Minggu, 23 Oktober 2011

SEBUAH PENGHARAPAN

Saya baru saja membaca tulisan mas Bayu Gawtama yang berjudul Menutup Mata dengan Senyuman. Di dalam tulisannya ini, mas Bayu menceritakan tentang dua kakeknya yang meninggal dengan senyuman manis di wajah.

Kakek dari ibunya dikenal sebagai orang baik. pada cucu dan dia juga memiliki anak-anak yatim. Anak-anak yatim sudah menganggapnya sebagai pengganti Ayah mereka yang entah dimana.

Kakek dari ayahnya pun demikian. Dikenal baik oleh masyarakat. Seorang tokoh masyarakat. Telah mewakafkan tanah dan masjid yang dibangun di atas tanah itu dinamakan dengan potongan namanya.

Sehingga wajar, dua orang kakeknya mas Bayu ini menutup mata dengan senyuman indah. Karena hidupnya penuh dengan amal shalih.

Usai membaca ini, saya jadi teringat pada kedua mertua saya. Mertua laki-laki menutup mata di atas sajadah, di waktu Dhuha. Entah akan menunaikan shalat Dhuha atau telah menunaikan shalat Dhuha.

Mertua perempuan diketahui sempat mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum menemui Allah swt.

Tante saya, Sumera, juga meninggal dalam rangka menolong seseorang. Tante Mera begitu panggilannya ditabrak oleh motor yang membawanya pada maut. Di hari itu, dia berniat akan menemui seorang sahabatnya untuk bersama-sama menjodohkan seseorang. Pendek kata, tante saya dan sahabatnya ingin menjadi comblang seseorang.

Namun apa hendak dikata, belum sempat mencomblang ‘sasarannya’, tante saya ditabrak motor.

Paman saya juga meninggal setelah sebelumnya ditabrak motor juga. Namun, di hari dia ditabrak, beliau dalam kondisi berpuasa.

Dapatkah ketika ajal tiba, wajah ini penuh dengan senyuman? Atau ketika ajal menjemput, diri ini dalam kondisi menunaikan amal shalih. Ya Allah, bantulah untuk selalu menunaikan amal shalih di setiap saat. Aaamiiin

Sabtu, 01 Oktober 2011

SERIUS TAPI SANTAI

Belakangan terakhir, saya baru saja menamatkan jilid pertama sebuah novel trilogy. Ceritanya menarik. Mengenai seorang pembunuh bayaran wanita campuran Indonesia dan Amerika.
Saya menyelesaikan bacaan itu dalam waktu yang relative singkat. Karena saya dapat berlama-lama membaca novel itu.
Beda sekali ketika membaca bacaan ‘serius’. Kalau membaca bacaan ‘santai’ seperti novel, dapat betah di hadapannya. Tapi kalau membaca bacaan ‘serius’, tidaklah demikian.
Padahal kalau dilihat dari segi kepentingan, lebih penting bacaan ‘serius’ daripada bacaan ‘santai’. Tapi mengapa sikap saya seperti itu?
Sikap dalam membaca di atas mungkin juga dialami oleh teman-teman. Dapat kerasan membaca bacaan ‘santai’, tapi tidak kuat lama membaca bacaan ‘serius’.
Melihat kondisi ini, para penulis –khususnya para penulis buku-buku serius- sepertinya perlu untuk mencoba mengubah tekhnik penulisannya.
Seperti membahas masalah ushul fikih dikemas dalam cerpen atau novel. Buku tentang kondisi politik suatu negara disajikan dalam bentuk fiksi.