Senin, 07 Juli 2008

PESTA BUKU YANG MENGECEWAKAN

PESTA BUKU YANG MENGECEWAKAN

Pameran Buku, Pesta Buku atau semacamnya identik dengan pesta diskon. Pada momen-momen seperti ini, biasanya buku dijual dengan harga murah bahkan amat murah. Diskon mulai dari 20% hingga 60%. Itulah yang terjadi pada Pesta Buku yang baru saja berakhir pada tanggal 6 Juli 2008.

Tapi ternyata terkadang tidak selamanya benar. Setidaknya itulah yang ditemukan. Ada beberapa hal yang perlu kita semua perhatikan. Pada Pesta Buku kemarin ini, ada 3 hal aneh yang mengecewakan.

Saya terhenti begitu melihat tulisan diskon 50% yang terpampang di bagian muka sebuah stand. Saya perhatikan buku-buku yang masuk kategori diskon 50%. Mata saya terhenti pada novel trilogi. Waah boleh juga pikirku. Masing-masing buku berdiskon 50%. Saya mulai mempertimbangkan harga dan sisa uang yang ada di saku. Novel jilid pertama seharga Rp 16 ribu, itu berarti setelah didiscount akan menjadi Rp 8000. Novel jilid ketiga seharga Rp 15 ribu, setelah diskon akan menjadi Rp 7500. Saya kembali memperhatikan novel jilid pertama. Bandrol di sana tertulis Rp 16 ribu, namun saya menjadi kaget ternyata ada bandrol lain. Bandrol yang kedua tertulis Rp 9000. Hah! Ada dua bandrol dan bandrol yang baru terlihat tertulis Rp 9000. Melihat kenyataan ini, akhirnya saya memutuskan tidak jadi membeli novel trilogi itu. Karena jika harga sebelum dikatrol Rp 9000, maka itu berarti diskon yang diberikan tidak sampai 50%.

Kekecewaan kedua, ketika saya sedang membayar 3 buah buku yang telah dipilih. Sebuah buku memang milik saya dan dua buah buku lainnya pesanan seorang teman. Buku yang saya pilih, karena buku itu murah, harganya cuma Rp 10 ribu rupiah dengan kondisi buku yang cukup tebal. Sedangkan dua buku pesanan teman, termasuk buku baru yang berdiskon tidak terlalu besar. Sesampai di kasir, salah seorang kasir mengatakan, "Semuanya Rp 100 ribu lebih." Saya serahkan uang pecahan 50 ribuan, sebanyak 3 lembar. Sebelum transaksi selesai, saya bertanya mengenai harga buku yang saya pilih, "Kalo buku ini harganya berapa? Bukankah harga buku ini Rp 10 ribu?" Mendengar pertanyaan saya, mbak kasir seperti tersadar sesuatu dan memeriksa hasil penghitungan sebelumnya. "Oh ya maaf," tanggap si kasir. Ternyata si kasir tidak sadar, bahwa hitungannya itu berdasarkan bandrol yang lama. Hanya saja bandrol kali ini menggunakan kode (tidak tertulis nilai nominalnya), berbeda dengan kejadian yang pertama.

Lengkap sudah kekecewaan saya pada Pesta Buku kali ini. Saya membeli sebuah buku yang berdiskon 60%. Dulu, saya pernah menginginkan memiliki buku itu. Karena 2 bab dalam buku tersebut, pernah saya baca. Berdasarkan hal inilah dan judul-judul bab yang terdapat dalam buku itu, maka saya putuskan untuk membelinya. Bukunya bagus, cukup tebal dan isinya kemungkinan juga bagus.

Tapi begitu sampai di rumah, saya menjadi kecewa. Halaman 1 hingga halaman 16-nya tidak ada. Kata teman saya, "Ya jelas saja, diskonnya saja 60%."

Minggu, 25 Mei 2008

PENYAKIT KLASIK

PENYAKIT KLASIK

Macet merupakan masalah klasik di ibukota Jakarta, khususnya. Orang yang berangkat dari Bogor akan sampai di Rasuna Said lebih dulu, dari orang yang berangkat dari Kali Malang, Jakarta Timur. Itulah yang pernah terjadi. Mengapa? Karena jalur dari Bogor ke Jakarta (jalan tol Jagorawi), tidak terkena macet. Sementara jalur dari Kali Malang terkena macet.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi kemacetan ini. Pembangunan jalan tol misalnya. Dengan adanya jalan tol, mungkin jalan-jalan di luat tol akan terasa lengang dan lancar. Namun ternyata, kemacetan berpindah ke jalan tol.

Pengoperasian bus way dan pembangunan jalannya. Memang dengan adanya bus way, berarti ada jalur khusus yang bebas kemacetan. Karena hanya bus way saja yang boleh melewati jalur khusus itu. Mungkin tidak ada bedanya dengan rel kereta api. Hanya kereta api yang boleh melewati rel kereta api.

Dengan adanya bus way, orang-orang yang enggan membawa mobil atau merasa keletihan membawa mobil ke kantor, maka dia akan menggunakan jasa angkutan ini. Bila ratusan, ribuan orang berpikiran seperti ini, mungkin jumlah kendaraan di jalan akan berkurang.

Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Jalan yang dijadikan sebagai jalur khusus bus way mengambil jalanan yang telah ada. Sehingga lebar jalanan yang telah menjadi sempit. Akibatnya, kendaraan yang ada di jalanan yang dilalui jalur khusus bus way menjadi menumpuk alias macet.

Program three in one juga merupakan suatu upaya untuk menekan tingkat kemacetan di ibu kota Jakarta. Sasaran dari program ini adalah orang-orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu. Setiap anggota keluarga memiliki kendaraan masing-masing. Jadi, bila seorang ayah melewati jalur three in one untuk menuju kantornya dan anggota keluarga yang lain juga melewati jalur three in one di waktu yang sama, maka keinginan untuk menaiki kendaraan pribadi masing-masing dapat diredam.

Pembangunan jalan fly over juga merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kemacetan. Namun ternyata kemacetan hingga kini masih saja menghiasi jalan-jalan di ibukota Jakarta.

Saya pernah berpikir, bagaimana cara untuk mengatasi kemacetan. Saya mencoba mengamati. Diantaranya jalan yang ada di sekitar Asrama Haji Pondok Gede. Jika musim haji tiba, jalanan yang ada di sekitar Asrama Haji menjadi macet. Pasalnya, volume kendaraan yang melewati jalanan itu banyak, namun jalanan yang dilalui kendaraan itu kecil.

Melihat kenyataan ini, salah satu cara yang mungkin dapat mengatasi kemacetan adalah memperlebar jalan. Berdasarkan keterangan orang-orang yang pernah ke luar negri, katanya jalan-jalan di sana lebar. Dalam satu baris ke samping dapat menampung mobil dalam jumlah yang banyak.

Masih berdasarkan kenyataan di atas, tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang banyak, hendaknya terletak di jalan-jalan raya dan bukan jalan seperti yang terdapat di sekitar Asrama Haji Pondok Gede.

Kata orang bijak, jika kita menghadapi suatu permasalahan, coba cari penyebabnya. Seorang anak kecil yang menderita demam atau suhu tubuh sedang tinggi, jangan langsung disimpulkan bahwa anak itu sedang influenza. Sebab suhu tubuh yang tinggi dapat ditimbulkan oleh demam berdarah, influenza, flu burung atau yang lainnya.

Jadi, mungkin kita perlu bertanya. Mengapa terjadi kemacetan di Jakarta? Apakah karena disebabkan banyaknya penduduk desa, luar kota yang datang ke Jakarta? Mungkin saja. Soalnya bukan rahasia lagi, bila orang-orang yang tinggal di Bekasi bekerja di Jakarta. Orang-orang yang bertempat tinggal di Tanggerang, bekerja di Jakarta.

Jika ini masalahnya, nampaknya pemerintah perlu membuka lapangan pekerjaan di daerah-daerah atau desa-desa. Membuka lapangan pekerjaan di desa tidak juga berarti mengganti lahan pertanian menjadi pabrik atau industri. Bagaimana menurut pembaca? Ada masukan?

Senin, 05 Mei 2008

BELAJAR DARI NYAMUK

BELAJAR DARI NYAMUK

Pernahkah kita mengeluh karena merasa amat lelah bekerja? Pernahkah kita merasa diperlakukan tidak adil, karena tenaga dan pikiran yang kita keluarkan dalam mencari nafkah tidak seimbang dengan imbalan yang diterima?

Sikap mengeluh dan perasaan yang tergambar di atas, mungkin sering kita temukan, bahkan mungkin kita rasakan sendiri.

Tapi pernahkah kita terpikir, bagaimana perjuangan seekor nyamuk dalam mencari nafkah? Dia terbang dan hinggap di kulit seseorang dan pindah lagi ke kulit yang lainnya. Nyamuk adalah hewan yang senantiasa membutuhkan transfusi darah. Pekerjaannya untuk mencari makan selalu mengandung resiko. Betapa tidak? Taruhannya nyawa. Sedikit saja dia bengong atau keasyikan menghisap darah seseorang, maka nyawanya akan melayang. Plak! “Mati kau!” begitulah maki orang yang darahnya dihisap oleh nyamuk.

Kelelahan dan kejemuan kita dalam bekerja dan mencari nafkah tidak sebanding resiko yang harus ditanggung oleh seekor nyamuk.

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh shaum atau shalat. Beliau ditanya, "Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Bekerja mencari nafkah penghidupan." (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah)

Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ra, tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Sa'ad, beliau bersabda, "(Ini adalah)dua tangan yang dicintai Allah ta'ala."

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS Al-Baqarah (2):26)

Senin, 28 April 2008

BAGAIMANA KALAU................?

BAGAIMANA KALAU…………?

Bagaimana kalau di dunia tidak ada warna? Yang ada hanyalah warna hitam. Pemandangan tidak lagi menjadi indah. Kita sulit untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Bagaimana kalau buah jeruk berwarna hitam, kalau daun berwarna hitam? Bagaimana kalau langit dan laut tidak terlihat biru, namun berwarna hitam? Bagaimana jika buah semangka yang biasa kita temui berwarna merah atau kuning, kini kita dapati berwarna hitam. Bagaimana jika buah apel menjadi berwarna hitam? Tidak ada istilah orang yang buta warna. Tidak ada warna favorit. Kita tidak dapat membedakan mana orang Afrika dan mana orang Eropa. Kita tidak dapat membedakan orang Cina yang berkulit kuning dengan orang Indian yang berkulit merah. Kita tidak dapat membedakan mana sirup yang rasa jeruk dengan strawberry. Pasalnya, kita tidak dapat menebak rasa sirup itu, ketika melihat sirup rasa jeruk berwarna hitam dan sirup rasa strawberry juga berwarna hitam. Jika dunia tanpa warna atau hanya berwarna hitam, maka kita tidak dapat membedakan mana siang dan mana pula malam. Bagaimana hasil lukisan seorang pelukis, jika di dunia ini hanya ada warna hitam? Mungkin aliran lukisan hanya ada aliran gotich (nggak tahu tulisannya benar atau tidak) yang artinya lukisannya hanya berwarna hitam.

Bagaimana kalau di dunia tidak ada angka? Mungkin rumah kita tidak ada nomornya. Bagaimana menentukan harga suatu barang? Berapa tinggi seseorang? Berapa banyak orang yang hadir dalam suatu pertemuan? Kita tidak tahu tanggal berapa kita lahir. Kita tidak dapat menjadi saksi peristiwa tabrak lari, pasalnya mobil tidak memiliki plat nomor. Kita tidak dapat, karena angka-angka yang biasanya dijadikan tolok ukur atau standar kemajuan seseorang, tidak ditemukan. Kita tidak dapat mengungkapkan siapa juara pertama, kedua dan seterusnya. Kita hanya dapat mengatakan dia lebih dulu dari si A, si B dan seterusnya.

Bagaimana kalau di dunia tidak ada bahasa. Mungkin tidak ada dialog diantara manusia. Yang ada hanya isyarat saja. Coba bayangkan! Alangkah lamanya untuk mencapai satu pemahaman. Entah berapa kali, salah paham yang terjadi bila sesama manusia berdialog namun tidak dengan menggunakan bahasa apapun, karena yang ada hanya isyarat. Tidak adanya bahasa, mungkin akan membuat orang dapat berkelahi. Coba bayangkan! Bagaimana seorang guru dapat mengajar muridnya, jika sarana untuk menyampaikan ilmu tidak ada? Seorang ayah tidak dapat menanamkan pengertian bahwa anaknya telah melakukan kesalahan dan layak mendapat hukuman. Walhasil, si anak tetap saja melakukan kesalahan. Bila tidak ada bahasa, mungkin tidak ada penyair, penyiar, host, penyanyi, penceramah, penulis, penerjemah, orator, guru dan profesi lainnya.

Bagaimana kalau kita tuli -naudzu billahi min dzalik-?

Orang yang tuli, biasanya juga bisu. Agar seseorang dapat mengucapkan suatu dengan benar dan tepat, maka dia harus mendengar terlebih dahulu. Orang yang tuli tidak akan mendengar bila ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Dia baru akan sadar bahwa ada orang lain yang memanggil atau mencarinya setelah pundaknya ditepuk. Orang yang tuli tidak dapat berbicara seperti orang pada umumnya. Itu berarti minim sekali dialog yang dilakukannya. Orang yang tuli tidak dapat mendengar gemercik air, alunan musik, kicau burung, ledakan bom, lenguh sapi, ringkik kuda, auman singa, salakkan anjing, ngeongnya kucing, kotek ayam berkokok, suara jangkrik di malam hari, suara katak di musim penghujan, dengungan sayap nyamuk, klakson mobil, deru kendaraan bermotor, piring pecah, bunyi alarm, derit pintu yang sedang dibuka, cicitan tikus, bunyi rem kendaraan, bunyi koran yang jatuh setelah dilempar oleh tukang koran, dentang piring yang terkena sendok, garpu kita, suara riang anak-anak, tangisan bayi, rintik, lebatnya hujan turun, gletarnya petir. Coba bayangkan bila orang tuli tidak mengerti suatu permasalahan, kemudian orang lain ingin menjelaskan duduk permasalahannya, bagaimana? Sebab terkadang suatu pelajaran tidak dapat langsung dipahami, namun perlu penjelasan ulang atau penjelasan tambahan dan penjelasan itu disampaikan lewat mulut, kemudian diteruskan ke telinga. Bisa jadi, orang yang tuli memiliki keterbatasan pengetahuan. Selain tidak mungkin menerima ilmu lewat telinga, dia juga hampir tidak mungkin bertanya (sesuatu yang tidak dipahami) lewat mulutnya. Karena biasanya orang tuli juga orang yang bisu.

Bagaimana kalau kita buta -naudzu billahi min dzalik-?

Orang yang buta biasanya sulit untuk menyebrang jalan. Bila orang buta naik kendaraan umum, biasanya dia pesan kepada supir agar diberitahu bila tujuan si buta telah sampai. Orang buta tidak dapat melihat keindahan alam, tidak dapat melihat si cantik atau si buruk rupa, si tampan atau the beast. Orang buta tidak dapat melihat tingginya gedung, besarnya gajah, kecilnya semut, luasnya lapangan sepak bola, sempitnya rumah RSSSS, rendahnya orang cebol. Dia tidak dapat melihat bahwa ular itu bentuknya panjang, ayam mempunyai paruh, banteng bertanduk, cecak dapat merayap di dinding. Orang yang buta tidak dapat melihat silaunya sinar mentari, terangnya lampu neon. Bagi orang buta semuanya serba hitam, gelap, baginya tidak ada perbedaan antara siang dan malam. Mungkin dia dapat membedakan dari udaranya pagi, siang dan malam. Namun tetap saja semuanya serba gelap. Orang buta tidak dapat membaca buku seperti orang-orang yang bisa melihat. Orang buta tidak dapat membaca Al-Qur’an. Memang sekarang sudah ada buku-buku dan Al-Qur’an berhuruf Braille.

Bagaimana kalau kita bisu -naudzu billahi min dzalik-?

Orang bisu tidak dapat berbicara, bernyanyi, ceramah, bertanya, marah dengan mengeluarkan ucapan, mengeluarkan pendapat lewat ucapan, menjelaskan sesuatu kepada seseorang. Bagi orang bisu tidak ada istilah salah omong, mulut berbisa. Pepatah ‘mulutmu adalah harimaumu’, tidak berlaku bagi orang yang bisu. Bagi orang bisu akan sulit bertanya, bila ada pelajaran yang tidak dimengertinya. Orang bisu akan kesulitan bertanya, kita dia tersesat di suatu daerah.

Bagaimana kalau kita lumpuh -naudzu billahi min dzalik-?

Orang yang lumpuh akan kesulitan untuk bepergian. Coba bayangkan bagaimana orang yang lumpuh naik angkot, naik tangga, turun dari angkot, turun tangga! Coba bayangkan! Bagaimana orang lumpuh berlari? Orang lumpuh akan kesulitan naik gunung, akan kesulitan pergi ke mal, kesulitan bepergian ke toko buku, ke kebun binatang, pendek kata akan kesulitan untuk bepergian ke manapun tujuannya.

Allah berfirman, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah).” (QS Ibrahim (14):34)

Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim (14):7)

Silahkan ditambah lagi!

Bagaimana kalau tidak ada…………

Bagaimana kalau kita……………-naudzu billah min dzalik-

Jumat, 25 April 2008

HIKMAH PERISTIWA

HIKMAH PERISTIWA

Kita mungkin masih ingat dengan peristiwa kebakaran di Pasar Tanah Abang. Anda mau tahu siapa saja yang menjadi korbannya? Yang pasti, para pedagang yang memiliki kios di pasar ini menjadi korbannya. Selain itu, para pedagang yang menitipkan barang di pasar ini. Maklum, pasar ini dulu –entah sekarang- termasuk salah satu pasar grosir terbesar. Para pengusaha home industri bordir di Tasikmalaya termasuk menjadi korban peristiwa ini. Banyak hasil bordir di pasar Tanah Abang yang belum sempat terjual, ikut terbakar. Barang-barang hasil bordiran yang tadinya siap dikirim ke pasar Tanah Abang, menjadi barang yang menumpuk. Sementara itu, para pengrajin bordir yang telah menghasilkan berbagai karyanya belum mendapat bayaran.

Selain home industri bordir di Tasikmalaya, pengusaha batik di Pekalongan juga menuai dampaknya. Batik Pekalongan yang biasanya dikirim ke pasar Tanah Abang, tidak dapat lagi dipasarkan di sana. Seingat saya, pengusaha batik Pekalongan sebelumnya juga mengalami keadaan yang sama. Setelah peristiwa ledakan bom di Bali, omset penjualan batik Pekalongan di sana menurun.

Lain lagi dengan para pengusaha PJTKI (Perusahaan yang memberangkatkan warga negara Indonesia untuk menjadi Tenaga kerja di luar negri). Perusahaan PJTKI akan mengalami kelesuan usaha di saat negara tujuan sedang bermasalah. Ketika negara Arab sedang mengalami krisis, maka dampak akan dirasakan oleh para pengusaha PJTKI yang memberangkatkan ke negara-negara Arab. Walhasil, kegiatan usaha di PJTKI menjadi terhenti. Terhentinya kegiatan para pengusaha PJTKI berdampak kepada pendapatan pihak-pihak lainnya. Medical Centre misalnya. Biasanya, Medical Centre melayani pemeriksaan calon tenaga kerja yang akan bekerja di luar negri. Jika seseorang ingin bekerja di luar negri, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan di Medical Centre. Bila tidak ada pemberangkatan ke negara Arab (karena adanya krisis di Timur Tengah), berarti tidak ada pemeriksaan di Medical Centre. Itu berarti tidak ada pemasukkan bagi Medical Centre. Dampak selanjutnya adalah tidak ada pembuatan paspor. Karena seorang calon tenaga kerja yang ingin membuat paspor harus memiliki hasil pemeriksaan kesehatan dari Medical Centre dan hasilnya harus berstatus FIT alias sehat. Karena tidak ada seorang pun yang memeriksakan kesehatan di Medical Centre, maka tidak ada seorang pun yang membuat paspor. Itu berarti pemasukkan imigrasi juga tersendat.

Berbagai peristiwa di atas merupakan contoh dari kekuasaan Allah. Jika Allah ingin menyempitkan rezki seseorang dapat dengan mudah dilakukan-Nya. Allah berfirman, "Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki." (QS Ar-Ra'ad (13);26)

Allah berfirman, "Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya." (QS Al-Isra' (17):30)

Selasa, 22 April 2008

REKENING KORAN (JOKE)

REKENING KORAN

Staf keuangan kantor kami baru saja menerima kiriman rekening koran dari sebuah bank. Dasar usil, "Apakah rekening koran ada hubungannya dengan langganan koran?"

Staf keuangan kami menjawab, "Ya nggak lah!"

"Kalau nggak ada hubungannya dengan langganan koran, mengapa disebut rekening koran?"

Dialog ini mengundang komentar teman yang lain. Sebut saja si Y. Si Y punya seorang teman. Dia ingin kredit motor. Salah satu persyaratan untuk kredit motor adalah mempunyai rekening koran 3 bulan terakhir. Persyaratan yang diminta pihak dealer ini, ditanggapi teman si Y dengan jawaban, "Maaf pak, saya tidak langganan koran."

Mendengar cerita si Y ini, kontan saja kami tertawa.

Tapi ternyata cerita si Y tidak sampai di situ saja. Dia menceritakan temannya yang lain. Temannya ini juga ingin kredit motor. Pegawai dealer menjelaskan bahwa salah satu persyaratan untuk kredit motor adalah mempunyai rekening koran. Mendengar penjelasan ini, teman si Y berkata, "Maaf, saya tidak mempunyai rekening koran. Saya biasanya beli koran secara eceran alias tidak berlangganan koran."

Kamis, 17 April 2008

PENGRAJIN KALENG

PENGRAJIN KALENG

Kita mungkin sering melihat tempat sampah yang terbuat dari alumunium. Bentuknya seperti tabung. Di bagian atasnya berfungsi sebagai asbak dan di bagian tengahnya dibiarkan bolong berbentuk bundar. Bolongan ini memang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah orang untuk membuang sampah. Tabung sampah berbentuk tabung ini biasa kita temukan di bank, maal dan tempat-tempat keramaian lainnya.

Jika kita mengantri di bank, maka kita berbaris memanjang dan dibatasi oleh sebuah pembatas. Pembatas itu terdiri dari beberapa 2 atau 3 tiang yang terbuat dari alumunium. Masing-masing tiang itu dihubungi oleh seutas tali.

Anda pernah melihat lampu panggung? Tepatnya lampu panggung yang terdapat di kanan dan kiri panggung di bagian depan. Lampu panggung itu seperti kubah dan disambung dengan sebuah tabung.

Kita juga biasa melihat dank-dang, oven, pencetak roti dan seterusnya. Semuanya terbuat dari alumunium.

Kita dapat menyaksikan para pengrajin alumunium atau kaleng. Usaha home industri ini dapat ditemukan di daerah Citeureup, Jawa Barat.

Karya-karya home industri ini berkelas dan berkualitas. Buktinya, hasil karya mereka dipesan oleh bank, maal dan berbagai perkantoran. Padahal mereka hanya menggunakan alat-alat sederhana. Gunting, martil, balok kayu dan sebagainya. Mereka mengeluhkan bahwa harga bahan-bahan yang mereka butuhkaan melambung tinggi. Mereka menaikkan harga jual. Akibatnya pemesanan menurun.

Masalah yang mereka hadapi sudah klise. Modal, SDM dan pemasaran.

Kewajiban negara adalah membantu rakyatnya. Kewajiban mencari nafkah merupakan kewajiban individu. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh shaum atau shalat. Beliau ditanya, "Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Bekerja mencari nafkah penghidupan." (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah)

Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ra, tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Sa'ad, beliau bersabda, "(Ini adalah)dua tangan yang dicintai Allah ta'ala."

Memang benar, pada mulanya pemenuhan dan kesejahteraan manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan bekarja. Jika ia tidak memperoleh pekerjaan, padahal dia mampu untuk itu, maka negara wajib menyediakannya. Sebab memang itu menjadi tanggung jawab negara. Nabi Saw bersabda, "Seorang imam (penguasa) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Beliau berkata kepadanya, "Makanlah dengan satu dirham dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah kapak itu untuk bekerja."

Dalam hadits lain, dijelaskan ada seseorang yang mencari Rasulullah dengan harapan Rasulullah akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah seorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja untuk mendapat suatu hasil. Dia juga tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu yang diambil sendiri oleh beliau. Beliau serahkan kapak dan kayu itu pada orang tersebut. Beliau perintahkan padanya agar pergi ke suatu tempat yang beliau telah tentukan agar ia bekerja di sana. Beliau memintanya kembali menemuinya, jika sudah bekerja. Setelah beberapa waktu, orang itu kembali menemui beliau Saw dan mengucapkan terima atas bantuannya.

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab memasuki masjid di luar waktu shalat 5 waktu. Di dalam masjid, beliau melihat 2 orang yang sedang berdo'a memohon kepada Allah. Umar bertanya, "Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana sedang sibuk bekerja?"

Mereka menjawab, "Wahai Amirul Mukminin! Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah Swt."

Mendengar jawaban itu, Umar marah seraya berkata, "Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak."

Kemudian Umar mengusir mereka dari masjid, tetapi beliau memberikan setakar biji-bijian dan beliau berkata, "Tanamlah dan bertawakkallah kepada Allah!"

Perhatikan riwayat-riwayat di atas! Rasulullah membantu rakyatnya yang belum bekerja. Demikian pula dengan Amirul Mukminin Umar, beliau memberikan setakar biji-bijian kepada rakyatnya yang malas bekerja. (Hidup Sejahtera di bawah naungan Islam , karya Abdul Aziz Badri)

Negara harus memperhatikan rakyatnya. Memberi mereka modal, jika memang membutuhkan. Jangan negara lebih cendrung kepada pengusaha! Negara memberi izin kepada para pengusaha atau konglomerat untuk membuat bank. Jika negara memberi izin kepada para pengusaha, berarti para pengusaha dapat dengan mudah memperoleh modal. Karena rakyat menyimpan/menabung uang di bank milik para pengusaha. Dengan memiliki bank, para pengusaha dapat dengan mudah mengembangkan usahanya.

Senin, 14 April 2008

CREATIVE WRITING (BAGIAN KEEMPAT)

Dalam bab ke IV, ini mas AS Laksana menganjurkan kita untuk menulis dengan cepat. Mengapa? Karena terkadang sebagian orang merasa muak untuk meneruskan tulisannya. Terkadang sebagian orang merasa kekurangan mood untuk melanjutkan tulisannya. Jika rasa muak dan rasa tidak ada mood ini muncul, maka tulisan yang sedang dibuat tidak dilanjutkan.

Jika sudah enggan atau tidak ada mood untuk menulis, maka menulislah dengan cepat. Dengan mensiasati seperti ini, maka keengganan dan tidak adanya mood tidak akan menghalangi seseorang untuk menulis.

Alasan lain seseorang untuk tidak menulis adalah tidak adanya waktu. Alasan ini sebenarnya tidak dapat diterima. Kenapa? Karena kalau kita ada waktu untuk menonton acara televisi hingga berjam-jam, belanja di maal hingga kaki menjadi pegel, mengapa kita tidak mempunyai waktu untuk menulis, walau hanya sebentar?

Menulis dengan cepat adalah jalan keluarnya. Jika kita menulis dengan cepat, maka alasan tidak adanya waktu bukan lagi menjadi masalah.

Hikmah lain dari menulis dengan cepat adalah kita dapat menuangkan ide dengan cepat. Pernahkah kita mengalami banyak mempunyai ide yang akan dituangkan dalam tulisan? Tapi karena kita tidak segera menuangkannya dalam bentuk tulisan, maka ide-ide berharga itu lenyap begitu saja. Keesokkan harinya, kita sudah tidak ingat lagi ide-ide apa saja yang kemarin terlintas dalam benak.


Bagaimana caranya? Sering-seringlah kita menulis. Rutinkanlah kita menuangkan pikiran dan perasaan, niscaya kita akan mampu menulis dengan cepat. Seperti yang saya pernah tulis sebelumnya, menulis adalah pekerjaan yang relatif lebih mudah daripada pekerjaan mengedit hasil terjemahan orang lain. Karena pekerjaan mengedit hasil terjemahan orang lain, kita harus memahami maksud penulis asli (yang masih berbahasa asing) dan maksud penerjemah (yang sudah berbahasa Indonesia). Menulis adalah pekerjaan yang relatif lebih mudah daripada pekerjaan menerjemahkan buku berbahasa asing. Karena pekerjaan menerjemahkan buku berbahasa asing, menuntut kita untuk memahami maksud penulis asli (yang masih berbahasa asing). Sedangkan pekerjaan menulis hanya memahami pikiran dan perasaan kita sendiri. Yang harus kita lakukan hanyalah menuangkan pikiran dan perasaan saja dengan segera.

bersambung ke arnab20.multiply.com

Rabu, 09 April 2008

MENGGANTUNG NASIB DARI BUAH AFKIR

Menggantung Nasib pada Buah Afkir
”Usianya sudah uzur, 68 tahun, namun Mbah Tuki masih harus bergelut dengan kehidupan yang berat. Tiga cucunya menjadi tanggungannya. Sementara ia hanya mengandalkan usaha memulung buah di pasar, untuk dijual kembali”Adzan shubuh baru saja berlalu, udara dingin pun masih melingkup. Namun Mbah Tuki sudah bersiap dengan kerja rutinnya. Selepas shalat shubuh, keranjang butut bergegas dijinjing menemaninya ke pasar buah sekitar 3 kilometer dari rumahnya. Sementara ketiga cucunya masih tidur pulas di kamar rumah kontrakkan yang sempit.

Berjalan kaki ia menyusuri jalanan yang masih sunyi. Setiba di pasar buah kawasan Jalan Gunung Galunggung, Kargo, Denpasar, Mbah Tuki langsung beredar mencari pisang-pisang afkir, berharap masih ada bagian yang bagus. Kadang kalau ada modal, lewat pengepul ia memborong sekeranjang, harganya Rp 5 ribu.Begitu matahari sudah menyembul dari cakrawala dan lalu lalang manusia berangkat kerja. Mbah Tuki pulang ke rumah. Lantas pisang-pisang afkir yang dibelinya di pasar, ia ambil bagian yang masih bagus. Digoreng lantas dijual dengan cara berkeliling. Hasilnya lumayan untuk uang saku cucunya berangkat sekolah.Istirahat? Belum. Mbah Tuki masih kembali lagi ke pasar yang sama, kali ini ditemani cucu terkecilnya. Kali ini ia mencari jeruk, mangga, nanas atau yang buah afkir lainnya. Sama, buah-buahan afkir itu dijualnya kembali setelah dibersihkan. Yang tidak laku, ia berikan kepada anak-anak kecil di sekitar tempat tinggalnya. Selepas adzan dhuhur ia baru pulang ke rumah. Begitu setiap hari yang dikerjakan Mbah Tuki untuk menghidupi ketiga cucunya yang ditinggal kedua orang tuanya entah ke mana.”Menawi mboten ngeten sinten sing nyukani sangune lare-lare, kale tumbas beras kagem nedho,” (Kalau tidak begini siapa yang memberi bekal untuk anak-anak, atau beli beras untuk makan),” ujar Mbah Tuki lirih.Wanita renta itu kini terpaksa bekerja sendirian menghidupi tiga orang cucunya, Sri Wahyuningsih yang duduk di bangku kelas 4 SD, Alex Siswanto, dan Agus Setiawan ( 6 tahun).Beban hidupnya cukup berat, selain kebutuhan sehari-hari, Mbah Tuki masih harus mencari uang untuk biaya sekolah cucunya.Mbah Tuki tinggal bersama tiga orang cucunya di sebuah rumah kontrakkan yang disewanya Rp 250 ribu per bulan. Hampir semua warga di lingkungan Mbah Tuki adalah pendatang. Hari Raya kemarin Mbah Tuki dan cucu-cucunya tak bisa pulang ke Jember lantaran tak ada biaya.Sudah hampir lima tahun Mbah Tuki melakoni pekerjaannya, walau melelahkan, namun Mbah Tuki tidak pernah mengeluh. Semuanya dikerjakan dengan sabar, senyum selalu tersungging di sela kelelahan.Kepada Madani, wanita asal Jember itu mengaku tidak menyangka jika jalan hidupnya akan seperti ini. Awalnya ia datang ke Bali diajak anaknya lelakinya yang bekerja di Denpasar, 12 tahun silam. ”Sekarang anak saya pergi ke Jakarta, namun sudah setahun ini tidak ada kabarnya. Istrinya pergi meninggalkan rumah saat Agus, cucu saya, baru berumur 2 tahun,” kata Mbah Tuki.(Source : Majalah Madani DSM Bali) DICOPY DARI alimmahdi.blogspot.com
Satu cermin lagi buat kita. Sesulit apapun pekerjaan, ternyata masih ada pekerjaan. Memang terkesan jorok, terkesan tidak berkelas, terkesan memalukan. Tapi apakah yang terkesan jorok, yang terkesan tidak berkelas dan yang terkesan memalukan lebih mulia dari pencuri, lebih mulia dari perampok, lebih baik dari para koruptor? Tentu kita sepakat, pencuri, perampok dan koruptor tidak lebih mulia dari Mbah Tuki.

Usia Mbah Tuki sudah 68 tahun. Tapi semangat, keuletan dan tahan bantingnya tidak kalah dengan anak muda. Bagaimana dengan anak muda sekarang? Jangan mau kalah dengan mbah Tuki. Tetap semangat, ulet dan sungguh-sungguh!

PEDAGANG KOPI KELILING

PEDAGANG KOPI KELILING

Ada-ada saja usaha orang saat ini. Menghadapi kondisi perekonomian keluarga yang morat marit dan harga-harga barang yang terus melambung tinggi, banyak orang melakukan berbagai usaha, alih profesi atau melakukan usaha sampingan.

Diantara usaha yang dilakukan segelintir masyarakat Jakarta adalah berdagang kopi. Pedagang kopi kali ini bukan berjualan di warung. Dengan bantuan sepeda, mereka berkeliling menjajakan kopi, susu dan produk-produk minuman lainnya yang dapat diseduh. Selain sepeda, mereka juga menyediakan suatu tempat yang diletakkan di bagian belakang sepeda. Tempat itu berbentuk persegi empat, biasanya terbuat dari kayu. Di tempat inilah diletakkan termos, gelas dan kopi sachet, susu dan sereal sachet.

Mereka berkeliling di taman-taman kota. Para langganannya adalah mereka yang sedang berolah raga di taman-taman itu atau mereka yang sedang nongkrong di sana.

Para pedagang kopi keliling itu juga hadir di tengah para demonstran. Kita semua sama-sama tahu bahwa jumlah mereka yang ikut berdemostrasi cukup banyak. Jadi, peluang adanya pembeli cukup banyak. Ketika ditanya, "Apakah tidak takut bila aksi demonstrasi berubah menjadi aksi kerusuhan?" Pedagang kopi keliling itu menjawab, "Tidak takut. Saya juga melihat kondisi yang ada pada saat itu. Bila kelihatannya/gejalanya mendekati aksi kerusuhan, maka saya akan menyingkir."

Begitulah sebuah acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta. Kondisi perekonomian yang melilit, terkadang memaksa seseorang untuk berkreasi dan kreatif. Ternyata peluang itu dapat muncul dari hal-hal yang berada di sekeliling kita. Peluang berasal dari hal-hal yang sederhana. Peluang dapat diperoleh dari gaya hidup orang lain. Melihat kenyataan ini, mari! Janganlah berputus asa! Masih banyak jalan keluar yang belum dijajaki.

Senin, 07 April 2008

CREATIVE WRITING (BAGIAN KEDUA)

CREATIVE WRITING (BAGIAN KEDUA)

Masih dalam buku yang sama; Creative Writing, A.S. Laksana dalam bab kedua menulis dengan judul "Anda Hanya Perlu Action, Itu Saja!"

Dalam bab kedua ini, Mas A.S. Laksana membuka dengan tulisan mengenai seorang remaja yang sedang jatuh cinta menjadi produktif menulis. Remaja ini menjadi produktif menulis puisi. Berbagai kata indah terangkum sinergi membentuk kalimat-kalimat yang semerbak mewangi. Seorang mahasiswa yang juga sedang jatuh cinta akan mampu membuat berbagai makalah atau tugas kuliah untuk orang yang sedang diincarnya.

Kedua orang ini akan berubah menjadi pemabuk, bila cinta mereka ditolak.

Pada alenia selanjutnya, Mas A.S. Laksana meluruskan kedua sikap di atas. Seharusnya orang menulis dalam suasana hati apapun. Apakah sedang jatuh cinta, patah hati, sedih atau gembira. Bahkan ketika tidak sedang memiliki ide.

Mas A.S. Laksana menjelaskan persepsi kekeliruan masyarakat sekarang bahwa ide itu akan datang dengan sendirinya. Beliau mengatakan bahwa penulis hebat tidak akan berdiam diri, menyepi untuk memperoleh sebuah ide.

Pendapat ini juga pernah disampaikan oleh seorang penulis wanita yang bernama Clara Ng. Dalam suatu acara di layar kaca, Clara ditanya, "Apakah untuk mencari ide Mbak Clara harus menyepi terlebih dahulu?" Mbak Clara menjawab, "Seorang penulis haruslah orang yang gaul dan bukannya menyepi."

Menurut Mas A.S. Laksana ide itu dipancing, ditangkap dan dikembangkan. Menulis apa saja adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide.

Saya setuju dengan pendapat ini. Karena saya pernah mencobanya. Saya mencoba memilih 3 kata secara acak. Dari 3 kata ini, saya mencoba sebuah tulisan. Setelah tulisan itu selesai, ternyata tulisan tersebut tidak memancing keluarnya sebuah ide. Saya coba sekali lagi, juga dengan pilihan 3 kata secara acak. Tulisan pun selesai, namun sepertinya ide belum juga muncul. Hingga suatu saat; masih dengan cara yang sama, ide itu muncul. Dari 3 kata menjadi satu alenia. Dan sekarang sudah menjadi sekitar 40-an halaman. Dari 3 kata ini, terbayang sebuah plot/kerangka karangan secara garis besar. Oleh karena itu, tulislah apa saja!

Jika ide menjadi penghalang kita untuk menulis, Eka Budianta dalam bukunya yang berjudul "Menggebrak Dunia Mengarang", pernah membuat suatu analogi. Analoginya begini; bagi anak kecil segala sesuatu dapat menjadi mainan. Bagi orang dewasa atau penulis segala sesuatu dapat menjadi tulisan.

Oleh karenanya, kita hanya perlu action itu saja! Ide bukan merupakan penghambat untuk menulis. Suasana bete', bad mood, sedih, broken home atau broken heart juga bukan merupakan penghalang untuk menulis. Malah seharusnya semua suasana hati ini dijadikan pemicu, dijadikan sebuah ide untuk menulis!

Jika ingin dapat berenang, kita harus berenang, harus mencebur ke kolam renang, sungai atau ke laut.

Kalau ingin dapat piawai dalam beladiri, maka dia harus latihan. Baik latihan perminggu maupun latihan perhari.

Selamat menulis! Tetap semangat menulis!

BERSAMBUNG

KE ARNAB20.MULTIPLY.COM

Selasa, 01 April 2008

ADZAN SUBUH YANG MEMBINGUNGKAN

ADZAN SUBUH YANG MEMBINGUNGKAN

Saya terkejut. Jarum jam baru menunjukkan pukul 03.40, tapi adzan Subuh telah dikumandangkan. Padahal seingat saya, adzan Subuh jatuh pada pukul 04.40 atau 04.41, pendek kata pk 05.00 kurang. Tapi kenapa di tanggal 31 Maret 2008 ini, adzan Subuh dikumandangkan pukul 03.40?
Adzan yang dikumandangkan tidak pada waktunya dapat menyesatkan orang. Pasalnya, kaum muslimin menunaikan shalat di luar waktu shalat. Padahal syarat sah shalat adalah shalat di saat waktu shalat telah tiba.
Memang ada sebuah kisah yang menceritakan tentang seseorang yang mengumandangkan adzan shalat di luar waktu shalat.
Kisah ini merupakan kisah seorang penjahit yang gagah berani. Kisah ini berjudul “Tongkat ini milik siapa[1]
Penjahit itu mulai bercerita, "Dulu, kami mempunyai seorang tetangga. Dia seorang penguasa dari Turki. Dia termasuk pembesar negara dan seorang laki-laki yang tampan. Pada suatu hari, seorang perempuan cantik lewat di depannya. Perempuan itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan pakaian yang indah, namun agak pendek. Dalam keadaan mabuk pemuda Turki itu menghampiri wanita tadi. Dia menginginkan wanita tersebut. Kemudian pemuda itu memasukkan wanita itu ke dalam rumah pemuda tersebut. Wanita itu menolak dan melawannya. Dia berteriak dengan suara tinggi, "Wahai kaum muslimin! Saya adalah wanita yang telah memiliki suami. Laki-laki ini menginginkan diri saya memaksa saya masuk ke dalam rumahnya. Suami saya telah bersumpah/mengancam akan mentalak saya, jika saya bermalam di rumah laki-laki lain. Ketika saya bermalam di sini, berarti secara otomatis saya sudah ditalak olehnya. Kehinaan akan menghinggapi diri ini. Kehinaan yang tidak dapat hilang bersama berjalannya waktu dan tidak dapat bersih dengan air mata."
Penjahit itu berkata, "Saya pergi menghampirinya. Saya mencelanya dan ingin mebebaskan wanita itu darinya. Pemuda itu memukul kepala saya dengan tongkat yang ada di tangannya. Sehingga kepala saya menjadi terluka. Wanita itu berhasil ditundukkan, lalu pemuda itu kembali memasukkan wanita tersebut ke dalam rumahnya secara paksa. Kemudian saya pulang ke rumah. Saya membersihkan darah yang terdapat di kepala dan membalut kepala saya dengan perban. Saya mengimami masyarakat menunaikan shalat isya. Selesai shalat, saya berkata pada jamaah shalat isya, "Kepala ini terluka karena ulahnya, mari kita hampiri dia. Kita cela perbuatannya dan kita bebaskan wanita itu darinya."
Kemudian orang-orang berangkat bersama saya, menyerang rumah pemuda itu. Kami berhadapan dengan sekelompok orang kaki tangan dari pemuda itu. Mereka membawa tongkat. Mereka memukul orang-orang yang datang bersamaku. Salah seorang dari mereka datang menghampiri saya dan memukul saya hingga luka parah. Pemuda itu dan kaki tangannya berhasil mengusir kami dari halaman rumahnya. Kami kalah.
Kemudian saya pulang ke rumah. Saya tidak memperoleh jalan keluar permasalahan ini. Karena luka saya cukup besar dan darah yang keluar cukup banyak. Saya terbaring di atas tempat tidur, tapi saya tidak dapat tidur. Saya menjadi bingung, apa yang harus saya lakukan. Bagaimana caranya agar saya dapat menyelamatkan wanita itu dari pemuda tersebut, sehingga wanita itu dapat kembali ke rumahnya. Bagaimana caranya agar wanita tersebut tidak dijatuhi thalaq oleh suaminya, kelak.
Saya mendapatkan ilham dan akan mengumandangkan adzan Subuh di tengah malam. Sehingga pemuda itu menyangka bahwa subuh telah datang. Dengan demikian diharapkan, pemuda itu mengeluarkan wanita tersebut dari rumahnya dan wanita itu dapat pulang ke rumah suaminya. Maka saya naik ke atas menara. Saya memperhatikan pintu rumah pemuda itu. Seperti biasa, saya menyampaikan beberapa patah kata sebelum adzan dikumandangkan. Apakah saya melihat wanita itu keluar dari rumah?
Kemudian saya mengumandangkan adzan, namun wanita itu tetap saja tidak keluar. Jika wanita itu tetap tidak keluar, saya akan mengumandangkan qamat hingga waktu subuh tiba. Saya kembali memperhatikan, apakah wanita itu telah keluar atau belum? Namun tiba-tiba jalan penuh dengan para penunggang kuda dan pasukan. Mereka bertanya, "Mana orang yang telah adzan di saat seperti ini?"
Saya menjawab, "Saya." Saya ingin mereka menolong saya mengalahkan pemuda itu."
Mereka berkata, "Turun!"
Saya turun dari menara. Mereka berkata, "Penuhilah panggilan amirul mukminin.” Maka mereka membawa saya ke hadapan amirul mukminin. Ketika saya melihat amirul mukminin duduk di singgasananya, tubuh saya gemetar. Saya amat takut. Dia berkata, "Mendekatlah!” Kemudian saya mendekatinya. Dia kembali berkata, "Tenangkan hatimu, tidak usah takut."
Dia terus berusaha menenangkan diri saya. Hingga akhirnya, saya menjadi tenang. Rasa khawatir saya telah lenyap. Dia berkata, "Apakah engkau yang telah mengumandangkan adzan di tengah malam ini?"
Saya menjawab, "Benar, ya Amirul mukminin."
Amirul Mukminin kembali bertanya, "Apa yang membuat dirimu mengumandangkan adzan di tengah malam ini. Padahal malam masih panjang?! Engkau telah menipu orang yang berpuasa, para musafir, orang yang menunaikan shalat dan yang lainnya.
Saya bertanya, "Apakah amirul mukminin akan mempercayai saya, jika saya menceritakan suatu kisah?!"
Amirul mukminin menjawab, "Saya mempercayaimu."
Saya menceritakan kisah itu padanya. Mendengar cerita itu, dia amat marah. Amirul mukminin segera memerintahkan untuk menghadirkan penguasa Turki dan wanita itu, apapun keadaannya. Mereka berdua segera datang. Amirul memulangkan wanita itu pada suaminya. Dengan ditemani beberapa orang wanita kepercayaan Amirul Mukminin, wanita itu pulang ke rumah suaminya. Amirul mukminin meminta agar suami wanita itu mau memaafkannya dan berbuat baik padanya, karena wanita itu dipaksa. Selanjutnya beliau menghadapi pemuda itu dan bertanya padanya, "Berapa banyak rezki yang telah engkau terima? Berapa banyak harta yang engkau miliki? Berapa banyak engkau mempunyai tetangga dan istri?" Kemudian pemuda itu menyebutkan sesuatu dalam jumlah yang banyak.
Amirul mukminin berkata, "Celaka kamu. Bukankah Allah telah mencukupimu dengan berbagai nikmat-Nya. Namun mengapa engkau melanggar kehormatan Allah. Engkau telah melampaui batas ketentuan Allah. Engkau telah berani pada penguasa. Engkau telah memukul kepala seorang pria. Padahal pria itu memerintahkan segala yang hak dan mencegah perbuatan mungkar. Lalu engkau memukulnya, menghinakannya, bahkan membuatnya terluka? Pemuda itu tidak berani menjawab. Amirul mukminin memerintahkan agar kaki pemuda itu diikat. Demikian pula dengan lehernya. Kemudian diperintahkan agar pemuda itu dimasukkan ke dalam karung. Penjahit itu diperintahkan untuk memukul dengan tongkat dengan pukulan yang amat keras. Dipukul hingga mati. Setelah itu diperintahkan untuk dibuang ke sungai Dijlah. Itulah akhir perjalanan hidupnya.
Kemudian amirul mukminin memerintahkan kepala polisi untuk mensita semua kekayaan dan harta yang diperoleh pemuda –yang penguasa itu- dari baitul mal. Amirul mukminin berkata kepada pria shalih –si penjahit itu-, "Setiap saat engkau melihat kemungkaran apakah kecil maupun besar, termasuk seperti kejadian ini, -sambil menunjuk pada kepala polisi- maka beritahulah saya, jika saya sedang berada di dekat sini. Namun jika saya berada di tempat yang jauh, maka kumandangkanlah adzan, kapan saja atau di saat seperti sekarang ini."
Penjahit itu berkata, "Oleh karena itulah, setiap saya memerintahkan salah seorang penguasa (baik gubernur, bupati, pentj), niscaya mereka akan mentaatinya. Jika saya melarang mereka, niscaya mereka meninggalkannya, karena mereka takut pada Mu'tadhidh. Sekarang, saya tidak perlu lagi mengumandangkan adzan seperti malam itu.”
Apakah adzan yang kudengar itu merupakan isyarat telah terjadi suatu kemungkaran dan muadzinnya membutuhkan pertolongan untuk membasmi kemungkaran itu? Wallahu ‘alam bish shawab.

[1] Kisah ini merupakan salah satu kisah diantara kisah-kisah lainnya. Kisah ini diambil dari buku yang berjudul “Kisah Orang-orang zalim” karya Muhammad Abduh, terbitan Republika

Jumat, 28 Maret 2008

LUAAR BIASA

Hari ini tanggal 28-03-2008, aku mendengar dan menyaksikan sebuah berita di salah satu stasiun televisi. Di berita itu dijelaskan ada sekelompok orang yang mencari nafkah dengan mengais-mengais sampah. Semua benda yang dapat dimanfaatkan, dipilih, diambil dan dibersihkan. Salah satu benda yang dipilih adalah plastik. Gelas bekas wadah air mineral, botol bekas wadah air minum termasuk benda yang dipilih. Setelah dipilih, semua plastik itu, digunting atau dipotong hingga membentuk selembar plastik. Botol misalnya, digunting dari mulut botol hingga lapisan botol yang paling bawah dan dibuka hingga berbentuk lembaran plastik. demikian plastik-plastik lainnya. Setelah itu, platik-plastik tersebut dibersihkan dan dicuci hingga bersih. Proses selanjutnya adalah dijemur dan dilanjutkan dengan penimbangan.

Reporter TV swasta itu bertanya, "Berapa kg plastik yang diperoleh selama 1 minggu?" Pemulung itu menjawab, "5 ton."
"Berapa harga plastik per-kg nya?"
"1 kgnya dihargai dengan Rp 5000,-"
Sang reporter terkejut, "Waaah! Berarti dalam seminggu bisa mengantongi uang sebanyak Rp 5 juta."

Benda lain yang dikumpulkan adalah besi, termasuk seng, tong bekas dan sejenisnya. Reporter itu kembali bertanya, "Berapa kg besi yang dikirim dalam satu kiriman?"
"8 ton hingga 10 ton."
"Berapa banyak uang yang diperoleh dalam tiap kg-nya?"
"Sekitar ribuan."
Kembali reporter itu terkejut, "Waaah! Berarti dalam sekali kirim bisa mengantongi uang sebanyak jutaan."

Besi yang dikumpulkan itu dijual ke pabrik-pabrik. Plastik-plastik yang dijual untuk di daur ulang, mungkin dijual ke pabrik pula.

Coba perhatikan! Pekerjaan mereka nampaknya memalukan, menjijikkan, tidak memiliki prestise, tidak keren. Tapi, lihat penghasilan mereka. Penghasilan mereka mungkin lebih besar dari penghasilan kita. Oleh karena itu, janganlah kita menilai seseorang dari kulit luarnya saja! Begitu kata-kata yang biasa diucapkan oleh Tukul.

Saya punya tetangga seorang pedagang sayuran. Penghasilannya diperoleh dari menjual sayur-sayuran, ikan, daging, pendek kata segala kebutuhan makanan atau masakan ibu-ibu rumah tangga. Apa yang membuat saya kagum? Salah satu anaknya telah berhasil lulus dari perguruan tinggi.

Tetangga saya yang lain bekerja sebagai buruh bangunan. Tapi apa yang membuat saya kagum? Salah satu anaknya telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Luaaar biasa.

Jika kita perhatikan jenis pekerjaan orang-orang di atas, kita mungkin berkesimpulan bahwa pekerjaan yang mereka geluti adalah pekerjaan kasar. Mungkin diantara kita yang berpendidikan enggan untuk menjalani pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Banyak alasan yang mereka ajukan. Tidak sesuai dengan pendidikanlah, tidak prestise lah atau alasan yang bermula dari salah persepsi tentang pekerjaan kasar. Persepsi mereka bahwa pekerjaan kasar hanya menghasilkan pendapatan yang kecil.

Pendapatan yang kecil terkadang menjadi alasan seseorang untuk tidak menjalani suatu jenis pekerjaan. Dia lebih memilih untuk menganggur daripada bekerja dengan pendapatan yang kecil. Padahal Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Muadz ra. tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu'adz. Beliau bersabda, "(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah swt."

Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh puasa atau shalat. " Kemudian beliau ditanya, "Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Bekerja mencari nafkah penghidupan." (HR Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah)

Kedua keterangan di atas menunjukkan bahwa yang terpenting adalah bekerja. 2 keterangan di atas menunjukkan hanya mendorong kita untuk bekerja, tidak membicarakan masalah pendapatan yang diperoleh dari bekerja. Jadi yang terpenting tetap bekerja daripada bekerja tetap. Setelah itu barulah kita pikirkan mengenai besarnya penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang kita geluti.

Senin, 17 Maret 2008

HARGA KASIH SAYANG

Harga Kasih Sayang......
Gaji Papa Berapa?Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuahperusahaan swasta terkemuka diJakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidakseperti biasanya, Sarah,putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SDmembukakan pintu untuknya.Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama."Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil menciumanaknya.Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang danbaru terjaga ketikaia akan berangkat ke kantor pagi hari.Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga,Sarah menjawab, "Akununggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sihgaji Papa ?""Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uanglagi, ya ?""Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat."Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papabekerja sekitar 10 jam dandibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung22 hari kerja. Sabtudan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur.Jadi, gaji Papa dalam satubulan berapa, hayo ?"Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari mejabelajar sementaraPapanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. KetikaAndrew beranjakmenuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlarimengikutinya. "Kalo satuhari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berartisatu jam Papa digajiRp.40.000,- dong" katanya."Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur"perintah AndrewTetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikanPapanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uangRp. 5.000,- enggak ?""Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa mintauang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah"."Tapi Papa..."Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !"hardiknya mengejutkanSarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia punmenengok Sarah dikamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur.Sarah didapati sedangterisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,-di tangannya.Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu,Andrew berkata,"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buatapa sih minta uangmalam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kanbisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nantiaku kembalikan kalausudah menabung lagi dari uang jajan selama mingguini"."lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut."Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa mainular tangga. Tigapuluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papaitu sangat berharga.Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku,hanya ada Rp. 15.000,-tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp.40.000,- maka setengah jamaku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabungankukurang Rp. 5.000,-makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.Andrew pun terdiam. ia terdiam kehilangan kata-kata.Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaanharu. Dia barumenyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikanselama ini, tidak cukupuntuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

KISAH INI DARI FEB FEMALE

Sabtu, 15 Maret 2008

SAMA TAPI BEDA

Kita sering melihat banyak orang. Perbuatan mereka bermacam-macam. Pendapat mereka bermacam-macam. Diantara yang bermacam-macam itu, terdapat perbuatan dan pendapat yang sama. Tapi coba kita renungkan, adakah landasan, motivasi mereka sama?

Seorang politikus -menjelang Pemilu- yang memberi bantuan kepada anak yatim, apakah sama dengan seorang muslim yang ikhlas memberi bantuan kepada anak yatim; walau hanya dengan Rp 10 ribu ?

Kapitalis Barat mengatakan bahwa mereka menghargai sebuah musyawarah dan dalam Islam pun terdapat musyawarah. Tapi, apakah keduanya sama? Tidak!!! Musyawarah yang diusung oleh ideologi Kapitalis berlandaskan ide sekularisme; ide memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Sedangkan Islam tidak seperti itu. Agama tidak pernah dipisahkan dari kehidupan dan negara.

Coba bayangkan kalau kaum muslimin menganut ide demokrasi. Padahal inti dari ide demokrasi adalah menyerahkan pembuatan peraturan, UU kepada manusia atau wakil rakyat. Padahal kita diajarkan untuk mengembalikan segala urusan hanya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Bagaimana kalau UU atau peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan Islam? Pernah baca penjelasan mengenai surat At-Taubah ayat 31?

Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang Nasrani menyembah para pendetanya. Orang-orang Yahudi menyembah para rahibnya. Salah seorang sahabat Rasulullah yang ex Nasrani -Adi bin Hatim ra.- protes kepada Rasulullah, "Orang-orang Nasrani tidak menyembah para pendetanya kok!" Rasulullah bersabda, "Para pendeta ahli kitab mengharamkan segala yang dihalalkan oleh Allah. Mereka juga menghalalkan segala yang diharamkan oleh Allah. Kemudian para penganutnya mengikuti pendapat para pendeta itu. Itulah arti penyembahan orang-orang Nasrani dan Yahudi."

Amerika seringkali bertindak, campur tangan terhadap negara lain dengan dalih perdamaian dunia, keamanan dunia. Tapi nyatanya. Dengan campur tangannya, Amerika dapat membuat pangkalan militer di daerah Timur Tengah, Amerika dapat kompensasi minyak/gas dari negara yang "dibantu".

Coba bayangkan kalau Amerika mempunyai pangkalan militer di luar wilayahnya? Bagaimana kalau pangkalan militer itu berada di wilayah kaum muslimin, kemudian terjadi peperangan antara Amerika dengan kaum muslimin? Sementara itu, Amerika menyerang kaum muslimin dari pangkalan militer itu?

Berhati-hatilah pada perbuatan atau pendapat musuh-musuh Islam yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Hati-hatilah pada opini yang dikembangkan barat (baca musuh Islam). Apa latar belakang/ide opini dan pendapat mereka?

Kamis, 13 Maret 2008

KECILKU DI BULAN RAMADHAN

PENGALAMAN KECILKU DI BULAN RAMADHAN
Oleh: Arya Noor Amarsyah Bustamam
arnabgaizir@yahoo.co.id

Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana kami sekeluarga menjalani hari-hari di bulan Ramadhan. Rumah kami terletak diantara stasiun Manggarai dengan stasiun Hias Rias Cikini. Namun rumah kami lebih dekat ke stasiuan Manggarai. Terletak di antara kedua stasiun itu, bukan berarti rumah kami terletak di tengah-tengah rel. Rumah kami terletak di pinggir rel kereta api. Maka tidak heran, bila teman-temanku datang ke rumah, mereka akan merasa terganggu. Berisik katanya. Lokasi rumah kami tepatnya terletak di belakang gedung Perintis Kemerdekaan. Itu lho, tempat dibacakannya teks Proklamasi. Jika para pembaca berjalan-jalan ke gedung yang terletak di jalan Proklamasi ini, maka para pembaca dapat mengetahui bahwa di bagian belakang gedung Perintis Kemerdekaan itu terdapat jalan rel kereta api. Rel kereta api yang menghubungkan stasiun Manggarai dan stasiun Hias Rias Cikini. Nah, di sekitar itulah dulu kami tinggal.
Aku anak sulung dari dua bersaudara. Usiaku terpaut dua tahun dengan adikku. Kami berdua sama-sama ‘jagoan’ alias anak laki-laki. Kami biasa berdua. Pergi sekolah bersama, berangkat bersama untuk mengikuti kegiatan pramuka dan sudah tentu kami sering berkelahi. Senjata andalan adikku dalam berkelahi adalah menggigit. Namun namanya anak kecil, cepat bertengkar dan cepat pula berdamai.
Ada suatu peristiwa yang membuatku takut dan jera berkelahi dengan adikku. Dalam suatu perkelahian, aku pukul hidung adikku. Hidungnya berdarah. Rasa sayangku padanya begitu mendominasi diriku, sehingga timbullah rasa iba dan penyesalan yang tiada bertepi. Mulai saat itu, aku menjadi jera untuk berkelahi dengannya.
Walau kami sering berkelahi, namun kami kompak di bulan Ramadhan. Aku tidak ingat lagi mulai usia berapa kami berpuasa. Yang kuingat, kami tidak pernah merasakan puasa setengah hari. Makanya, ketika adzan maghrib berkumandang, kami segera berlarian. Maklum, anak kecil sedang kelaparan.
“Dug, dug, dug. Allahu Akbar…..Allahu Akbar!
“Bedug!” teriak kami.
Kami sama-sama berlari menuju pintu pagar dan terus berlari hingga ke bagian belakang rumah. Kami berlari menuju ke ruang makan. Memang rumah kami tidak terlalu besar. Hanya saja, rumah kami memanjang ke belakang. Bagian depan adalah areal yang biasa digarap oleh ibuku. Ibu membuat kebun kecil-kecilan. Berbagai macam tanaman ada di sana, termasuk sebuah pohon sirsak. Bagian selanjutnya adalah teras dan diikuti dengan ruang tamu. Di belakang ruang tamu terdapat kamarku dan adikku. Kami berada di kamar yang sama. Kami tidur di tempat tidur bertingkat. Aku di atas dan adikku di bawah. Di belakang kamarku ada kamar ayah dan ibuku. Nah, di belakang kamar inilah terdapat ruang makan. Ruang makanlah yang menjadi tujuan kami, ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang. Seolah kami sedang berlomba lari. Lomba lari jarak 100 m. Tanda dimulainya lomba ini bukanlah letusan pistol, tapi suara bedug dan adzan maghrib. Garis finish-nya adalah ruang makan. Begitu sampai di ruang makan, sirup yang sudah tersedia, langsung kami ‘sikat’. Kolak ubi pun tidak dapat bertahan lama. Dalam sekejap, 1 gelas kolak kami ‘gasak’.
Sesaat setelah kami shalat maghrib dan makan; aku, adikku dan seorang tetangga langsung berangkat ke masjid Sunda Kelapa. Jarak antara rumah kami dan masjid Sunda Kelapa cukup jauh, kurang lebih 2,5 km hingga 3 km. Karena itulah, kami berangkat secepat mungkin. Kami bertiga; aku, adikku dan tetanggaku yang bernama Sahono berangkat menuju ke masjid. Semuanya mengenakan celana pendek, dengan sarung dililit dipinggang dan sebuah sajadah kami genggam atau kami letakkan di atas pundak.
Kami berjalan sejajar dengan rel kereta api. Selanjutnya, masuk jalan seukuran gang. Melintasi Gg. Anyer 17 dan 16 dan terus berjalan hingga ke ujung gang. Sesampainya di ujung gang, kami memasuki jalan yang lebih besar. Jalan yang bisa dilalui oleh mobil. Namun, karena jalan tersebut buntu di ujung gang tadi, maka jarang sekali mobil yang melalui jalan itu. Jika pun ada mobil yang lalu lalang, itu berarti mobil milik penghuni di sekitar situ atau tamu dari penduduk daerah itu.
Kami bertiga terus menyusuri jalan itu. Berjalan melintasi Gg. Anyer III, Anyer II, Anyer I. Terus berjalan hingga sampai di ujung jalan. Di ujung jalan itu, berdirilah sebuah Sekolah Lanjutan Pertama, SLTP VIII namanya.
Bagaimana para pembaca? Terbayangkah oleh para pembaca jarak yang cukup jauh? Tapi bagi kami walaupun masih SD, jarak sejauh itu tidak menjadi masalah. Ayah biasa mendidik kami hidup prihatin. Kami biasa berjalan kaki, bila ke rumah nenek yang terletak di jalan Ungaran. Aku, adikku dan ayah terkadang berjalan kaki ke rumah mak ‘ngah (kakak perempuan dari ibu) yang terletak di jalan Kenari.
Namun perjalanan menuju masjid Sunda Kelapa tidak sampai di situ. Kami memasuki jalan Mangunsarkoro. Terus berjalan dengan dua kali menyeberangi jalan raya. Hingga akhirnya, kami sampai di masjid Sunda Kelapa.
Masjid Sunda Kelapa termasuk masjid yang cukup besar di Jakarta. Masjid ini memiliki halaman berumput yang cukup luas dan halaman tidak berumput yang juga cukup luas. Bangunan masjidnya sendiri terletak di bagian atas. Untuk sampai di ruang utama, kita harus melewati beberapa buah anak tangga. Ruang utama berada di tengah dan diapit oleh ruang selasar/beranda yang terletak di kanan kirinya. Kami biasanya shalat di selasar bagian kanan.
Di selasar bagian kanan itu, sudah menunggu 3 orang teman kami bahkan terkadang 6 orang teman. 3 orang teman itu terdiri adalah 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Arief. Dia teman sekelasku. Sedangkan kedua adiknya tidak setingkat dengan adikku, namun kami semua bersekolah di tempat yang sama. 3 orang lainnya lagi, juga 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Danny. Dia juga teman sekelasku. Sedangkan adiknya merupakan teman sekelas adikku. Danny bersaudara ini juga bersekolah di tempat yang sama dengan kami. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya suasana shalat Tarawih, bila semuanya berkumpul.
Ada saja yang membuat kami bercanda di saat shalat Tarawih. Mulai dari meneriakkan kata ‘aamiin’ dengan tidak wajar, bersenggol-senggolan dalam shalat, hingga tertawa-tawa dalam shalat. Sampai pada suatu ketika, kami ditegur oleh penceramah Tarawih saat itu. Pembaca ingin tahu, siapa penceramah Tarawih saat itu?? Penceramah Tarawih saat itu adalah Bung Tomo. Itu lho, pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya. Dengan suaranya yang berwibawa, beliau bertanya pada kami, “Apakah kalian yang tadi berisik ketika shalat Tarawih sedang berlangsung?”
“Ya, benar,” jawab kami sambil mengangguk tertunduk.
Keesokkan harinya, kami tetap menunaikan shalat Tarawih. Namun kali ini tidak disertai dengan ‘aksi ribut kami’. Kami menunaikan shalat Tarawih dengan tenang. Seusai menunaikan shalat Tarawih, bung Tomo menemui kami kembali. Tapi kali ini bukan untuk menegur kami. Beliau menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang, sebagai imbalan karena kami tidak melakukan aksi ribut. Itulah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.
Usai menunaikan shalat, kami semuanya pergi menuju ke bagian sekretariat masjid Sunda Kelapa. Sebagai anak SD, kami ditugaskan oleh guru agama untuk meminta tanda tangan penceramah dan stempel masjid. Tanda tangan penceramah dan stempel masjid ini merupakan bukti bahwa kami telah menunaikan shalat Tarawih. Berapa kali dalam bulan Ramadhan kami menunaikan shalat Tarawih, semuanya dapat dilihat dalam lembaran yang diberikan oleh guru agama. Dalam lembaran ini terdapat beberapa kolom. Kolom hari pertama hingga hari terakhir bulan Ramadhan, judul ceramah, tanda tangan penceramah dan stempel masjid.
Ketika sampai di sekretariat masjid, kami berebutan meminta tanda tangan. Karena tidak hanya dari sekolah kami saja yang diberi tugas oleh guru agama. Banyak sekolah lain yang juga ditugasi oleh guru agamanya. Banyak tangan terangkat pada saat itu memegang selembar kertas.
“Pak saya dulu pak!”
“Pak saya dulu pak!” teriak yang lain.
Penceramah Tarawih atau orang yang mewakilinya dikelilingi oleh puluhan anak-anak SD. Tidak ubahnya dengan seorang pencopet yang sedang dikeroyok oleh massa. Atau tidak ubahnya remah makanan yang dirubungi semut.
Setelah dewasa, terkadang aku berpikir. Mengapa aku dan adikku dapat menempuh jalan yang sebegitu jauh? Belum lagi dilanjutkan dengan aktivitas shalat yang juga menguras tenaga? Apakah karena mendapat tugas dari guru agama? Atau karena lainnya?
Setelah dipikir-pikir, jawabannya satu. Segala perbuatan -betapapun beratnya- yang dilakukan dengan senang hati, suka cita dan penuh keikhlasan, tidak akan terasa memberatkan. Hanya saja ada perbedaan dalam pengertian senang hati dan suka cita. Senang hati dan suka cita di saat kecil berawal dari bercanda. Sedangkan senang hati dan suka cita di saat dewasa berangkat dari keikhlasan karena Allah (itulah yang selalu kita upayakan).
Kalau malam hari diisi dengan shalat Tarawih, lain halnya siang hari di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan di masa kecilku dulu merupakan hari-hari libur. Walhasil, tidak ada satupun kegiatan sekolah yang kami lakukan. Apa yang kami lakukan di pagi atau siang hari di bulan Ramadhan? Salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan pada saat itu adalah menyewa komik. Ada komik serial si Tolol karya Djair, ada komik serial Mandala karya Man dan komik-komik lainnya. Biasanya serial komik-komik itu berjilid-jilid. Sehingga untuk menghabiskan satu judul komik, cukup memakan waktu. Bila sedang membaca komik, lapar dan haus sepertinya tidak dirasa. Jadi, berpuasa di siang hari tidak terasa melelahkan. Kalau lelah, kami tinggal tidur.
Bagi kami, kegiatan membaca bukanlah hal yang membosankan. Karena kedua orang tua kami, terutama ayah adalah seorang kutu buku. Seorang yang gemar membaca. Kalau para pembaca melihat koleksi buku ayah kami, mungkin akan terkagum-kagum. Banyak sekali koleksi buku ayah kami, ratusan jumlahnya. Suatu jumlah yang menurutku cukup banyak. Selain itu, aku dan adikku sering dibelikan komik, novel Lima Sekawan dan buku-buku lainnya. Sehingga membaca juga menjadi hobi kami.
Nampaknya gemar/hobi membaca perlu ditumbuhkan. Sehingga anak-anak, tunas-tunas muda tidak hanya melulu disuguhi oleh berbagai macam jenis games. Games bukan suatu hal yang tidak berguna, namun membaca juga tidak kalah pentingnya.
Bila sore hari telah tiba, saat-saat menjelang maghrib semakin dekat. Namun tidak berarti aku dan adikku dapat bersantai menunggu maghrib sambil menonton televisi. Bulan Ramadhan biasanya identik dengan sirup, batu es dan kolak. Berbuka puasa tanpa es sirup seperti kurang lengkap rasanya. Oleh karena itu, aku atau adikku diberi tugas untuk membeli es batu. Pada saat itu, kulkas atau lemari es masih merupakan barang yang mewah. Orang yang memiliki lemari es masih bisa dihitung. Jadi jika mau es batu, kita harus membelinya di depot-depot es.
Pukul 16.00 atau 16.30 adalah waktu yang tepat untuk berangkat membeli es batu. Untuk mencapai depot es terdekat, aku harus menempuh jalan sekitar 150 - 200 m.
Dengan membawa satu buah kantong plastik, aku berjalan menuju depot es yang terletak di jalan Tambak. Udara yang tidak terlalu panas dan terkadang disertai dengan buaian angin sepoi-sepoi, membuatku tidak merasa berat memikul tanggung jawab ini. Dengan langkah seperti orang yang tidak berpuasa, aku pun sampai di depot es itu. Kalau sedang beruntung, aku dapat segera mendapatkan esnya. Namun jika agak terlambat datang ke depot es, maka peminatnya akan semakin banyak. Itu berarti, persaingan untuk mendapatkan es juga semakin ketat. Bila ini terjadi -bahkan sering terjadi-, berebut untuk minta dilayani terlebih dahulu terciptalah. Aksi saling mendorong pun terkadang ikut mewarnai.
Setelah berhasil memperoleh sebongkah es batu, aku pun pulang dengan riang. Riang karena berhasil mengalahkan beberapa orang rival dan riang menyambut datangnya bedug adzan Maghrib.
Tulisan ini kubuat sebagai media diriku dan adikku untuk mengucapkan rasa hormat dan beribu-ribu terima kasih kepada kedua orang tua kami. Kedua orang tua yang telah mendidik dan menyayangi kami semenjak kecil. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami. Dan, semoga Allah menyayangi mereka, sebagaimana mereka menyayangi kami semenjak kecil. Aamiin.

TULISAN INI BERHASIL MASUK 10 BESAR DAN MENDUDUKI PERINGKAT KETUJUH

Rabu, 06 Februari 2008

TIKUS VS TIKUS

TIKUS VS TIKUS

Engkau kugenggam di saat aku sedang berada di hadapan monitor komputer. Bentukmu yang mungil dapat kugenggam sepenuh telapak tangan. Engkau dapat diatur sesuai dengan kehendakku. Jika kugerakkan ke kanan, maka engkau akan turut. Bila digerakkan ke kiri, maka engkau seolah menjawab "sami'na wa atha'na" yang artinya kami mendengar dan kami taat. Seandainya kuarahkan ke atas, maka engkau akan menurut dari belakang. Engkau amat membantu sekali diriku. Mari kupernalkan siapa dirimu. Perkenalkan temanku yang setia……… dia adalah mouse. Tapi di hari itu, engkau nampaknya cocok sekali menyandang ungkapan "mouseku sayang, mouseku malang". Engkau telah digigit oleh bentuk aslimu, tikus si kurang ajar! Kakimu (baca kabel) menjadi putus.

Mungkin jika engkau dapat bicara, engkau akan berkata kepada tikus, "Jangan! Jangan engkau gigit aku. Kasihan majikanku. Nanti dia tidak dapat bekerja lagi." Teriakan si mouse tidak dipedulikan oleh si tikus.

Setelah itu, nasibmu menjadi berubah. Engkau dimarah-marahi. Engkau tidak lagi mematuhiku. Aku perintahkan ke kanan, engkau hanya diam. Aku suruh ke kiri, engkau hanya termenung saja. Akhirnya, engkau menjadi sasaran kekesalanku. Pada saat itu, aku belum tahu bahwa engkau telah terluka. Terluka karena digigit tikus.

Walaupun aku bisa tetap mengoperasikan komputer tanpa kehadiranmu, namun tetap saja sahabat-sahabatmu masih membutuhkanmu. Si keyboard merasa kurang PD menggantikan tugasmu. Tuts tab sepertinya tidak dapat bergerak selincah dirimu.

Namun kini, penggantimu telah datang. Mouse dari jenismu juga, yaitu mouse tipe sereal. Bukan mouse produk masa kini. Ternyata mencari mouse yang se-tipe denganmu cukup sulit. Aku mendatangi beberapa toko, namun mereka tidak menyediakan tipe itu. Entah berapa usia tipe sereal itu. Tapi yang pasti, usia tipe ini -termasuk dirimu- lebih tua dari tipe-tipe masa kini. Semoga engkau tenang di sana bersama kedua saudaramu yang terdahulu, wahai mouseku sayang, mouseku malang.

Jumat, 01 Februari 2008

BANJIR

Musim hujan telah tiba dan banjir ikut menyusul. Ada yang mengatakan bahwa banjir bermula karena sistem drainase (saluran air) yang buruk. Bukan merupakan berita yang baru, jika komplek-komplek perumahan mengalami kebanjiran, karena sistem drainasenya buruk. Tidaklah hal yang baru bila pihak berwenang yang mengetahui luas daerah resapan air yang harus dipertahankan dan tidak didirikan bangunan di atasnya, malah dilanggar oleh pihak yang berwenang tersebut. Banyak para pengusaha yang sudah mendapat izin untuk menebang hutan, melakukan pelanggaran batas minimal penebangan hutan. Padahal mereka tahu akibat yang dapat ditimbulkannya.
Semua pelaku-pelaku di atas harus bertanggung jawab. Pengembang dan pengusaha real estate harus mempertanggung jawabkan keputusannya. Dia tidak dibenarkan menekan biaya pembangunan rumah dengan cara mengurangi dana untuk pembangunan drainase.
Pemberi izin pendirian bangunan di atas daerah resapan air juga harus bertanggung jawab. Karena dia telah tahu bahwa daerah resapan air itu untuk meresap air hujan agar tidak terjadi banjir dan agar tidak terjadi kekeringan di musim kemarau. Dia juga sudah tahu bahwa curah hujan tidak menentu. Jika batas minimal curah hujan saja tidak diperhitungkan, bagaimana bila curah hujan setiap tahunnya meningkat?
Para pengusaha yang mendapat izin menebang hutan juga harus bertanggung jawab. Sudah berapa banyak korban yang jatuh. Di saat orang harus kehilangan tempat tinggal, kekurangan makanan dan mengungsi, namun mereka menari di atas penderitaan itu.

Minggu, 20 Januari 2008

MENCOBA MEMAHAMI FAKTA RIZKI

Jika kita memperhatikan dengan baik, kita akan memperoleh sebuah pelajaran. Lagu-lagu Opick, baru dikenal lebih dekat, setahun sesudah lagunya diperkenalkan oleh salah satu TV swasta Indonesia. Waktu itu, potongan lagu Tombo Ati-nya diperdengarkan setiap perpindahan acara. Potongan lagu itu diputar pada bulan Ramadhan. Cuma itu saja. Tapi setahun kemudian album Opick itu menembus angka yang fantastis. Bahkan bersaing dengan angka penjualan album salah satu band papan atas Indonesia.
Band Letto juga demikian. Band ini pada mulanya tidak dikenal. Bahkan menurut pengamatan saya (pendapat pribadi), ketika band Letto disandingkan oleh band-band papan atas Indonesia, nampak vokalisnya kurang percaya diri. Namun ketika lagu band ini dijadikan soundtrack untuk 2 sinetron sekaligus, album mereka meledak. Band Letto menjadi terkenal setelah sinetron Wulan dan Intan muncul.
Band Matta juga salah satu band yang juga mengalami pengalaman yang sama. Band ini dikenal setelah lagu Ketahuannya akrab ditelinga. Padahal album mereka yang salah satunya berisi lagu Ketahuan telah keluar setahun sebelumnya.
Aktor HIM Damsyik pernah ditanya oleh sebuah siaran TV swasta Indonesia dalam sebuah wawancara, "Bagaimana ceritanya bapak dapat bermain film dalam film Jepang?"
HIM Damsyik menjawab, "Pada suatu ketika saya dapat kiriman e-mail yang isinya menawarkan saya untuk bermain dalam film Jepang. Usut punya usut ternyata pihak Jepang pernah melihatnya dalam film Indonesia, ketika dia berperan sebagai Datuk Maringgih."
Benar apa yang diucapkan oleh sahabat Rasulullah Saw, Ali bin Abu Thalib ra.. Ali bin Abu Thalib pernah berucap, "Ar-Rizqu Rizqaani. Ar-Rizqu tathlubuhu war rizqu yathlubuka." Artinya, "Rizki itu terdiri dari dua. Rizki yang engkau cari dan rizki yang mencarimu."

MENJAGA SEMANGAT MENULIS

Sebagai seorang penulis, kita ingin tulisan kita dimuat. Baik di harian, majalah atau mungkin diterbitkan oleh sebuah penerbit. Ingin dimuat karena mengharapkan bayaran yang diperoleh dari tulisan. Ingin dimuat karena ingin tahu sejauh mana kwalitas tulisan kita. Itulah diantara yang ada di pikiran para penulis. Bila tulisan dimuat, kita merasa bahwa tulisan kita bagus atau tulisan kita layak dibaca oleh khalayak ramai. Bila tulisan tidak dimuat, kita akan merasa kesal, kita akan merasa bahwa orang tidak mengerti bahwa tulisan kita bagus dan layak dibaca orang lain. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, sudah menyelesaikan tulisan dan berkesimpulan bahwa tulisan yang kita kirim itu merupakan karya terbaik kita. Tapi kenyataan lain, tulisan kita tidak dimuat atau tidak diterima oleh penerbit. Kita tidak perlu bersedih hati, tidak perlu merasa putus asa. Jangan sampai semangat menulis kita menjadi mengendur karena tulisan tidak pernah diterima. Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa kita tidak dapat menulis. Buktinya, tulisan kita tidak pernah dimuat. Dari sekian banyak tulisan yang kita kirim tidak satupun yang diterima.
Mengapa demikian? Berapa banyak para penulis terkenal dan banyak menghasilkan karya-karya bestsellernya harus diawali oleh berbagai penolakan. Penulis AA Navis, misalnya. Tulisan dia sudah sering ditolak dan tulisan yang ke 100nya lah yang baru diterima. Sidney Sheldon, contoh lainnya. Dia pernah merasa putus asa, karena tulisannya tidak pernah dimuat. Dia telah mengirim lusinan cerpennya ke berbagai media massa, namun tulisannya dijawab dengan penolakkan secara tertulis. Saya pernah mendengar bahwa tulisan kang Habiburrahman al-Shirazy juga pernah ditolak. Buku Ayat-ayat cinta-nya pernah ditolak oleh sebuah penerbit. Namun ternyata, novel ini diterima oleh penerbit lain dan menjadi best seller. Penulis buku Harry Potter juga pernah mengalami hal yang serupa. Karyanya ini ditolak oleh penerbit. Namun ketika diterima, ternyata novel Harry Potter menjadi bestseller.
Contoh di atas merupakan pelajaran penting bagi para penulis, calon penulis. Pelajarannya adalah penilaian orang sifatnya relatif. Tulisan kita yang sudah dimuat, belum tentu dinilai bagus oleh harian atau penerbit yang lain. Ada yang mengatakan bahwa tulisan kita tidak layak jual, namun ada pula yang mengatakan tidak layak jual. Sekali lagi penilaian orang itu relatif!
Jika kita pernah kecewa, sedih dan kecil hati, karena tulisan kita ditolak, maka penerbit akan menyesal karena pernah menolak karya kita. Karena di kemudian hari, ternyata -insya Allah- tulisan kita menjadi best seller. Tetap semangat menulis!

Jumat, 11 Januari 2008

MENGAPA MENULIS?

MENGAPA MENULIS?

Dahulu sewaktu di SD, mengarang merupakan pelajaran yang menyebalkan. Mengapa? Karena setiap aku mengarang selalu saja merasa tidak mampu. Aku selalu membuka karangan dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’. Seolah sebuah karangan wajib dimulai dengan ungkapan ini. Begitulah yang tergambar dalam benak anak SD pada saat itu. Karena alasan tidak mampu inilah, aku menjadi tidak senang mengarang.
Image tentang mengarang ini terus bersemayam dalam benakku. Hingga pada suatu ketika, image itu berubah. Aku menjadi percaya diri untuk menulis. Pada saat itu, aku telah lulus kuliah dan pesantren mahasiswa. Aku membaca berbagai tulisan hasil karya teman-temanku. Bukan terpampang di majalah dinding sekolah dan bukan pula di majalah dinding masjid. Karya mereka dimuat di sebuah harian umum yang cukup terkenal. Tulisan mereka dimuat pada kolom yang terletak di halaman muka harian tersebut.
Aku coba membacanya dari awal hingga akhir. Selesai membaca, terlontar sebuah ungkapan dari mulutku, “Kalau seperti ini, aku juga bisa. Kalau seperti ini, aku juga tahu.” Begitulah ungkapan yang keluar setiap usai membaca karya teman-temanku. Dari sinilah, image karangan yang selalu diawali dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’, mulai terkikis dari benakku. Aku mulai mencoba merumuskan cara teman-temanku menulis. Aku ikuti jalan pikiran mereka, hingga aku merasa yakin dan muncul tekad di dalam diriku, “Gue bisa!” (wush sorry, bukan bermaksud untuk iklan).
Mulai saat itulah, aku mulai menulis dan dikirimkan ke kolom harian yang sama. Biasanya tulisan itu mengenai agama Islam dan dikaitkan dengan hal-hal yang ada di sekitar. Mulai dari pentingnya waktu, kehormatan wanita yang telah dilecehkan, sikap individualis di bulan Ramadhan dan sebagainya. Banyak sudah tulisan yang aku kirim, mungkin ada 20-an. Namun, tidak satu pun yang pernah dimuat. Aku tidak pernah berputus asa, kucoba lagi dan kucoba lagi. Aku coba periksa satu persatu tulisan-tulisan itu. Aku coba ikuti jalan pikiranku pada saat itu. Aku berkesimpulan, tulisanku cukup baik. Bahkan beberapa tulisanku sesuai/tepat dengan kondisi yang ada. Pernah pada suatu ketika, aku menulis mengenai kehormatan wanita. Beberapa hari setelah tulisan itu dikirim, muncul pembicaraan mengenai kehormatan wanita. Pada saat itu, menteri peranan wanita masih dijabat oleh ibu Tutty Alawiyyah (maaf kalau ejaannya salah). Ini suatu contoh bahwa selain tulisanku mengikuti alur logika pembaca, namun tulisanku juga berbicara mengenai topik yang sedang hangat.
Perlu pembaca ketahui, pada saat itu aku masih bisa dikatakan menganggur. Penghasilan hanya kuperoleh dari mengajar privat. Aku mengajar hanya 2 kali dalam seminggu. Walhasil, aku banyak mempunyai waktu kosong. Waktu itu kuisi dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, maka doronganku untuk menulis semakin kuat.
Pernah suatu ketika, aku mencoba memahami masalah krisis moneter alias krismon. Memang pada saat itu, topik ini sedang hangat-hangatnya. Akibat nilai dollar tinggi, maka nilai mata uang rupiah menurun. Efeknya semua produk yang menggunakan komponen import menjadi mahal. Banyak pabrik atau perusahaan yang gulung tikar. Ada pula perusahaan yang bergabung alias marger. Harga krupuk yang tadinya Rp 100 menjadi Rp 200. Perusahaan properti banyak yang menghentikan pembangunan perumahannya. Walhasil, banyak toko bangunan yang kehilangan pembelinya. Penghasilan buruh bangunan juga menjadi macet. Secara umum, daya beli masyarakat menjadi rendah.
Setelah memahami ini semua, aku coba kaitkan dengan pengetahuan yang kumiliki. Diantaranya adalah ayat Al-Qur’an yang melarang adanya penimbunan harta/uang atau biasa diistilahkan dengan Kanzul Mal. Ayat yang kumaksud adalah surat At-Taubah ayat 34. Di dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dengan ancaman yang pedih. Mengapa larangan ini mencakup larangan untuk menimbun uang? Karena di masa Rasulullah, mata uang terbuat dari emas dan perak. Coba andaikata seluruh pengusaha tidak menimbun uangnya, tentu akan tercipta lapangan pekerjaan. Itu berarti pemasukan masyarakat akan meningkat dan daya beli mereka ikut meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi akan semakin maju.
Dari pemahaman kondisi yang ada dan dikaitkan dengan pemahaman Islam yang kumiliki, maka keadaan ini mendorongku ingin menulis. Aku coba untuk membendungnya. Dengan cara kubawa tidur, namun apa yang terjadi? Aku merasa didorong-dorong untuk menumpahkan semua yang kumiliki ke dalam tulisan. Aku coba tuangkan tulisan itu dan kukirimkan ke sebuah majalah Islam. Namun tetap saja, tidak dimuat.
Setelah menjadi karyawan, aku tetap menulis. Namun kegiatan menulisku tidak se produktif sebelumnya. Karena sibuk bekerja, maka waktuku untuk membaca menjadi berkurang. Akibatnya, ide untuk menulis terasa berkurang.
Aku coba membanting stir. Dari tulisan mengenai agama, aku coba menulis mengenai hal-hal yang lucu. Aku mengirim kisah nyata memalukan, lucu bahkan sedikit konyol. Mulai dari pengalamanku sewaktu pramuka di SD, kisah malang motorku, kisah HP temanku, kisah motorku malang dan lain sebagainya. Tulisan ini kukirim ke harian yang sama. Namun sekali lagi, tulisan-tulisan itu tidak berhasil dimuat.
Walau tidak dimuat, aku merasa puas. Aku merasa mampu untuk menulis. Berbeda sekali bila dibandingkan, bila dibandingkan (eit! bukan saatnya nyanyi dangdut nich!) dengan kemampuan mengarangku sewaktu SD. Aku mempunyai rasa percaya diri dalam menulis. Jika tulisan-tulisanku belum dimuat, itu hanya sekedar kurang hoki saja. Begitulah pikiranku.
Rasa percaya diri membuatku selalu ingin menulis. Hingga pada suatu ketika, aku kembali menganggur. Hanya saja saat ini, keadaannya berbeda. Aku menganggur dalam keadaan ‘PD’ untuk menulis. Aku buat sebuah tulisan lucu mengenai pengalaman pribadi. Apa yang terjadi? Para pembaca ingin tahu?? Jangan kemana-mana, tunggu setelah yang satu ini!
Tulisanku dimuat! Tulisanku dimuat harian terkenal! Senang, bangga, dapat membanggakan orang tua dan yang jelas aku semakin percaya diri. Ternyata tulisanku layak untuk dimuat, layak untuk dibaca oleh khalayak ramai.
Setelah kembali bekerja, aku tetap menulis. Aku ikuti berbagai lomba penulisan. Hingga saat ini, sudah 3 lomba penulisan yang kuikuti dan menjadi 4 dengan tulisan ini.
Para pembaca yang budiman……… Pengalaman ini, aku harapkan dapat menjadi pelajaran. Mulai dari kecil yang tidak suka menulis, karena merasa tidak mampu. Beranjak dewasa, mulai menyukai menulis, karena merasa mampu menulis mengikuti jejak teman-teman. Dorongan menulis akan semakin kuat, bila banyak membaca. Hingga berani mengikuti lomba penulisan.
Mungkin dari faktor-faktor inilah, akan timbul berbagai alasan kita untuk menulis. Karena merasa mampu menulis, maka kita menulis. Karena banyaknya bacaan dan pengetahuan yang telah dimiliki, maka memaksa kita untuk menulis.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan lomba@menulismudah.com