia selalu selesai lebih awal dibanding teman-temannya. Gurunya kagum melihat jawaban ujian yang baru diterimanya dari Ali Topan. Dia geleng-geleng kepala. Kagum pada kepandaian Ali Topan, prihatin karena keurakannya. Begitulah kurang lebih Teguh Esha menggambarkan sosok Ali Topan.
Sosok Ali Topan ini amat mempengaruhi diri saya. Maklum kedua serial Ali Topan, saya baca berulang kali. Saya menjadi anak yang pandai di kelas. Selalu bersaing dengan teman yang menempati rangking pertama. Walhasil selama duduk di bangku SLTP, saya selalu termasuk salah satu murid yang mendapat rangking. Diantara 3 ratusan murid (10 kelas) , saya paling tidak menduduki urutan ke 13. Pengaruh Ali Topan lainnya adalah setiap malam minggu, saya pergi menonton di bioskop. Seorang diri. Saya mengenakan jaket jeans, persis gaya berpakaiannya Ali Topan. Saya juga banyak mempunyai teman, dari mulai tukang roti, tukang sol sepatu hingga tukang gado-gado. Karena sosok Ali Topan adalah sosok orang yang banyak mempunyai teman. Mulai dari tukang koran hingga tukang rokok.
Begitulah pengaruh bacaan. Dapat merubah pemahaman dan perilaku seseorang. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Mohammad Fauzil Adhim. Beliau mengatakan, "Permen karet Hilman "Lupus" adalah contoh sederhana bagaimana tulisan bisa menyihir remaja. Para remaja berlomba-lomba belajar menggelembungkan permen karet di mulut mereka. Andaikan ide yang begitu menggoda itu sedikit lebih tinggi nilainya, betapa dahsyat kekuatan perubahan yang akan dihasilkan[2].
Setelah lulus kuliah, saya tidak langsung bekerja. Saya sempat memberikan privat bahasa Arab di dua tempat, masing-masing seminggu dua kali. Karena banyak waktu luang, maka waktu untuk membaca juga terhampar luas. Kesempatan saya untuk membaca koran menjadi lapang. Pada saat itu, Indonesia baru saja terkena krisis moneter. Banyak kredit macet yang berakibat pada banyaknya bank yang dilikuidasi atau paling tidak di-merger. Itu berarti banyak pegawai bank yang di PHK atau pensiun muda. Akibat lainnya arus modal tersendat. Jika arus modal tersendat, maka kegiatan perekonomian pun menjadi macet. Setelah membaca mengenai hal ini, saya jadi teringat pada hukum Islam. Hukum Islam yang melarang kita untuk menimbun uang/harta (kanzul mal) dan menimbun barang (ihtikar). Saya juga teringat pada riwayat mengenai seorang sahabat Rasulullah Saw yang bernama Abdurrahman bin Auf r.a. Dia adalah salah seorang sahabat rasul yang kaya. Beliau mengklasifikasikan hartanya menjadi tiga bagian. Pertama, untuk diri dan keluarganya. Kedua, hartanya yang dalam bentuk piutang. Ketiga, hartanya yang disiapkan untuk diberikan atau dipinjamkan atau untuk modal orang yang membutuhkan. Ingatan ini, menggugah saya untuk menulis. Menulis mengenai pengertian penimbunan harta (kanzul mal) dan bedanya dengan orang yang menabung (non riba). Perlunya pemerintah untuk mengumpulkan para konglomerat agar menjadi Abdurrahman bin Auf di zaman milenium. Sehingga tidak ada harta yang ditimbun (kanzul mal). Selain itu, harta mereka dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang membutuhkan modal. Semua pikiran dan ide-ide ini sekali lagi menggugah saya untuk menulis. Saya mencoba untuk menunda penulisan ide-ide yang ada di kepala saya ini, namun sulit. Tidur saya menjadi terganggu. Begitu ide-ide itu mulai dituangkan dalam tulisan, saya dapat menuangkannya dengan cepat dan lancar. Masalah kurangnya modal -akibat bank dilikuidasi atau di-merger, diatasi dengan menarik modal dari para konglomerat. Ajak para konglomerat untuk meminjamkan (tanpa bunga) hartanya. Kalau tidak mau, dia dapat mengadakan kerja sama dengan orang yang memiliki rencana bisnis, namun tidak mempunyai modal. Tulisan saya terus mengalir. Begitulah ketika waktu untuk membaca lapang. Namun begitu waktu untuk membaca tersita oleh pekerjaan kantor, saya jadi kurang membaca. Akibatnya, saya tidak produktif menulis.

[1] Dunia kata, karya Mohammad Fauzil Adhim, hal 21, penerbit Dar Mizan

[2] Dunia kata, karya Mohammad Fauzil Adhim, hal 27, penerbit Dar Mizan

Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikutsertakan dalam lomba

SEBUAH RENUNGAN

SEBUAH RENUNGAN

Upaya untuk mencapai shalat yang khusyu’ merupakan upaya yang cukup berat. Semua bayangan yang berada di luar masjid masuk ke dalam pikiran kita. Sesuatu yang terlupa sebelum menunaikan shalat, menjadi teringat ketika kita sedang menunaikan shalat. Pengalaman yang menyedihkan ikut mengganggu shalat kita. Demikian pula hal-hal yang menyenangkan. Mendapat nilai terbaik di dalam kelas dapat mengganggu shalat seorang siswa. Di dalam shalatnya, dia merasa senang. Dia merasa bangga karena dapat mengalahkan sang juara kelas. Dia berencana akan menemui kedua orang tuanya dan menunjukkan nilai ujiannya yang terbaik. Suasana yang berkecamuk di dalam pikiran dan hati, semakin diperparah oleh ulah anak-anak kecil yang bercanda di sela-sela shalat berjamaah.
Anak-anak kecil ikut berbaris di antara shaf-shaf orang dewasa. Ketika imam mengucapkan wa laadh dhaalliin, maka serentak anak-anak berteriak aamiin dengan kerasnya. Keras hingga memekakkan telinga. Ini juga dilakukan pada rakaat berikutnya. Canda dan tawa menghiasi ibadah mereka. Saling pukul kadang mewarnai aktivitas shalat mereka. Seorang anak berupaya untuk khusyu’, namun sahabatnya senantiasa menggodanya. Yang tadinya tenang, mulai senyum-senyum hingga akhirnya ikut membuat gaduh.
Orang-orang dewasa yang ikut menunaikan shalat jama’ah dalam keadaan seperti ini, tentu merasa terganggu. Saya salah satunya. Saya merasa terganggu dengan ulah mereka. Ulah anak-anak itu terkadang memancing emosiku. Ingin rasanya menghentikan mereka. Kalau perlu menjewernya. Namun nampaknya tidak mungkin, saya harus menyesaikan shalat terlebih dahulu.
Usai menunaikan shalat, saya pun tidak dapat menasehati mereka. Setelah imam mengucapkan salam, anak-anak segera berlarian keluar dari masjid. Di samping itu, langkahku terhenti. Karena saya terkenang dengan ulah di waktu kecil yang tidak jauh berbeda dengan anak-anak itu.
Jika bulan Ramadhan tiba, saya bersama adik, serta seorang tetangga pergi ke masjid Sunda Kelapa untuk menunaikan shalat tarawih. Selain tetangga, biasanya teman sekolah saya sudah menunggu di masjid itu. Teman saya bernama Arif. Dia biasanya membawa kedua orang adiknya. Selain itu ada teman sekolah saya yang lain, Danny namanya. Walhasil kami bertujuh, anak-anak SD shalat tarawih di sana.
Untuk jamaah laki-laki, shalat di lantai dua. Di lantai dua terdapat ruangan inti dan dua selasar yang berada di sisi kanan dan kiri ruangan inti. Saya bersama teman-teman, biasanya mengambil selasar sisi kanan dan mengambil shaf terdepan. Di malam hari yang penuh bintang, kami menunaikan shalat Tarawih.
"Ya! Kok orang itu shalatnya begitu?" tanya temanku. Temanku bingung, mengapa orang itu setiap bersidekap, telapak tangan kanannya selalu diletakkan di atas telapak tangan kiri yang berada di dadanya.
"Bukankah bila bersidekap, telapak tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri dekat dengan sikut?"
Temanku yang lain juga merasa heran. "Kok? Ketika tahiyyatul akhir jari telunjuk orang itu digerak-gerakkan?"
Padahal belakangan setelah membaca buku Sifat Shalat Nabi -karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani- semua keheranan di waktu kecil, terjawab sudah. Baik telapak tangan kanan yang diletakkan di atas tangan kiri maupun jari telunjuk yang digerak-gerakkan. Semuanya berlandaskan pada hadits nabi Saw.
Berbagai komentar, obrolan dan canda keluar dari mulut kami, tidak terkecuali ketika khatib sedang ceramah. Tentu saja mengganggu jamaah lain yang sedang mendengarkan mutiara hikmah Ramadhan pada saat itu.
“Hei, jangan berisik. Lagi ada ceramah, seru seorang pemuda. Kadang ada juga yang menunjukkan ketidak senangannya dengan berdecak.
“C'ek!, anak-anak, kerjanya hanya main dan becanda,” begitu ungkap seorang bapak yang nampaknya kesal.
Teguran langsung atau sindiran, nampaknya tidak mempan bagi kami. Hingga pada suatu ketika, shalat tarawih usai. Seorang bapak tua datang menghampiri kami. Beliau bertanya, “Apa kalian yang tadi ribut ketika khatib berceramah?”
Kami menjawab, “Benar, pak.”
“Besok, jangan ribut lagi yach!”
“Ya pak.”
Dari informasi yang kami dengar, ternyata bapak tadi adalah khatib yang yang berceramah hari itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, bapak itu ternyata adalah Bung Tomo. Beliau adalah pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya..
Keesokkan harinya, Bung Tomo kembali menemui kami. “Kalian anak-anak yang kemarin ribut ya?”
“Ya pak”, jawab kami
“Karena hari ini kalian tidak ribut, maka ini hadiah dari bapak.” Bung Tomo menyerahkan sejumlah uang kepada kami.
Saya tersadar dari lamunan. Segala hal yang terjadi pada saat saya kecil terulang kembali pada saat ini. Di saat orang-orang sedang shalat berjamaah, terdapat anak-anak kecil yang mengganggu kekhusyu’an shalat. Hanya saja bedanya, dulu saya yang mengganggu kekhusyu’an shalat orang lain. Kini, saya yang terganggu dalam menunaikan shalat. Lantaran banyak anak-anak kecil yang ribut.
Masih dengan kondisi yang serupa. Pada suatu ketika di dekat rumah kami, terdengar bunyi petasan. Bunyinya amat keras, sehingga mengejutkanku. Tak lama berselang, kembali petasan lain berbunyi. “Door!” Keras bunyinya, memekakkan telinga.
Mendadak saja saya berteriak, “Wooi! Main petasannya jangan di sini!” Saya berjalan menuju pintu. Bermaksud melihat langsung siapa yang telah membuat ulah menyalakan petasan. Sampainya di pagar, saya perhatikan sekeliling rumah. Namun tidak ditemukan anak-anak atau siapa saja yang menunjukkan gelagat telah menyalakan petasan. Saya kembali masuk ke dalam rumah dan teringat peristiwa di masa kecil.
Sewaktu kecil saya tinggal di pemukiman yang padat. Di kanan dan kiri terdapat rumah para tetangga. Jika saya menangis, maka tetangga sebelah akan mendengarnya, begitu cerita kedua orang tuaku. Bila tetangga memasang tape radio agak sedikit keras, maka suara itu akan sampai ke rumah kami. Sehingga tidaklah heran, bila saya memasang petasan, maka tetangga yang mendengarnya akan marah dan merasa terganggu.
Pada suatu kali, saya memasang petasan. “Duaar!” begitulah kira-kira bunyinya. Tetanggaku yang merasa terganggu langsung keluar rumah. “Hey! Jangan berisik! Ada yang sakit!”, teriak teh Kokom. Saya dan teman yang mendengar teriakan itu, langsung lari terbirit-birit. Memang suami teh Kokom sedang sakit.
Keesokkan harinya, saya terkejut. Para tetangga menceritakan bahwa suami teh Kokom berpulang ke rahmatullah alias tutup usia. Betapa menyesalnya saya pada saat itu. Bagaimana kalau suami teh Kokom meninggal karena kaget setelah mendengar petasanku? Bagaimana kalau sakit suami teh Kokom itu adalah sakit jantung? Begitulah pikiranku pada saat itu.
Mengingat kenangan ini, saya menjadi malu sendiri. Malu untuk memarahi anak-anak yang bermain petasan. Karena saat usiaku sebaya mereka, saya melakukan hal yang sama.
Banyak hal yang tidak dapat dimengerti di masa kecil, baru dapat dipahami begitu menginjak usia dewasa.
Lelahnya ayahku bekerja, baru dapat dirasakan ketika kubekerja. Bagaimana rasanya ayah menghabiskan hari libur dengan bekerja, juga baru kurasakan setelah dewasa ini. Lelahnya ayah karena bekerja lembur, juga baru dapat dipahami dan dirasakan setelah saya pulang kerja lembur.
Mengapa semuanya baru disadari setelah kita dewasa? Mengapa kita tidak dapat menyadari bahwa berisik di saat orang-orang sedang shalat jamaah merupakan perbuatan yang mengganggu dan baru disadari saat ini? Mengapa kita terlambat menyadari bahwa membunyikan petasan di kawasan padat penduduk dapat mengganggu istirahat orang lain?
Jawabannya karena kita masih kecil. Anak kecil belum dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Mengganggu orang lain atau tidak. Yang ada di dalam pikiran anak kecil hanyalah kesenangan.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan orang dewasa yang mengganggu orang lain? Bahkan merugikan, mendzalimi dan menyengsarakan orang lain? Orang dewasa yang mengeruk keuntungan dari orang lain dengan cara membuatnya sengsara? Belum lagi para kaki tangan, centeng, anak buah atau suruhan dari orang dewasa ini, yang berbuat semaunya. Mereka tidak peduli dengan kesulitan, kesengsaraan dan kebingungan orang lain. Yang ada dalam pikiran mereka adalah yang penting bos senang. Yang penting proyek bos gol. Bukankah orang yang sudah dewasa dapat membedakan antara baik dan buruk; benar dan salah? Mengganggu orang lain atau tidak? Atau mereka melakukan ini semua untuk sebuah kesenangan, seperti layaknya anak kecil? Apakah mereka harus terlebih dahulu, merasakan bagaimana didzalimi oleh orang lain? Apakah mereka harus merasakan bagaimana hidup susah di bawah kesenangan orang lain? Apakah semua ini harus terjadi terlebih dahulu, baru kemudian para penindas alias orang yang berbuat dzalim menjadi sadar? Sebagaimana saya merasa terganggu dengan anak-anak kecil yang ribut di saat shalat berjamaah? Sebagaimana saya merasa terganggu dengan anak-anak yang menyalakan petasan di kawasan padat?
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam lomba

Rabu, 26 Desember 2007

PENGAMEN DAN BIKER

PENGAMEN DAN BIKER

Fir’aun, Namrudz, Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh musyrik lainnya merupakan orang-orang yang angkuh dan sombong. Mereka menganggap dirinya adalah Tuhan. Mereka tidak peduli dengan teguran dan nasehat orang lain, bahkan sampai ketika bukti-bukti kebenaran telah dibeberkan. Simak saja ayat[1] yang membahas mengenai Namrudz. Dia mengaku mampu menghidupkan dan mematikan manusia. Namun dia tidak mampu untuk menerbitkan matahari dari barat. Belum lagi keingkaran dan permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah Saw, sampai-sampai namanya diukir di dalam Al-Qur’an. Bukan sebagai pujian Allah terhadapnya, tetapi bukti dari keangkuhannya yang sudah terlewat batas.
Sebaliknya adapula orang-orang beriman yang dengan serta merta mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Lihat pribadi Abu Bakar! Di saat orang-orang kafir tidak mempercayai peristiwa Isra Miraj Nabi Saw. Beliau mengatakan, “Shadaqta Anta Muhammad!” atau anda benar, wahai Muhammad!. Kepatuhan orang-orang mukmin juga nampak ketika larangan meminum minuman memabukkan alias khamar turun. Begitu Allah menurunkan ayat yang mengharamkannya, serta-merta kaum mukmin meninggalkannya. Padahal sebelumnya, meminum khamar merupakan kebiasaan/adat orang-orang Arab pada umumnya, termasuk orang-orang mukmin. Setelah kaum mukmin menumpahkan dan membuang semua khamar yang dimiliki, kota Madinah banjir dengan minuman keras. Begitulah keterangan yang terdapat di dalam buku karya Yusuf Al-Qaradhawy[2].
Dari kalangan kaum wanitanya, ketundukan nampak jelas ketika ayat tentang jilbab turun. Diriwayatkan, ketika ayat tentang jilbab turun, kaum mukminat segera menerapkannya. Mereka tidak lagi memikirkan mode dan bahan yang digunakan; yang terpenting menutup aurat. Seperti yang diriwayatkan, kaum mukminat waktu itu memanfaatkan tirai/hordeng sebagai penutup aurat.
Namun masih adakah orang-orang yang bersikap seperti Abu Bakar dan kaum mukmin di masa Rasulullah? Masih adakah orang-orang seperti itu, di zaman yang sudah penuh dengan kemaksiatan? Masih adakah orang-orang yang mau menerima nasehat, di zaman kemaksiatan merupakan hal biasa, bukan lagi tabu? Jawabannya tunggu setelah yang satu ini, jangan kemana-mana!
Di sekitar akhir 2004, saya mendapat tugas dari bos untuk pergi ke kantor mitra bisnisnya. Memang kantorku memiliki hubungan kerja dengan kantor lain. Saya sudah biasa menjalankan tugas ini; yaitu mengantarkan berkas-berkas yang akan ditindak lanjuti oleh mitra kami.
Di dalam perjalanan, metro mini yang kutumpangi kedatangan dua orang pengamen. Seorang masih muda sekitar 20 tahunan dan yang satunya mungkin baru kelas 6 SD. Perpaduan suara anak muda dan anak kecil terasa indah juga. Sebab lengkingan anak kecil terasa beda dengan lengkingan anak muda. Lengkingan anak kecil terasa pure. Maksud lho?? Maksud gue suaranya terdengar jernih.
Mereka mendendangkan dua buah lagu. Begitu lagu pertama didendangkan, saya tidak ambil peduli. Karena tidak kenal, lagu siapa yang mereka nyanyikan. Yang jelas lagu itu bercerita tentang cinta. Nggak tahu persisnya, cinta monyet atau cinta sapi.
Tapi, begitu lagu kedua dilantunkan, saya senang sekali. Lagu ini biasa dinyanyikan oleh Iwan Fals bersama grupnya Swami. Bang Iwan merupakan seorang pemusik yang sukses di blantika musik Indonesia; yang karirnya di mulai dari pemusik jalanan. Mungkin, kedua pengamen ini juga ingin sukses seperti bang Iwan. Dengan melantunkan lagu berjudul Bongkar setidaknya mengingatkan mereka pada pelantun lagu ini. Seorang yang sukses dan berawal dari mengamen.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Itulah bait pertama lagu Bongkar didendangkan oleh kedua pengamen tersebut. Sayapun mengikuti lantunan mereka. Karena sedikit banyak, saya hapal lagu itu.
Oo ya o ya o ya bongkar
Oo ya o ya o ya bongkar
Lagu terus mengalun dan sayapun terus bergumam menirukan kedua pengamen itu. Namun, di saat-saat sedang asyiknya menyanyi, saya terkejut. Mengapa bait lagu yang saya nyanyikan berbeda dengan yang mereka lantunkan. Apakah saya yang salah atau mereka yang salah? Saya terdiam dan terus mendengarkan mereka bernyanyi. Ternyata, kedua pengamen itu yang salah. Karena pada bait-bait berikutnya mereka bingung untuk melanjutkan dan segera mengakhiri lagunya. Saya tahu, bait lagu yang harusnya mereka lantunkan di bait bawah, mereka lantunkan di bait atas.
Masih dengan menyimpan sedikit rasa kecewa, saya melanjutkan perjalanan ke tujuan. Dengan sekali lagi naik angkot, akhirnya saya sampai. Saya serahkan semua berkas yang diperlukan kepada Rizal, teman yang biasanya menerima berkas di kantor mitra kami. Semuanya sudah lengkap. Sehingga saya dapat berbincang-bincang dengan Rizal dan teman-temannya. Tanpa terasa saya sudah sekitar dua jam berbicara dengan mereka. Bagitulah keuntungan orang yang mempunyai tugas luar. Begitu tugas selesai, waktu digunakan sesuai dengan keinginan kita. Sedangkan mereka yang bertugas di dalam kantor akan terus menghadapi meja atau komputer, sambil tetap memasang telinga. Sebab lengah sedikit ketika bos memanggil, bisa runyam urusannya.
Saya pulang kembali naik metro mini. Baru saja metro mini melewati sekitar 3 halte, saya kembali kedatangan dua orang pengamen. Betapa terkejutnya, ternyata kedua orang pengamen yang datang adalah pengamen yang sebelumnya saya lihat. Pengamen yang keliru menyanyikan lagu Bongkar.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kedua orang pengamen itu kembali menyanyikan lagu Bongkar. Dengan gayanya yang meyakinkan mereka menyanyikan dengan lantang. Saya kembali ikut bernyanyi. Terus bernyanyi dan terus bernyanyi.
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Saya terus bernyanyi dan lagu berakhir dengan sempurna. Kali ini saya kagum pada mereka. Tidak satupun bait lagu yang salah dinyanyikan. Tidak ada satu baitpun yang tertukar.
Kalau sewaktu pergi memendam kekecewaan. Ketika pulang saya merasa gembira sekali. Bukan sekedar menyanyi dengan sempurna dan benar. Tapi kedua pengamen ini sudah menyadari kekeliruan yang mereka telah lakukan. Ini terbukti setelah dua jam kemudian, ketika saya hendak pulang ke rumah.
Betapa banyak orang yang tidak menyadari kekeliruannya. Alangkah banyak orang yang dinasehati, namun tidak pernah menyadari kekeliruannya. Lain halnya dengan kedua pengamen kita ini, mereka menyadari kekeliruan dan kekurangannya, walau tidak ada yang menasehatinya. Orang-orang seperti inilah yang mudah menerima kebenaran. Orang macam inilah yang dapat menerima nasehat dengan lapang dada. Beginilah sifat Abu Bakar dan orang-orang mukmin. Mereka tidak sombong dan angkuh. Bukankah kita masih ingat pidato Abu Bakar r.a., ketika beliau baru saja diangkat menjadi khalifah? Di dalam pidatonya, Abu Bakar berkata, “Hai kaum muslimin, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Tapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantulah dan jika saya salah, luruskanlah.[3]
Di lain kesempatan, saya melihat sosok orang yang bertolak belakang dengan kedua pengamen tadi.
Karena jalanan macet, banyak kendaraan motor yang mengambil jalur orang lain. Angkot yang datang dari arah timur, hampir bertabrakan dengan motor yang datang dari arah barat. Pasalnya, motor ini telah mengambil jalur angkot tersebut. Karena nyaris bertabrakan, si pengendara motor marah-marah dan memukul angkot yang hampir menabraknya. Saya tahu benar, pengendara motorlah yang bersalah. Saya yang berada di angkot itu, melihat dengan jelas bahwa si pengendara motor mengambil jalur angkot. Namun, mengapa harus pengendara motor yang marah? Bukankah supir angkot yang lebih layak untuk marah?
Pengendara motor ini bersalah, namun tidak menyadari bahwa dirinya bersalah. Sebelum ditegur atau dinasehati, dia sudah mengambil sikap bahwa dirinyalah yang benar. Walhasil, orang yang merasa benar, tidak perlu dinasehati. Begitulah anggapannya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang memiliki watak seperti Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab dan Abu Jahal.

[1] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:258
[2] Iman dan Kehidupan (terj.) karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawy hal. 128-130, terbitan Bulan Bintang
[3] Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah (terj), karya Khalid Muhammad Khalid, terbitan CV Diponegoro

Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam lomba penulisan

KESADARAN HUKUM

KESADARAN HUKUM

Dalam suatu riwayat, Umar bin Khaththab r.a pernah memergoki sekelompok orang yang sedang meminum minuman keras di dalam sebuah rumah. Umar berkata, “Bukankah aku telah melarang kalian menjadi pecandu khamar?”
Di dalam riwayat yang lain, Umar r.a pernah menguji seorang penggembala agar menjual binatang ternak yang sedang digembalakannya. Mendengar permintaan Umar ini, si penggembala mengatakan bahwa ternak itu adalah milik tuannya. Dia tidak berhak untuk menjualnya. Umar mencoba mengujinya dengan mengatakan bahwa tuannya itu tidak akan mengetahui apa yang dilakukannya. Namun dengan keimanan yang tulus dan suci, si penggembala menjawab, “Kalau begitu, dimana Allah?!!”
Riwayat yang pertama menjelaskan tentang watak manusia. Manusia kerap memperturutkan hawa nafsunya. Dia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah haram, dilarang oleh Allah. Dia mengetahui bahwa shalat 5 waktu itu wajib. Namun, karena memperturutkan hawa nafsu, manusia kerap melanggarnya.
Karena takut dihukum atau malu diketahui orang; para pelaku kriminal, penjahat, pelaku perbuatan dosa senantiasa melakukan ‘aksinya’ secara diam-diam, jauh dari keramaian. Seperti yang dijelaskan di dalam riwayat yang pertama. Para pemabuk itu melakukan ‘aksinya’ di dalam rumah.
Lain halnya dengan riwayat penggembala di atas. Meskipun jauh dari keramaian, si penggembala tidak mau melakukan perbuatan tercela. Dia tidak ingin mengambil keuntungan sesaat, namun dimurkai oleh Allah. Semuanya dilakukan dengan tulus ikhlas. Mengharapkan pujian dan penghargaan orang lain, jauh dari pikiran orang-orang beriman seperti si penggembala di atas. Mengharapkan sesuatu dari makhluk -baik berupa penghargaan maupun mengambil keuntungan materi- sering membawa kekecewaan. Sebab makhluk yang dijadikan tumpuan harapan juga mengharapkan semua itu.
Bagi orang yang beriman, sanksi hukum bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti. Sanksi hukum adalah salah satu cara penghapusan dosa seseorang yang telah melakukan pelanggaran.
Seorang wanita Ghamidiyyah datang menemui Rasulullah. Wanita ini memohon agar dirinya dijatuhi hukuman rajam. Dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya telah melakukan perbuatan zina, sucikanlah diri saya.” Wanita ini akhirnya, dijatuhi hukuman rajam.
Bila semua yang ada di masa Rasulullah ini terjadi saat ini, tentu tidak ada orang yang lari dari hukum. Tidak ada orang yang membela diri padahal dirinya bersalah. Tidak ada orang yang membuat rekayasa agar terkesan dirinya tidak bersalah. Tidak ada orang yang sibuk mencari kambing hitam, dengan maksud agar dirinya lepas dari tuduhan.
Demikianlah Islam membentuk pribadi-pribadi tangguh. Mereka tidak akan melakukan perbuatan dosa walau jauh dari keramaian, walau tidak seorangpun yang mengetahui.
Islam juga mendidik kita untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, apapun akibatnya. Islam menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang sadar akan hukum. Sudahkah ini ada dalam diri kita? Mari kita berusaha.

KASIH SAYANG ALLAH

KASIH SAYANG ALLAH
Banyak sekali rambu dari Allah swt yang mencegah manusia jatuh di lembah nista. Berbagai syari'at Allah menunjukkan hal itu. Lihat saja ayat berikut ini, "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya." Dan ayat berikutnya, "Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (QS An-Nuur (24):30-31)
Di dalam kedua ayat di atas, Allah memerintahkan baik pria maupun wanita untuk menundukkan pandangannya. Mengapa Allah mendahulukan perintah menundukkan pandangan dari memelihara kemaluan? Karena semuanya bermula dari pandangan. Manusia merasa terangsang, setelah melihat, menyaksikan dan memandang. Jadi, menahan dan menundukkan pandangan adalah suatu hal yang penting. Menahan dan menundukkan pandangan termasuk perbuatan preventif dari perbuatan zina.
Di dalam buku yang berjudul Ghaddul Bashar, karya Ahmad Ahmad Jad dijelaskan sebagai berikut,
Arti dari ghaddul bashar adalah menahan dari melepaskan pandangan, menundukkan pandangan dan tidak mengangkat pandangan dari tanah atau menutup pandangan, sehingga terhalang untuk melihat.
Maksud dari ghaddul bashar adalah hendaknya kaum mukminin dan mukminat agar menahan pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mereka hanya boleh melihat pada hal-hal yang dibolehkan oleh Allah.
Di dalam At-Tafsir Al-Kabir dijelaskan bahwa Allah swt mendahulukan menjaga pandangan daripada menjaga kemaluan. Karena pandangan adalah pemandu perbuatan dosa. Di dalam buku Fathu Al-Qadir dijelaskan Allah swt mendahulukan menjaga pandangan. Karena pandangan adalah sarana yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjaga kemaluannya.
Selain surat An-Nuur di atas, di dalam surat Al-Ahdzab dan beberapa hadits dijelaskan bahwa wanita diperintahkan menutup auratnya. Demikian pula dengan kaum prianya. Mereka juga diperintahkan untuk menutup auratnya.
Seorang wanita dan seorang pria dilarang berduaan di suatu tempat. Rasulullah saw bersabda, “Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat (berduaan), kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.”
Kaum wanita dilarang melakukan perjalanan sehari dan semalam, kecuali disertai oleh muhrimnya. Rasulullah saw bersabda, “Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahramnya.”
Ibnu Abbas ra. menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw berkhutbah, “Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku merencanakan pergi ke peperangan ini dan peperangan itu.” Rasulullah saw menjawab, “Pergilah engkau menunaikan ibadah haji bersama istrimu.”
Semua ketentuan Allah ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan kaum wanita dan pria. Perintah Allah bukan hanya kepada kaum pria saja, agar menundukkan pandangannya. Namun Allah juga memerintahkan wanita untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat. Tidak bisa dikatakan bahwa tindakan pemerkosaan hanya kembali kepada kaum pria saja atau kaum wanita saja. Semuanya diperintahkan untuk mencegah terjadi perbuatan zina atau pelecehan seksual. Caranya menjalankan semua hukum-hukum di atas. Dengan melaksanakan semua hukum di atas, semua celah untuk terjadinya sebuah perbuatan tercela dapat dihindari.
Berpakaian tidak menutup aurat atau tidak berpakaian sama sekali alias nudis dengan alasan seni atau model, tidaklah dapat dibenarkan. Buat apa kita menjunjung tinggi seni seperti ini, namun dalam waktu yang bersamaan merendahkan derajat manusia hingga mencapai derajat hewan.
Tidak itu saja, untuk menjaga kehormatan wanita dan pria, Allah menjatuhkan sanksi hukum bagi mereka yang melakukan perbuatan zina. Sanksi hukum yang berat. Jika yang melakukan perbuatan zina mereka yang telah menikah, maka hukumannya adalah rajam (dilempar batu) hingga mati. Jika yang melakukan perbuatan zina mereka yang belum menikah, maka hukumannya adalah dicambuk di muka umum.
Di dalam buku 'Hatta yughayyiru Ma bi anfusihim' karya Amru Khalid terdapat keterangan berikut ini,
Suatu ketika, seorang wanita muslimah dipermalukan/dilecehkan oleh orang-orang bangsa Romawi di sebuah pasar. Wanita itu berteriak, "Wahai Mu'tashim! (khalifah pada saat itu) dimana kau?" Ketika mendengar berita ini, khalifah Mu'tashim segera mengirimkan surat ke bangsa Romawi. Isi surat itu adalah dari khalifah Mu'tashim untuk anjing Romawi, "Bebaskan wanita terhormat itu dan pulangkan kepada kami. Jika tidak, saya akan mengirim pasukan padamu. Yang ujungnya berada di negrimu, sedangkan pangkalnya berada di negri kami!"
Berani sekali orang yang menuduh Allah sebagai pembuat hukum yang tidak manusiawi alias melanggar HAM atau hukum yang sudah kadarluarsa.
Seharusnya umat manusia bersyukur. Allah amat menyayangi, memperhatikan dan menjaga kehormatan makhluk-Nya yang bernama manusia.
Syari'at Allah bukan untuk umat Islam semata, tapi untuk semua umat manusia. Termasuk syari'at Allah tentang upaya menjaga kehormatan. Mengapa umat manusia selalu memandang sebelah mata terhadap syari'at Allah? Mengapa umat manusia selalu mempunyai pandangan miring dan negatif terhadap syari'at Allah? Tidak adakah pikiran bahwa syari'at Allah diturunkan kepada umat manusia, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada mereka?

ALLAH AMAT MENGERTI AKAN MAKHLUK-NYA

ALLAH AMAT MENGERTI AKAN MAKHLUK-NYA

Bila bulan Ramadhan tiba, itu berarti kaum muslimin kembali menunaikan kewajiban berpuasa. Mereka harus berpuasa sejak imsak hingga waktu Maghrib tiba. Menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa; makan dan minum misalnya. Mereka dilarang melakukan dua aktifitas ini, padahal keduanya merupakan tuntutan naluri manusia. Dua aktifitas ini biasa dilakukan kaum muslimin di waktu sarapan maupun makan siang, yaitu di sebelas bulan sebelum Ramadhan tiba. Makan dan minum merupakan kebutuhan manusia. Namun untuk menunjukkan keimanan, kaum muslimin diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan.
Seperti diketahui, perintah berpuasa juga diikuti oleh perintah untuk berbuka, jika waktunya telah tiba. Karena Allah tahu bahwa manusia butuh makan dan minum. Begitulah Allah, Dia amat pengertian pada makhluk-Nya.
Aturan lain yang berkaitan dengan berpuasa adalah kaum muslimin boleh tidak berpuasa jika dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Kekuatan tubuh manusia ada batasnya. Adakalanya dia sakit. Oleh karenanya, dia boleh mengutamakan hak tubuhnya untuk beristirahat dan tidak berpuasa. Terkadang keadaan manusia menuntutnya harus pergi ke luar kota. Dalam keadaan seperti ini, Allah mengizinkan orang ini untuk tidak berpuasa hingga keperluannya usai. Hanya saja mereka harus berpuasa -di hari-hari sesudah Ramadhan-, sebanyak hari yang ditinggalkan. Begitulah Allah, Dia amat pengertian pada makhluk-Nya.
Bagi pasangan suami-istri boleh bercampur pada malam hari di bulan Ramadhan. Semua manusia mempunyai naluri kecendrungan terhadap lawan jenis dan memiliki kebutuhan biologis. Dengan kemurahan dan kebijaksanaan-Nya, Allah mengizinkan sepasang suami istri untuk melakukan hubungan pada malam hari di bulan Ramadhan. Allah mengetahui bahwasanya manusia tidak dapat menahan nafsunya . Begitulah Allah, Dia amat pengertian pada makhluk-Nya.
Begitulah yang digambarkan di dalam ayat 183-187 dari surat Al-Baqarah.
Kita akan senang jika tetangga mau mengerti pada kita, seorang anak mau pengertian terhadap orang tuanya, seorang kakak mau mengerti adiknya, seorang suami dapat mengerti istrinya. Semua kita akan senang jika dalam kehidupan ada saling pengertian. Tapi kenyataan di dalam interaksi dan hubungan sesama manusia tidak selamanya terwujud saling pengertian. Yang satu ingin dimengerti, yang lain ego terhadap dirinya sendiri, masing-masing punya alasan dan masing-masing punya kepentingan. Walhasil, tidak selamanya hubungan manusia akan mencapai kata sepakat.
Berbeda dengan Allah, Dia tidak mempunyai kepentingan dan kebutuhan. Dia selalu mau mengerti makhluk-Nya. Dia amat tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya.
Di dalam riwayat Muslim terdapat riwayat yang artinya, "Sekelompok sahabat Nabi bertanya kepada para istri Nabi tentang amalan beliau di rumah? Sebagian mereka (para sahabat) berkata, "Saya tidak akan menikahi wanita." Sebagian yang lain berkata, "Saya tidak akan makan daging." Yang lainnya berkata, "Saya tidak akan tidur di atas kasur." Rasulullah memuji Allah dan bersabda, "Bagaimana mereka dapat berkata seperti itu? Saya shalat (malam), namun saya juga tidur. Saya berpuasa dan juga berbuka. Saya juga menikahi wanita, maka barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Nasaa'I, Ahmad dan Ad-Darimi." Rasulullah menunaikan shalat malam, namun juga tidur. Beliau puasa, namun juga berbuka dan beliau juga menikah.
Ajaran Islam dan hukum Islam tidak bertentangan atau tidak berbenturan dengan kebutuhan serta tuntutan naluri manusia. Bahkan, mencela orang-orang yang mencoba berusaha berjalan menentang arus tuntutan naluri sebagai manusia. Sekali lagi, begitulah Allah, Dia amat pengertian pada makhluk-Nya.
Jika Allah sudah amat pengertian kepada kita, maka tinggal kita yang harus mencoba memahami, harus berupaya mengerti apa keinginan dan kehendak Allah.

MEMILIH PASANGAN HIDUP

MEMILIH PASANGAN HIDUP
Tahukah Anda siapakah orangtua dari Abu Hanifah?
Ayah Abu Hanifah adalah Tsabit bin Ibrahim. Jauh sebelum Abu Hanifah dikenal sebagai salah seorang ulama besar, ayahnya; Tsabit adalah seorang pemuda takwa dan jujur. Suatu kali dia menemukan sebuah apel. Dia memakannya hingga setengahnya. Sebab, ketika sedang makan, dia tersadar. Dia tersadar bahwa buah itu bukanlah miliknya. Dia pergi mencari siapa pemilik buah tersebut. Dia bertanya kepada seorang tukang kebun yang kebetulan ada di perkebunan apel itu.
Singkat cerita, Tsabit bertemu dengan pemilik kebun dan memohon keikhlasan apel yang telah dimakan dan akan mengembalikan sisanya.
Pemilik kebun itu memandang dengan penuh kekaguman dan berkata, "Saya akan mengikhlaskan apel itu, namun dengan 1 syarat."
Tsabit bertanya, "Apa syaratnya?"
Pemilik kebun itu menjawab, "Engkau harus menikahi putri saya.”
Tsabit menjawab dengan mantap, "Saya terima nikahnya."
Pemilik kebun menjelaskan, "Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh."
Tsabit kembali menjawab dengan mantap, "Baik, saya tetap menerima nikahnya. Saya akan serahkan semuanya kepada Allah swt."
Setelah akad nikah, Tsabit menemui istrinya. Dan, betapa terkejutnya. Ternyata istrinya itu tidak buta, tuli, bisu dan lumpuh.
Akhirnya diketahui bahwa maksud dari buta adalah buta dari hal-hal yang haram. Maksud dari tuli adalah tuli dari suara-suara yang tidak diridhai oleh Allah. Maksud dari bisu adalah bisu dari perkataan yang sia-sia. Maksud dari lumpuh adalah lumpuh dari melangkah ke tempat-tempat yang haram." Dari pernikahan mereka berdua lahirlah An-Nu'man bin Tsabit yang belakangan dikenal dengan nama Abu Hanifah, imam madzhab Hanafi.
Pelajaran apa yang dapat diambil dari kisah ini?
Perhatikan sikap pemilik kebun terhadap Tsabit! Pemilik kebun kagum dan langsung berniat menikahkan putrinya dengan Tsabit. Padahal pemilik kebun tidak mengetahui latar belakang, keluarga, status sosial dari Tsabit. Pemilik kebun hanya mengetahui bahwa Tsabit adalah orang yang jujur, tidak ingin mengambil hak orang lain. Pemilik kebun merasa yakin akan kejujuran dan ketakwaan Tsabit, setelah mendengar jawaban Tsabit atas persyaratan yang diajukan padanya. Tsabit menerima persyaratan yang diajukan oleh pemilik kebun. Pemilik kebun semakin yakin pada keteguhan Tsabit bahwa dia siap menikahi putri pemilik kebun -apapun keadaannya- demi memperoleh keridhaan atas apel yang telah dimakannya.
Begitulah sikap yang benar. Keshalihan dan ketakwaan merupakan hal mutlak yang seharusnya ada dalam memilih menantu atau pasangan hidup. Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang pria datang menemui kalian dan pria tersebut menjalankan agama (Islam) dengan baik serta berakhlak mulia, maka nikahkan dia dengan (putrimu). Sebab jika tidak, akan muncul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar. (HR Tirmidzi)
Pilihan ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan sisi materi, garis keturunan, fisik (kecantikan/ketampanan), harta, status sosial serta suku merupakan pilihan yang masih dapat ditawar.
Sebab memilih menantu atau pasangan hidup yang shalih akan dapat membawa mahligai rumah tangga kepada kebahagiaan.
Seorang pria bertanya kepada Hasan bin Ali, “Saya memiliki seorang putri, dengan siapakah sebaiknya saya menikahkannya?” Hasan menjawab, “Calon suaminya adalah yang bertakwa kepada Allah, sehingga jika dia mencintai putrimu, dia akan menghormatinya. Jika dia membenci putrimu, dia tidak akan mendzaliminya.”
Suami yang beriman dan selalu mengharap ridha Allah tidak akan mendzalimi istrinya. Dari Ummu Salmah r.a. bahwa dirinya membawa semangguk makanan untuk Nabi Saw dan para sahabatnya. Aisyah r.a. datang dengan membawa selembar kain dan batu. Mangkuk milik Ummu Salmah dipecahkan oleh Aisyah. Nabi mengambil pecahan mangkuk itu dan berkata (kepada para sahabat), "Makanlah! Dia sedang cemburu. Dia sedang cemburu. Kemudian Rasulullah mengambil mangkuk Aisyah dan mengirimnya ke Ummu Salmah. Beliau memberikan mangkuk lain kepada Aisyah. Di sebagian riwayat terdapat lafadz, "Bejana dibayar dengan bejana." (HR Bukhari dan Nasaa'i)
Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah. Kesalahan yang dilakukan oleh Aisyah ditanggapinya dengan tenang dan sikap yang baik. Nabi tidak mencaci maki Aisyah –apa lagi dihadapan para sahabatnya-. Beliau juga tidak memukul Aisyah. Bahkan beliau tidak berkata sepatah katapun. Hanya saja, beliau menjelaskan kepada para sahabatnya tentang penyebab Aisyah bersikap demikian, agar tidak muncul prasangka yang bukan-bukan. Beliau berkata, "Dia sedang cemburu. Dia sedang cemburu." Demikianlah, persoalan itu selesai dengan sikap Nabi Saw yang bijaksana.
Suatu ketika ada seorang pria datang menemui Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Dia ingin mengadukan perilaku istrinya yang tidak disukai. Sesampai di depan pintu rumah Umar, pria tadi mendengar Umar sedang dimarah-marahi oleh istrinya. Urung saja, dia menemui Umar. Pria tadi langsung berbalik pulang. Namun Umar memanggilnya. Umar bertanya, "Ada apa?" Pria tadi menjelaskan, "Istriku memiliki perilaku yang tidak kusukai. Kemudian aku datang ingin mengadukan padamu. Namun, begitu aku melihat engkau dimarahi istrimu, saya tidak jadi mengadukannya. Sebab khalifah saja mengalaminya." Umar menjawab, "Kita harus hargai istri kita. Dia lelah mengurus kita dan anak-anak kita."
Begitulah jawaban Umar. Umar tidak berbalik marah pada istrinya, tidak menampar atau mengusirnya.
Betapa banyak kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi. Salah satu penyebabnya adalah terkait dengan perkara ini.
Pasangan suami istri yang shalih akan mendidik buah hatinya menjadi anak yang shalih pula. Mereka akan mendidik anaknya menjadi hamba yang senantiasa taat pada Allah. Taat pada mereka, selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat. Mereka juga akan mengajarkan anaknya agar berakhlak mulia terhadap orang lain.
Tsabit dan istrinya contohnya. Mereka berhasil mendidik anaknya menjadi seorang ulama besar, seorang imam madzhab. Abu Hanifah namanya.
Kenakalan anak yang merupakan generasi umat ini, nampaknya perlu dibenahi dengan memperhatikan perkara ini.