Minggu, 20 Januari 2008

MENCOBA MEMAHAMI FAKTA RIZKI

Jika kita memperhatikan dengan baik, kita akan memperoleh sebuah pelajaran. Lagu-lagu Opick, baru dikenal lebih dekat, setahun sesudah lagunya diperkenalkan oleh salah satu TV swasta Indonesia. Waktu itu, potongan lagu Tombo Ati-nya diperdengarkan setiap perpindahan acara. Potongan lagu itu diputar pada bulan Ramadhan. Cuma itu saja. Tapi setahun kemudian album Opick itu menembus angka yang fantastis. Bahkan bersaing dengan angka penjualan album salah satu band papan atas Indonesia.
Band Letto juga demikian. Band ini pada mulanya tidak dikenal. Bahkan menurut pengamatan saya (pendapat pribadi), ketika band Letto disandingkan oleh band-band papan atas Indonesia, nampak vokalisnya kurang percaya diri. Namun ketika lagu band ini dijadikan soundtrack untuk 2 sinetron sekaligus, album mereka meledak. Band Letto menjadi terkenal setelah sinetron Wulan dan Intan muncul.
Band Matta juga salah satu band yang juga mengalami pengalaman yang sama. Band ini dikenal setelah lagu Ketahuannya akrab ditelinga. Padahal album mereka yang salah satunya berisi lagu Ketahuan telah keluar setahun sebelumnya.
Aktor HIM Damsyik pernah ditanya oleh sebuah siaran TV swasta Indonesia dalam sebuah wawancara, "Bagaimana ceritanya bapak dapat bermain film dalam film Jepang?"
HIM Damsyik menjawab, "Pada suatu ketika saya dapat kiriman e-mail yang isinya menawarkan saya untuk bermain dalam film Jepang. Usut punya usut ternyata pihak Jepang pernah melihatnya dalam film Indonesia, ketika dia berperan sebagai Datuk Maringgih."
Benar apa yang diucapkan oleh sahabat Rasulullah Saw, Ali bin Abu Thalib ra.. Ali bin Abu Thalib pernah berucap, "Ar-Rizqu Rizqaani. Ar-Rizqu tathlubuhu war rizqu yathlubuka." Artinya, "Rizki itu terdiri dari dua. Rizki yang engkau cari dan rizki yang mencarimu."

MENJAGA SEMANGAT MENULIS

Sebagai seorang penulis, kita ingin tulisan kita dimuat. Baik di harian, majalah atau mungkin diterbitkan oleh sebuah penerbit. Ingin dimuat karena mengharapkan bayaran yang diperoleh dari tulisan. Ingin dimuat karena ingin tahu sejauh mana kwalitas tulisan kita. Itulah diantara yang ada di pikiran para penulis. Bila tulisan dimuat, kita merasa bahwa tulisan kita bagus atau tulisan kita layak dibaca oleh khalayak ramai. Bila tulisan tidak dimuat, kita akan merasa kesal, kita akan merasa bahwa orang tidak mengerti bahwa tulisan kita bagus dan layak dibaca orang lain. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, sudah menyelesaikan tulisan dan berkesimpulan bahwa tulisan yang kita kirim itu merupakan karya terbaik kita. Tapi kenyataan lain, tulisan kita tidak dimuat atau tidak diterima oleh penerbit. Kita tidak perlu bersedih hati, tidak perlu merasa putus asa. Jangan sampai semangat menulis kita menjadi mengendur karena tulisan tidak pernah diterima. Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa kita tidak dapat menulis. Buktinya, tulisan kita tidak pernah dimuat. Dari sekian banyak tulisan yang kita kirim tidak satupun yang diterima.
Mengapa demikian? Berapa banyak para penulis terkenal dan banyak menghasilkan karya-karya bestsellernya harus diawali oleh berbagai penolakan. Penulis AA Navis, misalnya. Tulisan dia sudah sering ditolak dan tulisan yang ke 100nya lah yang baru diterima. Sidney Sheldon, contoh lainnya. Dia pernah merasa putus asa, karena tulisannya tidak pernah dimuat. Dia telah mengirim lusinan cerpennya ke berbagai media massa, namun tulisannya dijawab dengan penolakkan secara tertulis. Saya pernah mendengar bahwa tulisan kang Habiburrahman al-Shirazy juga pernah ditolak. Buku Ayat-ayat cinta-nya pernah ditolak oleh sebuah penerbit. Namun ternyata, novel ini diterima oleh penerbit lain dan menjadi best seller. Penulis buku Harry Potter juga pernah mengalami hal yang serupa. Karyanya ini ditolak oleh penerbit. Namun ketika diterima, ternyata novel Harry Potter menjadi bestseller.
Contoh di atas merupakan pelajaran penting bagi para penulis, calon penulis. Pelajarannya adalah penilaian orang sifatnya relatif. Tulisan kita yang sudah dimuat, belum tentu dinilai bagus oleh harian atau penerbit yang lain. Ada yang mengatakan bahwa tulisan kita tidak layak jual, namun ada pula yang mengatakan tidak layak jual. Sekali lagi penilaian orang itu relatif!
Jika kita pernah kecewa, sedih dan kecil hati, karena tulisan kita ditolak, maka penerbit akan menyesal karena pernah menolak karya kita. Karena di kemudian hari, ternyata -insya Allah- tulisan kita menjadi best seller. Tetap semangat menulis!

Jumat, 11 Januari 2008

MENGAPA MENULIS?

MENGAPA MENULIS?

Dahulu sewaktu di SD, mengarang merupakan pelajaran yang menyebalkan. Mengapa? Karena setiap aku mengarang selalu saja merasa tidak mampu. Aku selalu membuka karangan dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’. Seolah sebuah karangan wajib dimulai dengan ungkapan ini. Begitulah yang tergambar dalam benak anak SD pada saat itu. Karena alasan tidak mampu inilah, aku menjadi tidak senang mengarang.
Image tentang mengarang ini terus bersemayam dalam benakku. Hingga pada suatu ketika, image itu berubah. Aku menjadi percaya diri untuk menulis. Pada saat itu, aku telah lulus kuliah dan pesantren mahasiswa. Aku membaca berbagai tulisan hasil karya teman-temanku. Bukan terpampang di majalah dinding sekolah dan bukan pula di majalah dinding masjid. Karya mereka dimuat di sebuah harian umum yang cukup terkenal. Tulisan mereka dimuat pada kolom yang terletak di halaman muka harian tersebut.
Aku coba membacanya dari awal hingga akhir. Selesai membaca, terlontar sebuah ungkapan dari mulutku, “Kalau seperti ini, aku juga bisa. Kalau seperti ini, aku juga tahu.” Begitulah ungkapan yang keluar setiap usai membaca karya teman-temanku. Dari sinilah, image karangan yang selalu diawali dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’, mulai terkikis dari benakku. Aku mulai mencoba merumuskan cara teman-temanku menulis. Aku ikuti jalan pikiran mereka, hingga aku merasa yakin dan muncul tekad di dalam diriku, “Gue bisa!” (wush sorry, bukan bermaksud untuk iklan).
Mulai saat itulah, aku mulai menulis dan dikirimkan ke kolom harian yang sama. Biasanya tulisan itu mengenai agama Islam dan dikaitkan dengan hal-hal yang ada di sekitar. Mulai dari pentingnya waktu, kehormatan wanita yang telah dilecehkan, sikap individualis di bulan Ramadhan dan sebagainya. Banyak sudah tulisan yang aku kirim, mungkin ada 20-an. Namun, tidak satu pun yang pernah dimuat. Aku tidak pernah berputus asa, kucoba lagi dan kucoba lagi. Aku coba periksa satu persatu tulisan-tulisan itu. Aku coba ikuti jalan pikiranku pada saat itu. Aku berkesimpulan, tulisanku cukup baik. Bahkan beberapa tulisanku sesuai/tepat dengan kondisi yang ada. Pernah pada suatu ketika, aku menulis mengenai kehormatan wanita. Beberapa hari setelah tulisan itu dikirim, muncul pembicaraan mengenai kehormatan wanita. Pada saat itu, menteri peranan wanita masih dijabat oleh ibu Tutty Alawiyyah (maaf kalau ejaannya salah). Ini suatu contoh bahwa selain tulisanku mengikuti alur logika pembaca, namun tulisanku juga berbicara mengenai topik yang sedang hangat.
Perlu pembaca ketahui, pada saat itu aku masih bisa dikatakan menganggur. Penghasilan hanya kuperoleh dari mengajar privat. Aku mengajar hanya 2 kali dalam seminggu. Walhasil, aku banyak mempunyai waktu kosong. Waktu itu kuisi dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, maka doronganku untuk menulis semakin kuat.
Pernah suatu ketika, aku mencoba memahami masalah krisis moneter alias krismon. Memang pada saat itu, topik ini sedang hangat-hangatnya. Akibat nilai dollar tinggi, maka nilai mata uang rupiah menurun. Efeknya semua produk yang menggunakan komponen import menjadi mahal. Banyak pabrik atau perusahaan yang gulung tikar. Ada pula perusahaan yang bergabung alias marger. Harga krupuk yang tadinya Rp 100 menjadi Rp 200. Perusahaan properti banyak yang menghentikan pembangunan perumahannya. Walhasil, banyak toko bangunan yang kehilangan pembelinya. Penghasilan buruh bangunan juga menjadi macet. Secara umum, daya beli masyarakat menjadi rendah.
Setelah memahami ini semua, aku coba kaitkan dengan pengetahuan yang kumiliki. Diantaranya adalah ayat Al-Qur’an yang melarang adanya penimbunan harta/uang atau biasa diistilahkan dengan Kanzul Mal. Ayat yang kumaksud adalah surat At-Taubah ayat 34. Di dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dengan ancaman yang pedih. Mengapa larangan ini mencakup larangan untuk menimbun uang? Karena di masa Rasulullah, mata uang terbuat dari emas dan perak. Coba andaikata seluruh pengusaha tidak menimbun uangnya, tentu akan tercipta lapangan pekerjaan. Itu berarti pemasukan masyarakat akan meningkat dan daya beli mereka ikut meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi akan semakin maju.
Dari pemahaman kondisi yang ada dan dikaitkan dengan pemahaman Islam yang kumiliki, maka keadaan ini mendorongku ingin menulis. Aku coba untuk membendungnya. Dengan cara kubawa tidur, namun apa yang terjadi? Aku merasa didorong-dorong untuk menumpahkan semua yang kumiliki ke dalam tulisan. Aku coba tuangkan tulisan itu dan kukirimkan ke sebuah majalah Islam. Namun tetap saja, tidak dimuat.
Setelah menjadi karyawan, aku tetap menulis. Namun kegiatan menulisku tidak se produktif sebelumnya. Karena sibuk bekerja, maka waktuku untuk membaca menjadi berkurang. Akibatnya, ide untuk menulis terasa berkurang.
Aku coba membanting stir. Dari tulisan mengenai agama, aku coba menulis mengenai hal-hal yang lucu. Aku mengirim kisah nyata memalukan, lucu bahkan sedikit konyol. Mulai dari pengalamanku sewaktu pramuka di SD, kisah malang motorku, kisah HP temanku, kisah motorku malang dan lain sebagainya. Tulisan ini kukirim ke harian yang sama. Namun sekali lagi, tulisan-tulisan itu tidak berhasil dimuat.
Walau tidak dimuat, aku merasa puas. Aku merasa mampu untuk menulis. Berbeda sekali bila dibandingkan, bila dibandingkan (eit! bukan saatnya nyanyi dangdut nich!) dengan kemampuan mengarangku sewaktu SD. Aku mempunyai rasa percaya diri dalam menulis. Jika tulisan-tulisanku belum dimuat, itu hanya sekedar kurang hoki saja. Begitulah pikiranku.
Rasa percaya diri membuatku selalu ingin menulis. Hingga pada suatu ketika, aku kembali menganggur. Hanya saja saat ini, keadaannya berbeda. Aku menganggur dalam keadaan ‘PD’ untuk menulis. Aku buat sebuah tulisan lucu mengenai pengalaman pribadi. Apa yang terjadi? Para pembaca ingin tahu?? Jangan kemana-mana, tunggu setelah yang satu ini!
Tulisanku dimuat! Tulisanku dimuat harian terkenal! Senang, bangga, dapat membanggakan orang tua dan yang jelas aku semakin percaya diri. Ternyata tulisanku layak untuk dimuat, layak untuk dibaca oleh khalayak ramai.
Setelah kembali bekerja, aku tetap menulis. Aku ikuti berbagai lomba penulisan. Hingga saat ini, sudah 3 lomba penulisan yang kuikuti dan menjadi 4 dengan tulisan ini.
Para pembaca yang budiman……… Pengalaman ini, aku harapkan dapat menjadi pelajaran. Mulai dari kecil yang tidak suka menulis, karena merasa tidak mampu. Beranjak dewasa, mulai menyukai menulis, karena merasa mampu menulis mengikuti jejak teman-teman. Dorongan menulis akan semakin kuat, bila banyak membaca. Hingga berani mengikuti lomba penulisan.
Mungkin dari faktor-faktor inilah, akan timbul berbagai alasan kita untuk menulis. Karena merasa mampu menulis, maka kita menulis. Karena banyaknya bacaan dan pengetahuan yang telah dimiliki, maka memaksa kita untuk menulis.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan lomba@menulismudah.com

SATU KORBAN LAGI


Pagi ini, saya mendengar ada satu lagi korban anak-anak, akibat menirukan tayangan di televisi. Anak ini meninggal akibat menirukan gaya atau gerakan tokoh kartun idolanya.
Dalam pepatah bahasa Arab, anak-anak itu mempunyai kecendrungan hubbut taqlid (atau suka meniru). Wajar saja bila anak-anak suka meniru, karena mereka belum banyak tahu. Apakah perbuatan ini berbahaya atau tidak, perbuatan ini memalukan atau tidak, perbuatan ini dilarang atau tidak. Coba saja perhatikan, jika anak-anak mendapat suatu persoalan. Misalnya kaos olah raga belum sempat dicuci, padahal keesokkan harinya ada pelajaran olah raga. Tentu dia akan panik. Padahal permasalahan ini tidak terlalu rumit atau kompleks. Ibu atau pembantunya dapat mencuci olah raga itu dan ditunggu hingga esok hari. Di pagi hari sekali, bila kaos itu belum kering, kaos itu dapat diseterika. Jadi, suatu permasalahan yang di mata orang dewasa bukan permasalahan, namun bagi anak kecil merupakan permasalahan. Mengapa? Penyebabnya dia tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan yang bersangkutan dengan persoalan yang dihadapinya. Coba lihat! Jika dia sudah mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapinya, tentu dia tidak akan bingung. Pada hakekatnya, anak kecil itu seperti anak bayi. Anak bayi jika dia lapar, haus atau ingin buang air, tentu dia menangis. Mengapa? Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Padahal sekali lagi, permasalahan ini remeh.
Begitulah anak kecil, apa yang dilihat, mereka tiru. Apa yang didengar mereka tiru. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja masih suka meniru. Coba saja perhatikan! Melihat kenyataan ini, hendaknya para orang tua haruslah hati-hati.
Kasus korban anak-anak karena menirukan tayangan ada di televisi, sudah berulang kali terjadi. Untuk itu, mari para pengelola mass media elektronik ini bersama-sama kita coba pikirkan. Bagaimana agar acara-acara yang ditayangkan tidak hanya mengejar keuntungan materi semata. Tidak hanya mengikuti kecendrungan pasar saja. Bukankah kecendrungan pasar kita dapat bentuk? Yang terakhir, pemerintah nampaknya perlu memperhatikan permasalahan ini. Hilangnya 1 nyawa bukan merupakan perkara yang kecil. Permasalahan tidak hanya pada pemberian izin tayangan suatu acara. Pemerintah hendaknya juga terus memperhatikan dan mengevaluasi tayangan-tayangan yang telah beredar.

Sabtu, 05 Januari 2008

DUA SISI

Dua sisi
Nikmat dan musibah adalah dua hal yang unik. Kita sebagai muslim diajarkan untuk bersyukur ketika memperoleh nikmat dan untuk bersabar ketika ditimpa musibah. Jika kita dapat bersyukur ketika memperoleh nikmat, maka itu merupakan kebaikan bagi kita. Jika kita dapat bersabar ketika ditimpa musibah, maka itu juga merupakan kebaikan untuk kita.
Nikmat dan musibah serta kegembiraan dan kesedihan merupakan pemicu ide para penulis. Dari perasaan gembira inilah lahir berbagai karya. Dari perasaan sedih inilah, seorang penulis dapat menuangkan berbagai idenya. Ada yang menghasilkan sebuah cerpen, cerbung, novelet, novel, novel dwilogi, trilogi dan tetralogi.
Gembira dan sedih nampaknya harus dapat kita kuasai. Jangan sampai kita dikuasai oleh dua perasaan ini. Terlalu gembira dapat mengganggu kekhusyu'an kita dalam menunaikan shalat. Hanyut dalam kesedihan juga dapat membuat hati dan pikiran kita tidak hadir dalam shalat. Namun nampaknya, kedua perasaan ini dapat digunakan sebagai alat agar shalat kita menjadi khusyu'.

Rabu, 02 Januari 2008

HAK CIPTA DAN PEMBAJAKAN

HAK CIPTA DAN PEMBAJAKAN
Sebagai seorang awam, saya memang tidak pernah merasakan langsung, tidak pernah ‘sakit’ karena hasil karya saya dibajak orang lain. Namun, saya bisa membayangkannya. Belum lama ini, saya menjadi anggota sebuah milis dunia tulis menulis. Banyak e-mail para anggota milis masuk ke e-mail saya. Berbagai macam tulisan saya temukan. Mulai dari puisi, cerpen bahkan cerita lucu. Saya pun mengirim karya-karya yang mungkin tidak bisa dibilang bagus. Tapi sejelek apapun karya yang kita buat, hampir bisa dibilang kita menganggapnya baik dan bahkan terbaik. Demikian pula dengan saya. Apalagi diantara tulisan yang dikirim, terdapat beberapa tulisan yang pernah diikutkan lomba. Setelah tulisan dikirim ke milis, mulai terpikir dan merasa khawatir kalau-kalau tulisan saya ‘dicontek’ atau ‘dijiplak’ orang lain. Takutnya lagi, tulisan hasil jiplakan itu diikut sertakan dalam lomba penulisan dan tulisan itu menang dengan mengatas namakan orang lain dan bukan saya. Perasaan itu sebenarnya bisa dikatakan berlebihan. Kenapa? Karena kalau dikaitkan dengan tulisan yang dikirim ke lomba penulisan, tulisan saya sudah sampai di panitia dan batas pengiriman naskah telah ditutup sejak lama, sejak tulisan saya belum dikirim ke milis. Walhasil, saya seharusnya tidak perlu khawatir kalau-kalau tulisan saya dijiplak oleh anggota milis. Silahkan saja menjiplak, wong tulisan itu sudah dikirim ke lomba penulisan. Namun kalau dikaitkan dengan hak cipta, mungkin begitulah perasaan orang-orang yang hasil karyanya dijiplak alias dibajak orang untuk kepentingan materi. Berbicara tentang hak cipta -salah satunya tidak lepas dari hasil karya yang berbentuk tulisan-. Baik tulisan sendiri maupun hasil terjemahan. Kebetulan pekerjaan saya berkaitan dengan dunia terjemahan, khususnya terjemahan berbahasa Arab. Dalam dunia terjemah -khususnya bahasa Arab-, ada penulis yang memang minta bagian royalty. Namun ada pula yang tidak. Seperti misalnya, penulis Dr Yusuf Al-Qardhawi. Saya pernah mendengar dari seorang teman yang juga seorang penerjemah menceritakan bahwa Dr Yusuf Al-Qardhawi mengizinkan siapa pun untuk menterjemahkan hasil karyanya. Dengan catatan, penerjemah yang bersangkutan mengerti bahasa Arab. Contoh lainnya adalah seorang ulama yang bernama Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi. Beliau sebenarnya bukan seorang penulis. Beliau adalah seorang orator, penceramah atau muballigh. Ulama ini hanya memiliki satu karya tulis. Namun ceramah-ceramah beliau direkam dan dituangkan dalam tulisan, jadilah beberapa buku.Suatu ketika, ada orang Indonesia datang menemui beliau untuk minta izin. Minta izin menerjemahkan karya-karya beliau. Apa yang Syaikh Mutawalli katakan? “Apakah buku saya ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Anda dan dibaca oleh bangsa Anda? Kalau begitu, mana penerjemahnya? Saya ingin bayar dia?” Saya yang mendengar cerita ini terkagum-kagum. Bukan kita yang memberikan royalty, malah beliau yang bersedia membayar tenaga penerjemahnya.Dua contoh di atas merupakan gambaran lain dari penghasil karya. Penghargaan terhadap hasil karya dihargai dengan amal shalih. 2 penulis di atas mengharapkan agar tulisan mereka dibaca, dipahami dan diamalkan. Bila sudah diamalkan, mereka berharap pahala amal itu juga dapat mengalir ke mereka berdua. Pembajakan atau penjiplakan merupakan perbuatan yang tidak terpuji alias perbuatan yang tidak tahu malu. Coba bayangkan! Karya kita diakui atau diklaim sebagai karya orang lain! Apakah ini bukan sebuah penipuan?!!Memang terkadang, kita terkagum-kagum oleh tulisan orang lain. Kekaguman kita terkadang memicu keluarnya ide sebuah tulisan. Begitu tulisan tersebut matang, nampak tulisan kita mirip dengan tulisan asal atau sumber. Jika seperti ini kasusnya, maka menurut saya karya ini tidak dapat dikatakan menjiplak. Mungkin ada baiknya, kita menuliskan sumber, terinspirasi dari tulisan siapa misalnya. Sehingga tidak ada yang merasa bahwa tulisannya dijiplak. Berbicara tentang sumber inspirasi, referensi, nampaknya kita sulit untuk menghindar dari sumber-sumber informasi yang disebar secara umum. Media massa cetak maupun elektronik misalnya. Banyak orang yang membaca artikel yang sama, berjuta-juta orang yang mendengar, melihat dan menyerap informasi yang sama. Bila ini keadaannya, mungkin akan banyak orang yang terinspirasi dari sumber yang sama. Walhasil banyak orang yang akan memiliki pemikiran, ide yang sama. Apalagi kalau berita tersebut memang ditujukan untuk membentuk opini umum. Jika semua orang yang menyerap informasi ini menuangkan dalam suatu karya tulis, lagu atau puisi, apakah mereka dapat dianggap menjiplak? Saya rasa tidak.Menilai seseorang telah melakukan pembajakan, penjiplakan atau tidak, bukan merupakan perkara yang mudah. Coba bayangkan misalnya, seorang penyanyi melakukan rekaman. Setelah itu, kaset dan CD serta VCD-nya tersebar luas di pasaran secara resmi. Artinya kaset, CD dan VCD diedarkan setelah melewati beberapa departemen terkait. Padahal si penyanyi telah membajak lagu orang lain. Bukankah hal ini merupakan pembajakan yang telah dilegalkan?Banyak orang memburu kaset, CD atau VCD bajakan karena harganya yang lebih murah dari yang original. Akibatnya bisnis pembajakan semakin menjamur. Karena permintaan pasar semakin meningkat. Menurut saya, mengatasi permasalahan ini tidak cukup hanya memperhatikan sisi penghasil karya, baik itu penulis, pencipta lagu dan mereka yang masuk kategori penghasil karya lainnya. Karena jika hanya memperhatikan sisi ini saja, berarti kita hanya memperhatikan nasib penyanyi saja misalnya. Sementara itu bagaimana nasib para penganggur yang terpaksa melakukan perbuatan yang tidak terpuji? Bagaimana nasib orang yang haus hiburan, namun tidak mampu bayar? Apakah hiburan hanya untuk mereka yang mempunyai uang saja?
TULISAN INI DIIKUTKAN DALAM SAYEMBARA YANG DIADAKAN OLEH FAJAR SUGANDHI di thedivines.blogspot.com

Selasa, 01 Januari 2008

KOMENTAR UNTUK KANG CANDRA di penulismuda.multiply.com

PENTINGNYA BAHASA ARAB
Saya setuju, bahasa Arab merupakan kunci untuk memahami Al-Qur'an dan hadits. Karena bahasa Arab terkadang diungkapkan dengan lafadz ma'rifah (tertentu), terkadang diungkapkan dengan lafadz nakirah (tidak tertentu). Lafadz Al-Kitabu dengan lafadz kitabun/kitaban/kitabin merupakan dua lafadz yang berbeda. Al-Kitabu bisa diterjemahkan dengan buku/kitab ini atau buku itu. Sedangkan kitabun dapat diterjemahkan dengan sebuah buku. Sebuah buku berarti buku apa saja, buku yang mana saja dan buku siapa saja. Oleh karena itu, lafadz-lafadz Al-Qur'an yang diungkapkan dengan lafadz nakirah dapat dipahami secara umum, lebih luas dan menembus ruang dan waktu. Dari sini, barulah dapat dipahami bahwa Islam itu selalu up to date. Saya pernah membaca suatu tulisan yang menjelaskan bahwa salah satu dalil yang mengharamkan kaum muslimin untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah ayat yang berbunyi 'wa lan yaj'ala Allah lil Kafirina 'alal mu'miniina sabiilan. Terjemahannya adalah Allah tidak akan memberikan satu jalanpun bagi orang-orang kafir untuk menguasai/mengalahkan orang mukmin (surat an-nisa' :140). Lafadz sabiilan diterjemahkan dengan satu jalanpun/jalan apa saja. Dari pemahaman lafadz inilah diambil kesimpulan kita kaum muslimin diharamkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Coba kita bayangkan bersama, berapa banyak fakta yang dapat dijadikan contoh ayat ini. Semua ini diambil karena memahami lafadz sabiilan yang nakirah. Di sinilah pentingnya mengetahui dan memahami bahasa Arab. Contoh lainnya, kita mungkin sudah sering dengar mengapa ulama madzhab berbeda pendapat dalam memahami lafadz lamastumun nisaa' yang terdapat dalam suatu ayat. Dari lafadz ini timbul dua pendapat yang berbeda. Pendapat yang pertama, wudhu' seseorang menjadi batal setelah bersentuhan kulit dengan wanita. Pendapat yang kedua, wudhu'seseorang menjadi batal setelah berhubungan badan dengan wanita. Kenapa dapat muncul dua pendapat ini? Jawabannya satu karena mereka masing-masing memahami bahasa Arab. Karena lafadz lamastumun nisaa' memang dapat diartikan menyentuh kulit wanita dan dapat pula dipahami dengan berhubungan badan dengan wanita. ttd. Arya Noor Amarsyah
e-mail arnabgaizir@yahoo.co.id
blog: arnabgaizir.blogspot.com

TULISAN KANG CANDRA
YANG BERJUDUL: ULAMA DAN SASTRA

Kedekatan ulama dengan sastra sudah tidak diragukan lagi. Sastra – dalam hal ini sastra Arab – telah menjadi bagian yang fundamental dalam memahami ilmu-ilmu agama. Jika ilmu-ilmu agama merupakan tujuan (al-Maqashid), sastra adalah alat atau sarana (al-Ulum al-Aliyah) untuk memahami tujuan tersebut. Rasulullah adalah orang Arab yang telah mencapai tingkat kefasihan tertinggi dalam berbicara bahasa Arab di antara manusia lainnya. Adalah tidak mungkin memahami teks-teks yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, kecuali dengan menggunakan ilmu-ilmu bahasa Arab. Karena perannya yang sangat fundamental inilah, para ulama dari dulu hingga sekarang tidak pernah lepas dari mempelajarinya.

Di zaman jahiliyah, banyak sastrawan lahir. Mereka memiliki kemampuan merangkai syair yang cukup indah. Tujuan mereka tentu saja tak bernilai, hanya sebatas menghibur semata. Setelah Nabi Muhammad Saw. menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tujuan itu berubah haluan seratus delapan puluh derajat. Syair telah digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Salah satu sahabat yang dikenal penyair ulung adalah Hisan bin Tsabit Ra. . Ketika beradu syair dengan orang-orang kafir, beliau selalu dapat memenangkannya.

Bahkan al-Quran adalah perwujudan dari sastra yang tiada duanya. Ia menantang para sastrawan dari zaman dulu hingga yang akan datang, untuk membuat yang semisal dengan al-Quran, satu ayat saja. Ini merupakan tantangan yang serius, namun tak ada satupun sastrawan dari dulu hingga sekarang yang mampu membuatnya. Kalaupun ada yang mencoba membuatnya, maka nilai sastra dan kandungan maknanya sangat rendah. Ini saja menunjukkan al-Quran adalah sastra Ilahi sebagai perwujudan kalam Allah.

Para ulama selanjutnya tak pernah lepas dari mempelajari sastra (nahwu, sharf, balaghah, dan sejarah sastra). Imam Syafi’i guna memahami al-Quran dan as-Sunnah, beliau mempelajari sastra Arab dari suku Arab pedalaman (Badui) bertahun-tahun lamanya. Karena menurut beliau, sastra Arab orang Badui masih terjaga kemurniaannya. Pada saat Nabi Muhammad Saw. hidup, bahasa Arab berada di puncak kemurniaannya, sehingga untuk memahami dengan jelas pesan-pesan Nabi, kita harus mempelajari sastra Arab yang masih murni itu. Selain sebagai seorang ulama fikih terkemuka, beliau dikenal juga sebagai seorang penyair ternama, salah satu syairnya adalah sebagai berikut:

Biarkan hari-hari berbuat semaunya

Dan buatlah hati ini rela ketika takdir itu tiba

Jangan gelisah dengan kelamnya malam

Karena peristiwa dunia ini tidak ada yang abadi

Begitupun dengan para mufasir al-Quran seperti Imam Zamakhsyari, Imam an-Nasafi, Imam ath-Thabari, Imam al-Qurthubi, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Ibnul Qayyim adalah para sastrawan. Karena tidak mungkin dapat memahami al-Quran kecuali mereka yang menguasai sastra Arab dengan baik.

Para ahli fikih seperti Imam Ibnu Hazm, Imam Sa’duddin at-Tafatazani, dan Imam Ibnu Taimiyah. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah telah mampu mengkritik Kitab Sibawayh – yang merupakan kitab rujukan para sastrawan – dengan bobot ilmiah yang cukup tinggi. Beliau mengatakan bahwa kitab Sibawayh itu memiliki 80 kesalahan. Sedangkan kemampuan sastra Imam Ibnu Hazm sudah tidak diragukan lagi. Beliau telah menulis kitab-kitab yang bermuatan sastra cukup tinggi. Mengenai Imam Sa’duddin, beliau telah menulis kitab ilmu Balaghah, Tahdzib as-Sa’di, dan Syarh Talkhis al-Miftah.

Para sufi seperti Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu ar-Rumi, Fariduddin Attar, Abdurrahman al-Jami, Sa’di Syirazi, Hafidz Syirazi, Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, dan sebagainya, juga dikenal sebagai sastrawan-sastrawan dunia yang tiada duanya. Mereka telah memperkenalkan sastra sufistik kepada dunia.

Sedangkan ulama-ulama kontemporer seperti Ustadz Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad al-Ghazali, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dan Dr. Aidh al-Qarni adalah ulama-ulama yang memperhatikan seni sastra agar karya tulis mereka menjadi lebih indah dan menyentuh hati pembacanya.

Sebelum menjadi seorang aktivis dakwah, Sayyid Quthb dikenal sebagai seorang kritikus sastra terkemuka Mesir. Kemudian setelah ”berhijrah”, beliau mempersembahkan kemampuan sastra-nya tersebut untuk kepentingan dakwah Islamiyah. Di antara karya terbaiknya adalah Fidzilalil Quran. Sebuah maha karya yang mempunyai muatan sastra yang cukup tinggi. Hal ini diakui oleh ulama-ulama dunia saat ini.

Syaikh Muhammad al-Ghazali – menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi – menulis buku-bukunya dengan balaghah yang cukup tinggi. Imam Hasan al-Banna merekomendasikan gaya kepenulisan Syaikh Muhammad al-Ghazali untuk ditiru oleh kader Ikhwanul Muslimin.

Sedangkan Dr. Yusuf al-Qaradhawi sudah berkutat pada dunia sastra sejak duduk di bangku sekolah dasar (ibtidaiyah). Bahkan beliau pernah berdebat dengan gurunya pada saat itu. Beliau mulai mempelajari sastra dengan membaca kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, Syarh Alfiyah karya Ibnu Aqil, Tahdzib as-Sa’di karya Tafatazani, Asrar al-Balaghah karya Imam Abdul Qahir, dan lain sebagainya. Selain itu, beliau juga mempelajari ilmu sejarah sastra Arab mulai dari masa Jahiliyah, zaman Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, hingga zaman modern. Selain aktivitas dakwahnya yang cukup padat, beliau masih menyempatkan diri menulis syair dan drama yang berjudul Yusuf ash-Shiddiq dan Alim wa ath-Thagiyah. Sehingga ada beberapa ulama menjuluki beliau sebagai seorang penyair. Salah satu syairnya berbunyi:

Wahai engkau yang tersingkirkan oleh gelapya malam, hadapilah ia dengan kesabaran

Karena siang dan malam akan selalu bergantian

(lihat) cuaca yang dapat cerah kembali meskipun awan telah menyelimutinya

Dan malam akan berakhir dengan tangannya berhasil menguasai Mesir

Padahal sebelumnya ia adalah penghuni penjara

Mengenai ulama-ulama Indonesia yang dikenal sebagai seorang sastrawan, kita kenal nama Raja Ali Haji, Hamzah Fanshuri, dan Buya HAMKA. Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang mufti kerajaan di zamannya yang terkenal dengan Gurindam XII-nya. Hamzah Fanshuri dikenal sebagai penyair sufi. Sedangkan Buya HAMKA dikenal sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia yang telah sangat mahir menulis prosa, di antara karya-karyanya yang terkenal adalah: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Naungan Ka’bah, Melawat Ke Makkah, dan sebagainya.

Kesimpulan

Adalah sangat mengherankan mereka yang telah memisahkan sastra dari agama, bahwa sastra adalah untuk sastra, hanya sebagai hiburan belaka atau sekedar kajian ilmiah yang tak memiliki nafas-nafas ruhani. Dan juga sangat mengherankan orang yang memandang sastra berada diluar jalur syariat sehingga seorang muslim tidak perlu mempelajari. Bukankah apa yang telah disampaikan oleh sejarah, telah cukup menjadi bukti bahwa ulama dan sastra tidak bisa dipisahkan lagi?