Kamis, 02 Desember 2010

Simbol Kejayaan Peradaban Islam

Masjid Agung Umayyah memiliki peran yang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Secara historis dan budaya, masjid yang berdiri megah di jantung kota tua Damaskus, Suriah, itu merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam yang paling tua. Inilah salah satu karya fenomenal dalam bidang arsitektur di era kekhalifahan yang menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan peradaban Islam.

Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bina masjid di seluruh dunia. Masjid Agung Umayyah yang diyakini sebagai salah satu tempat suci bagi kaum Muslimin, itu merupakan tempat lahirnya sejumlah elemen penting dalam dunia arsitektur Islam. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan (horseshoe arch), menara segi empat, dan maksurah.

Berdirinya Masjid Agung Umayyah berawal dari kedatangan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid di Suriah pada 635 M. Dengan menjunjung semangat toleransi, umat Islam yang menguasai Damaskus memberi kebebasan bagi penganut Nasrani untuk beribadah. Kedua pemeluk agama samawi ini lalu bersepakat untuk membagi dua gereja St John.

Umat Islam beribadah di sebelah timur dan di bagian barat digunakan penganut Kristen sebagai gereja. Tempat ibadah kedua agama ini hanya dipisahkan dinding tembok. Berbilang waktu, jumlah umat Islam di Damaskus terus bertambah banyak. Sehingga, bangunan gereja yang dibagi dua itu tak lagi mampu menampung jumlah umat Islam yang kian bertambah banyak.

Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) lalu memutuskan untuk membangun masjid yang megah. Umat Islam pun segera bernegoisasi dengan komunitas Kristen Damaskus. Lewat pembicaraan yang alot, akhirnya kedua belah pihak mencapai kata sepakat. Khalifah Al-Walid memutuskan untuk membeli lahan dan mulai membangun masjid yang sangat megah.

Sarjana Barat kerap menuding pembangunan Masjid Agung Umayyah sebagai bentuk intoleransi umat Islam. Benarkah? Tudingan itu ternyata salah kaprah. Sebuah studi yang dilakukan Golvyn L (1971) dalam bukunya berjudul, Art religieux des Umayyades de Syrie, membuktikan tuduhan itu tak benar dan tak berdasar. Golvyn berhasil meneliti teks yang ditulis Uskup Arculfe.

Dalam teks itu, sang uskup menyatakan kaum Muslimin memiliki masjid sendiri dan gereja St John dibangun umat Kristen di bawah pemerintahan Islam. Penjelasan Uskup Arculfe itu juga didukung dengan sejumlah teks. "Jadi, Masjid Agung Umayyah tak dibangun di atas reruntuhan gereja St John sebagaimana yang dituduhkan sarjana Barat," papar Golvyn.

Proses pembangunan Masjid Agung Umayyah dimulai pada 87 H/705 M dan selesai pada 96 H/714 M. Biaya pembangunannya berasal dari pajak lahan pertanian (kharaj) yang dipungut pemerintahan Dinasti Umayyah. Pembangunan masjid terbesar pertama di abad ke-8 M itu melibatkan para seniman dan tukang bangunan dari berbagai negeri, seperti Persia, India, Afrika Utara, Mesir, dan Bizantium.

Sejarawan Al-Muqadassi menuturkan, Raja Bizantium turut menawarkan para tukang bangunan dan seniman serta bahan bangunan untuk membantu proses pembangunan Masjid Agung Umayyah. Sehingga, kemudian muncul anggapan bahwa gaya arsitektur masjid itu meniru seni bina bangunan Bizantium. Namun, anggapan itu dibantah oleh aristektur Barat KAC Creswell dalam bukunya, Early Muslim Architecture, dan Strzygowski (1930).

"Masjid Agung Umayyah adalah murni hasil kerja umat Islam yang terinspirasi oleh gaya Persia," papar kedua arsitektur kenamaan itu. Pada awalnya, masjid yang besar dan megah itu berdiri di atas lahan dengan panjang 157 meter dan lebar 100 meter serta terdiri atas dua bagian utama. Bagian halaman menempati hampir separuh area masjid dan dikelilingi serambi yang melengkung.

Bangunan masjid itu tampak megah dengan ditutupi kubah yang indah. Pada masjid itu juga terdapat tempat khusus untuk menampung zakat atau pendapatan negara yang bernama baitul mal. Bangunan baitul mal yang berada di sisi halaman sebelah barat itu pertama kali didirikan oleh Khalifah Al-Mahdi pada 778 M. Halaman masjid yang berbentuk persegi empat dibiarkan terbuka karena terinspirasi Masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Masjid ini dihiasi dengan tiga menara yang menjulang di langit Damaskus. Tiga menara yang menemani bangunan masjid yang megah itu terbilang unik. Sebab, biasanya jumlah menara yang ada pada masjid jumlahnya satu, dua, empat, atau tujuh seperti yang terdapat di Al-Haram As-Sharif (Kaabah).

Bentuk menaranya yang segi empat menandakan masjid inilah yang pertama kali menggunakan minaret. Terdapat tiga pintu utama untuk memasuki area Masjid Agung Umayyah. Pintu utama pertama terdapat di tengah tembok sebelah utara. Dua pintu lainnya terdapat di sisi tembok sebelah timur (bab jayru) dan sebelah barat (bab ziyada).

Di era kekhalifahan Islam, Masjid Agung Umayyah menjadi pusat kegiatan umat. Dari masjid inilah peradaban Islam terus berkembang luas hingga mencapai benua Asia, Afrika, dan Eropa. Pada masa itu, masjid tak hanya menjadi tempat untuk beribadah, namun juga menjadi pusat aktivitas ilmu pengetahuan.

Masjid Agung Umayyah makin bertambah istimewa karena berdiri di atas areal bersejarah pra-Islam. Para sejarawan kerap menghubungkan masjid ini dengan sejumlah tokoh agama yang termasyhur. Lahan yang dibangun masjid tersebut ternyata adalah makam Nabi Yahya AS. Sejarawan Ibnu al-Faqih melaporkan bahwa Zaid Ibnu Al-Waqid, yang memimpin pembangunan masjid menemukan tengkorak Nabi Yahya di dekat sebuah reruntuhan.

Khalifah Al-Walid lalu memerintahkan agar tengkorak Nabi Yahya itu dikuburkan di salah satu dermaga masjid yang kemudian dikenal sebagai Amud al-Sakasik. Sejarawan Harawi pada 1173 M mencatat bahwa tiang marmet berwarna hitam dan putih yang menopang kubah Al-Nasr (kubah di depan mihrah) masjid itu merupakan tahta Bilqis, ratu Saba di era Nabi Sulaiman AS. Menara sebelah timur atau yang biasa disebut sebagai Menara Isa diyakini sebagai tempat akan turunnya Nabi Isa AS.Hingga kini, Masjid Agung Umayyah yang dibangun 14 abad lalu masih berdiri dengan megah dan indah. hri


Dari masa ke masa

Sejak dibangun pada 705 M, Masjid Agung Umayyah dari masa ke masa mengalami banyak perubahan dan modifikasi. Terlebih, dunia Islam selalu mengalami perubahan kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti lainnya. Berikut perjalannya dari masa ke masa:

Tahun 705 M: Proses pembangunan Masjid Agung Umayyah dimulai. Para arsitektur menyatakan, masjid ini murni hasil karya umat Islam dan tak meniru arsitektur Bizantium, namun terinspirasi gaya arsitektur Persia. Dibangun dengan dana yang dikumpulkan dari pajak tanah pertanian.

Tahun 714 M: Masjid Agung Umayyah selesai dibangun di atas lahan dengan panjang 157 meter dan lebar 100 meter. Pembangunannya membutuhkan waktu hampir satu dasawarsa.

Tahun 715 M: Khalifah Al-Walid I membangun sebuah maksurah yang membungkus mihrab (ceruk) dan mimbar.

Tahun 778 M: Khalifah Al-Mahdi membangun Baitul Mal (Kas Negara) di areal Masjid Agung Umayyah.

Tahun 1068-1069 M: Masjid Agung Umayyah hancur dilalap si jago merah, kecuali bagian temboknya.

Tahun 1082-1083 M: Masjid itu lalu dibangun kembali oleh pemimpin Dinasti Seljuk Tutuch dan Perdana Menteri Malik Shah.

Tahun 1166 M: Kebakaran kedua kembali terjadi menghancurkan gerbang bagian timur (Bab Jyrun).

Tahun 1174 M: Kembali terjadi kebakaran yang merusak menara bagian utara (Midhanat al-Arus).

Tahun 1202 M: Gempa bumi merusak bagian Masjid Umayyah.

Tahun 1206 M: Lantai halaman diperbaiki.

Tahun 1214 M: Lantai masjid ditutup dengan marmer.

Tahun 1216 M: Perbaikan kubah dilakukan.

Tahun 1247 M: Menara sebelah tenggara hancur dilalap si jago merah dan diperbaiki dua tahun kemudian.

Tahun 1326-1328 M: Dinding bagian barat Masjid dibangun kembali dan dihiasi dengan mozaik.

Tahun 1401 M: Dinasti Mughal menginvansi Damaskus. Halaman masjid dijadikan tempat penyimpanan senjata berat. Seluruh masjid dijadikan barak tentara.

Tahun 1479 M: Kebakaran kembali terjadi dan menghancurkan menara sebelah barat, Bab Al-Ziyada, dan Bab Al-Barid.

Abad ke-17 M : Menara Nabi Isa AS dibangun kembali.
Tahun 1904-1910 M: Masjid Agung Umayyah kembali dibangun dengan megah. Tiang-tiang dan kubah diganti. N hri


Arsitektur di Era Kekhalifahan Umayyah

Selama 89 tahun berkuasa, Dinasti Umayyah (661-750) mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam. Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus, Suriah, mengatur wilayah kekuasaannya hingga ke Tashken di wilayah timur dan hingga wilayah pegunungan Pyrenee di sebelah barat. Kekhalifahan Umayyah sudah mampu mengatur pemerintahan dan perdagangan.

Ditopang perekonomian yang kuat, Dinasti Umayyah telah mampu melakukan pembangunan. Di era inilah mulai dibangun Masjid Kubah Batu (Dome of Rock) di Yerusalem dan Masjid Agung di Damaskus yang dikenal dengan nama Masjid Agung Umayyah. Periode kejayaan Umayyah ditandai dengan pencapaian dalam bidang arsitektur. Dikuasainya wilayah Irak, Iran, dan Suriah oleh umat Islam berkontribusi dalam perkembangan seni dan arsitektur.

Dinasti Umayyah telah memberi peran dan pengaruh yang besar dalam arsitektur Masjid. Pada 673 M, Muawiyah pemimpin pertama Dinasti Umayyah mulai memperkenalkan menara. Menara masjid pertama dibangun pada Masjid Amr Ibn-Al-Ash. Di masjid itu, ia membangun empat menara sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan.

Dalam proses pembangunan Masjid Agung Umayyah, dinasti ini juga mulai memperkenalkan sejumlah teknik arstitektur baru khas Islam. Salah satunya adalah lengkungan pada arsitektur masjid. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah yang ditandai dengan kemakmuran juga diperkenalkan elemen-elemen fungsional dan struktural utama dalam arsitektur masjid, seperti menara, mihrab, maksurah, dan kubah.

Seni dekorasi juga mulai berkembang menjadi seni Islami melalui penggunaan kalgrafi dengan tulisan indah kufi. Kaca mozaik juga mulai diperkenalkan pada masa itu. Setelah ditumbangkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, Dinasti Umayyah juga turut membangun sederet karya arsitektur monumental di Spanyol. Hingga kini, karya arsitektur peninggalan Dinasti Umayyah masih mengagumkan.



Penulis : hri
REPUBLIKA - Selasa, 16 September 2008
http://koran.republika.co.id/berita/38848/Simbol_Kejayaan_Peradaban_Islam

Taqi Al-Din Ilmuwan Agung di Abad XVI

''Ilmuwan terbesar di muka bumi.'' Begitulah Kekhalifahan Usmani Turki di abad ke-16 M menjuluki saintis Muslim serbabisa ini. Pada era itu, tak ada ilmuwan di Eropa yang mampu menandingi kehebatannya. Ia adalah seorang tokoh ilmu pengetahuan fenomenal yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Ia tak hanya dikenal sebagai seorang saintis legendaris. Ilmuwan Muslim kebanggaan Kerajaan Ottoman itu juga termasyhur sebagai seorang astronom, astrolog, insinyur, inventor, fisikawan, matematikus, dokter, hakim Islam, ahli botani, filsuf, ahli agama, dan guru madrasah. Dunia ilmu pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai ilmuwan yang sangat produktif.


Tak kurang dari 90 judul buku dengan beragam bidang kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya yang masih tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh sangat menakjubkan. Pencapaiannya dalam berbagai temuan mampu mendahului para ilmuwan Barat.

Jauh sebelum Giovani Branca pada 1629 M menemukan tenaga uap air, sang ilmuwan Muslim ini dalam bukunya berjudul, Al-Turuq al-samiyya fi al-alat al-ruhaniyya, telah lebih dulu memaparkan cara kerja mesin uap air dan turbin uap air. Pada 1559 M, pamor saintis Muslim ini juga kian melambung lewat temuannya, yakni pompa six-cylinder 'Monobloc'.

Beragam jam yang amat akurat juga telah diciptakannya. Jam alarm mekanis pertama merupakaan buah karyanya. Ia juga menemukan jam pertama yang diukur dengan menit dan detik. Pada 1556 M hingga 1580 M, sang ilmuwan juga menemukan teleskop yang baru dikenal peradaban Barat pada abad ke-17 M. Sebagai seorang astronom, dia mendirikan Observatorium Istanbul pada 1577 M.

Ilmuwan Muslim agung dari abad XVI itu bernama lengkap Taqi Al-Din Abu Bakar Muhammad bin Zayn Al-Din Maruf Al-Dimashqi Al-Hanafi. Namun, sang ilmuwan itu termasyhur dengan nama panggilan Taqi Al-Din Al-Rasid. Taqi Al-Din terlahir pada 1521 M di Damaskus, Suriah. Ia mengabdikan dirinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Kekhalifahan Usmani Turki.

Guru pertama Taqi Al-Din adalah ayahnya sendiri. Dari sang ayah, ia menimba ilmu agama Islam. Setelah dianggap memiliki fondasi agama yang kuat, sang ayah mengirimkannya untuk belajar ilmu pengetahuan umum di Damaskus dan Mesir. Ia mempelajari matematika dari Shihab Al-Di-n Al-Ghazzi. Sedangkan, guru astronominya yang paling berpengaruh adalah Muhammad bin Abi Al-Fath Al-Sufi.

Matematika merupakan ilmu yang paling membetot perhatiannya saat masih belajar. Kesukaannya kepada ilmu berhitung itu diungkapkan Taqi Al-Din dalam kata pengantar beragam buku yang ditulisnya. Setelah menamatkan pendidikannya, ia mengajar di madrasah di Damaskus.

Sekitar tahun 1550 M, ia bersama ayahnya, Maruf Efendi, bertandang ke Istanbul--ibu kota pemerintahan Ottoman Turki. Selama berada di kota itu, Taqi Al-Din menjalin hubungan dengan para ilmuwan Turki, seperti Chivi-zada, Abu al-Su`ud, Qutb al-Di-n-zada Mahmad, dan Sajli Amir. Tak lama kemudian, ia kembali lagi ke Mesir dan mengajar di Madrasah Shayhuniyya dan Surgatmishiyya di kota itu.

Taqi Al-Din sempat mengunjungi Istanbul untuk waktu yang tak terlalu lama. Di kota itu, ia sempat dipercaya untuk mengajar di Madrasah Edirnekapi Madrasa. Saat itu, Perdana Menteri Kerajaan Usmani Turki dijabat Sami-z Ali Pasha. Selama mengajar di Madrasah Edirnekapi, Taqi Al-Din menggunakan perpustakaan pribadi Ali Pasha dan koleksi jamnya untuk penelitian.

Ketika Ali Pasha diangkat sebagai gubernur Mesir, Taqi Al-Din juga kembali ke negeri Piramida itu. Di Mesir, Taqi Al-Din diangkat sebagai hakim atau qadi serta mengajar di madrasah. Selama tinggal di Mesir, Taqi Al-Din tercatat menghasilkan beberapa karya dalam bidang astronomi dan matematika.

Pada era kekuasaan Sultan Selim II, sang ilmuwan diminta untuk mengembangkan pengetahuannya dalam bidang astronomi oleh seorang hakim di Mesir, yakni Kazasker Abd al-Karim Efendi dan ayahnya Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb Al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, ia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.

Sejak itu pula ia resmi menjadi astronom resmi Sultan Selim II pada 1571 M. Ia diangkat sebagai kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) setelah wafatnya Mustafa bin Ali Al-Muwaqqit--kepala astronom terdahulu. Taqi Al-Din juga dikenal supel dalam pergaulan. Ia mampu menjalin hubungan yang erat dengan para ulama dan pejabat negara.

Pemerintahan Usmani Turki mengalami perubahan kepemimpinan ketika Sultan Selim II tutup usia. Tahta kesultanan akhirnya diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan yang baru, Taqi Al-Din mengajukan permohonan untuk membangun observatorium yang baru. Ia menjanjikan prediksi astrologi yang akurat dengan berdirinya observatorium baru tersebut.

Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan Observatorium Istanbul dimulai pada 1575 M. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi Al-Din menjabat sebagai direktur Observatorium Istanbul. Dengan kucuran dana dari Kerajaan Ottoman, observatorium itu bersaing dengan observatorium yang ada di Eropa, khususnya Observatorium Astronomi Raja Denmark.

Di observatorium itu, Taqi Al-Din pun memperbarui tabel astronomi yang sudah tua peninggalan Ulugh Beg. Observatorium itu pun mampu menjelaskan tentang pergerakan planet, matahari, bulan, dan bintang. Suatu saat, Taqi Al-Din menyaksikan sebuah komet. Ia pun lalu memperkirakan munculnya komet itu sebagai pertanda kemenangan bagi pasukan tentara Usmani Turki yang tengah bertempur.

Namun, ternyata prediksinya itu meleset. Sultan pun memutuskan untuk menghentikan kucuran dana operasional observatorium. Observatorium itu pun dihentikan pada 1580 M. Sejak saat itulah pemerintah Usmani mengharamkan astrologi. Selain alasan agama, konflik politik juga menjadi salah satu pemicu ditutupnya observatorium itu.

Meski begitu, astronomi bukanlah satu-satunya bidang yang dikembangkan Taqi Al-Din. Ia juga berhasil menemukan berbagai teknologi serta karya dalam disiplin ilmu lainnya. Hingga kini, namanya tetap melegenda dan dikenang sebagai seorang ilmuwan serbabisa yang hebat pada zamannya.


Adikarya sang ilmuwan

Selama hidupnya, Taqi Al-Din telah memberi kontribusi yang begitu besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dr Salim Ayduz, peneliti senior pada Foundation for Science Technology and Civilisation di Inggris dalam tulisannya berjudul, Taqi- al-Di-n Ibn Ma'ruf: A Bio-Bibliographical Essay, memaparkan secara teperinci adikarya sang ilmuwan. Berkiut ini sumbangan yang diberikan Taqi Al-Din bagi peradaban modern:

1. Penemuan peralatan observatorium
- Sextant (mushabbaha bi-'l mana-tiq): Digunakan untuk mengukur jarak antara bintang. Sextant yang diciptakan Taqi Al-Din diyakini sebagai pencapaian terbesar dalam bidang astronomi pada abad ke-16 M. Taqi Al-Din menggunakan alat itu untuk mengukur jari-jari lingkaran Venus, seperti yang disebutkan Ptolemeus dalam bukunya, Almagest.
- Dhat Al-awtar: Penanda lama waktu malam dan siang dan malam pada musim semi dan gugur.
- Jam astronomi: Taqi Al-Din menggunakan jam mekanik yang dibuatnya sendiri untuk observasi. Ia membuat jam astronomi di observatorium yang dipimpinnya.

2. Matematika
- Kita-b al-nisab al-mutasha-kkala fi- 'l-jabr wa-'l-muqa-bala: Buku yang mengupas tentang rasio dalam aljabar. Buku ini ditulis di Kairo.
- Bughyat al-tulla-b fi- `ilm al-hisa-b: Buku ini membahas tentang tujuan para pelajar mempelajari Ilmu aritmatika.
- Kita-b tastih al-ukar: Buku itu ditulis Taqi Al-Din dan dipersembahkan bagi Hoca Sa'dettin Efendi.
- Sharh risalat al-Tajni-s fi- 'l-hisab: Berisi tentang klasifikasi dalam aritmatika.
- Risa-la fi- tahqi-qi ma- qa-lahu 'l-'alim Giyathuddin Jamsid fi- bayani 'l-nisba bayna 'l-muhi-t wa-'l-qutr.
- Tahri-r Kita-b al-ukar li-Thawudhusiyus.

3. Buku astronomi
Buah karyanya yang paling banyak adalah astronomi. Dalam bidang ini, Taqi Al-Din menulis sederet buku, antara lain:

- Rayhanat al-ruh fi- rasm al-sa'at `ala mustawa al-suth. Berisi tentang sejarah penulisan astronomi pada periode Ottoman.
- Jaridat al-durar wa khari-dat al-fikar: Berisi tabel sinus dan tangen dalam pecahan desimal.
- Kitab al-thimar al-yani'a `an qutaf al-ala al-jami'a.
- Manzu-mat al-mujayyab.
- Sidrat muntaha al-afkar fi- malaku-t al-falak al-dawwar.
- Kitab fi ma'rifat wad' al-sa'at.
- Al-Abya-t al-tis'a fi- istihraj al-tawarikh al-mashhura wa-sharhuha.
- Revision of the Zi-j of Ulugh Beg: mentioned in Kashf al-Zunun.
- Treatise on the Azimuth of the Qibla (Risa-lat samt al-Qibla).
Serta sederet buku astronomi lainnya.

4. Mekanik
- Al-Kawa-kib al-durriyya fi- wadh' al-banka-mat al-dawriyya: Membahas tentang pembuatan jam mekanik. Buku ini disusun di Nablus (sekarang Palestina) pada 1559 M. Dalam prakatanya, dia menuturkan penulisan buku itu memanfaatkan perpustakaan pribadi Ali Pasha dan koleksi jam mekanik Eropa yang dimilikinya.
- Fi- `ilm al-binkamat.
- Al-Turuq al-saniyya fi'l-alat al-ruhaniyya: Memaparkan cara kerja mesin uap air dan turbin uap air. Buku ini ditulis di Kairo pada 1551 M.
- Risala fi- `amal al-mi-zan al-tabi'i: Membahas tentang berat dan cara pengukuran serta menjelaskan skala archimides.

5.Optik
- Kitab Nu-r hadaqat al-ibsa-r wa-nur haqi-qat al-anzar: Buku ini berisi tentang bagaimana mata melihat. Selain itu, buku ini juga membahas refleksi dan reflaksi cahaya. Mengkaji pula hubungan antara cahaya dan warna. Buku ini didedikasikan Taqi Al-Din khusus untuk Sultan Murad III.

6. Bidang lainnya
- Al-Masa-bih al-muzhira fi- `ilm al-bazdara: Tentang zoologi.
- Tarjuma-n al-atibba' wa-lisan al-alibba': Kamus botani.
http://buntetpesantren.org/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=1184
http://koran.republika.co.id/koran/36/2433/Taqi_Al_Din_Ilmuwan_Agung_di_Abad_XVI

Arsitektur di Era Kekhalifahan Umayyah

Selama 89 tahun berkuasa, Dinasti Umayyah (661-750) mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam. Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus, Suriah, mengatur wilayah kekuasaannya hingga ke Tashken di wilayah timur dan hingga wilayah pegunungan Pyrenee di sebelah barat. Kekhalifahan Umayyah sudah mampu mengatur pemerintahan dan perdagangan. Ditopang perekonomian yang kuat, Dinasti Umayyah telah mampu melakukan pembangunan. Di era inilah mulai dibangun Masjid Kubah Batu ( Dome of Rock) di Yerusalem dan Masjid Agung di Damaskus yang dikenal dengan nama Masjid Agung Umayyah. Periode kejayaan Umayyah ditandai dengan pencapaian dalam bidang arsitektur. Dikuasainya wilayah Irak, Iran, dan Suriah oleh umat Islam berkontribusi dalam perkembangan seni dan arsitektur.

Dinasti Umayyah telah memberi peran dan pengaruh yang besar dalam arsitektur Masjid. Pada 673 M, Muawiyahpemimpin pertama Dinasti Umayyah–mulai memperkenalkan menara. Menara masjid pertama dibangun pada Masjid Amr Ibn-Al-Ash. Di masjid itu, ia membangun empat menara sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan.

Dalam proses pembangunan Masjid Agung Umayyah, dinasti ini juga mulai memperkenalkan sejumlah teknik arstitektur baru khas Islam. Salah satunya adalah lengkungan pada arsitektur masjid. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah yang ditandai dengan kemakmuran juga diperkenalkan elemen-elemen fungsional dan struktural utama dalam arsitektur masjid, seperti menara, mihrab, maksurah, dan kubah.

Seni dekorasi juga mulai berkembang menjadi seni Islami melalui penggunaan kalgrafi dengan tulisan indah kufi. Kaca mozaik juga mulai diperkenalkan pada masa itu. Setelah ditumbangkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, Dinasti Umayyah juga turut membangun sederet karya arsitektur monumental di Spanyol. Hingga kini, karya arsitektur peninggalan Dinasti Umayyah masih mengagumkan
http://tonyoke.wordpress.com/category/dunia-islam/arsitektur-di-era-kekhalifahan-umayyah/
http://koran.republika.co.id/koran/36/3215/Arsitektur_di_Era_Kekhalifahan_Umayyah