Jumat, 26 November 2010

Peradaban Islam Perintis Geologi Modern

Menelusuri sumbangan peradaban Islam di era keemasan terhadap ilmu pengetahuan seakan tak pernah ada habisnya. Di zaman kejayaannya, para ilmuwan Muslim ternyata telah berjasa mengembangkan geologi modern: sebuah cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah perkembangannya.

Geologi mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim di zaman kekhalifahan. Sebab, studi tentang bumi itu memiliki kegunaan dan manfaat yang sangat tinggi. Geologi mampu membantu peradaban manusia dalam menemukan dan mengatur sumber daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal, seperti besi, tembaga, emas, dan uranium.

Selain itu, studi yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti asbestos, perlit, mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika serta elemen lainnya, termasuk belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat Islam telah mampu menemukan ladang minyak, besi, emas, dan lainnya.

Ilmuwan Barat, Fielding H Garisson, menyatakan bahwa studi geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya yang berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan, "Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar, kimia, dan geologi, tapi juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban."

Abdus Salam (1984) dalam Islam and Science menyatakan bahwa Abu Al Raihan Al Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslim perintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern. Secara mendalam, ilmuwan Muslim abad ke-11 M itu menulis geologi India. Al Biruni melontarkan sebuah hipotesis bahwa anak benua India awalnya adalah sebuah lautan.

''Jika Anda melihat tanah India dengan mata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya adalah laut,'' papar Al Biruni dalam Book of Coordinates. Ia juga menuturkan, keberadaan kerang dan fosil di wilayah negeri Hindustan menunjukkan kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering.

Berdasarkan penemuannya itu, Al Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang. Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal. Teori bumi tak kekal yang dilontarkan Al Biruni itu berlawanan dengan keyakinan ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal.

Al Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para geolog modern akhirnya membuktikan pendapat itu dengan menyatakan bahwa usia bumi yang diperkirakan sekitar 4,5 miliar (4,5x109) tahun.

Ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina (981-1037 M), juga turut memberi kontribusi yang amat penting bagi studi geologi. Avicenna--begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya--menamakan geologi sebagai Attabieyat. Dalam bab lima ensiklopedia berjudul Kitab al Shifa, Ibnu Sina menjelaskan mineralogi dan meteorologi.

Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara perinci dan lugas, Ibnu Sina membahas pembentukan gunung, manfaat gunung dalam pembentukan awan, sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi, pembentukan mineral-mineral, serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi.

Pemikiran Ibnu Sina tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat jasa Avicenna-lah masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep katastropisme (bencana besar), serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu Sina juga banyak memengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M.

Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield (1965) menjelaskan sumbangsih yang diberikan Ibnu Sina bagi studi geologi modern. "Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang asal muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,'' papar Toulim dan Goodfield.

Tak cuma itu, metodologi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern. Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam surat Alhijr ayat 19, Allah SWT berfirman, "Dan, Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran."

Dalam surat Annahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman, "Dan, Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu. (Dan, Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk." Ayat-ayat inilah yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji studi geologi.

Sumbangan lainnya yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir Ibnu Hayyan--saintis pada abad ke-8 M--itu sangat penting dalam kristalogi. Bapak Sejarah Sains, George Sarton, menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga turut berkontribusi dalam geologi.

"Kami menemukan dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah teori pembentukan logam pada lapisan tanah, " papar Sarton. Dalam risalah yang ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur dan merkuri pada keenam jenis logam itu.

Bila kita simak secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak memaparkan gunung, ayat suci Alquran juga membahas tanah. Dalam surat Al A'raaf ayat 58, Allah SWT berfirman, "Dan, tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan, tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur."

Dalam ayat lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah. "Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah." (QS Thaahaa: ayat 6). Allah SWT juga berfirman dalam surat Alkahfi ayat 41, "Atau, airnya menjadi surut ke dalam tanah. Maka, sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi."Demikianlah bukti nyata bahwa Alquran sangat mendorong umat Islam untuk mengembangkan sains. heri ruslan


Karya Para Ilmuwan Muslim untuk Geologi

Pada era keemasan, begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji studi geologi. Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis Islam itu mengkaji tema-tema khusus, seperti mineral, batu-batuan, serta permata. Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi. Berikut ini adalah para ilmuwan yang risalah pentingnya masih tersisa.

Yahya bin Masawaih (wafat 857 M) menulis permata dan kekayaannya.Al Kindi (wafat 873 M) menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang terbaik berjudul Gems and The Likes.Al Hasan bin Ahmad Al Hamdani (334 H) menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas, perak, permata, dan bahan mineral lainnya. Ikhwaan As Safa (pertengahan abad ke-4 H) menulis ensiklopedia yang berisi bagian-bagian minelar serta klasifikasinya.

Abu Ar Rayhan Mohammad bin Ahmad Al Biruni (wafat 1048 M) adalah ahli mineralogi terhebat sepanjang sejarah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al Jamhir fi Ma'rifatil Al Jawahir yang mengupas cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi terbaik yang disumbangkan peradaban Islam bagi studi mineralogi.

Ahmad bin Yousef Al Tifashi menulis kitab Azhar Al Afkar fi Jawahir Al Ahjar yang berisi tentang cara mengenali batu-batu mulia. Mohammad bin Ibrahim Ibnu Al Akfani (wafat 1348 M) menulis buku berjudul Nukhab Al Thakhair fi Ahwaal Al Jawahir. Buku tersebut mengupas karakteristik batu-batu mulia. N hri


Mineralogi dalam Peradaban Islam

Para ilmuwan Muslim di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral.

Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al Biruni dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah peradaban Islam.

Di zaman itu, para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud, serta yang lainnya digolongkan ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu, batu-batu mulia itu menjadi lambang kemewahan raja-raja dan para wanita.

Sumbangan peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam menguasai wilayah-wilayah penting, seperti Mesir, Mesopotamia, India, dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim.

Penulis : hri
REPUBLIKA - Rabu, 10 September 2008
http://www.republika.co.id:8080/berita/38844/Peradaban_Islam_Perintis_Geologi_Modern

Industri Tinta di Dunia Islam

Belajar dan seni memainkan peranan penting dalam sebuah peradaban. Apalagi, di era keemasan Islam, kedua bidang itu mendapat perhatian yang sangat besar dari para khalifah, ilmuwan, seniman, dan masyarakat Muslim. Salah satu faktor yang telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan seni rupa di dunia Islam adalah tersedianya tinta dan zat warna. Tinta dan zat warna merupakan bahan yang sangat penting untuk menopang aktivitas keilmuan dan seni rupa.

Karena itulah, umat Muslim di zaman kekhalifahan memberi perhatian khusus terhadap ketersediaan tinta dan zat warna. Perkembangan industri tinta dan zat warna direkam secara khusus oleh Al-Muzz Ibnu Badis (wafat 416 H/1025 H) dalam bukunya bertajuk, Umdat Al-Kuttab (Buku tentang Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif). Peradaban Islam memang bukanlah yang pertama menemukan tinta dan zat warna.

Menurut catatan sejarah, perabadan Cina telah menemukan tinta untuk menghitam - kan permukaan gambar dan tulisan yang terpahat pada batu sekitar 5.000 tahun yang lalu. Mereka membuat tinta dari campuran jelaga dari asap kayu cemara, lampu minyak, dan jelatin dari kulit binatang serta darah yang dibekukan. Ada pula yang menyebutkan, tinta telah digunakan peradaban India Kuno pada abad ke-4 SM. Hal itu terungkap dari sebuah naskah kuno India, Kharosthi, yang ditemukan para arkeolog di wilayah Turkistan Cina, sekarang Provinsi Xinjiang. ‘’Resep pembuatan tinta telah ditemukan 1.600 tahun lalu,’‘ ungkap Sharon J Hutington.

Will Kwiatkowski dalam bukunya berjudul, Ink and Gold: Islamic Calligraphy, menuturkan, produksi tinta di dunia Islam telah dimulai pada 1.000 tahun yang lalu. Pada masa itu, tinta digunakan untuk menulis kaligrafi. Produksi tinta sama pesatnya dengan pencapaian dunia Islam di bidang seni kaligrafi. Produksi tinta berkembang di setiap kekhalifahan, seperti Abbasiyah (749-1258), Seljuk (1055- 1243), Safawiyah (1520-1736), dan Mughal (1526-1857).

Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology:An Ilustrated History, mengungkapkan, di era kejayaannya Peradaban Muslim telah mampu memproduksi tinta hitam. Pada masa itu, terdapat dua tipe utama tinta permanen. Pertama, tinta permanen yang dihasilkan dari partikel-partikel halus karbon dan kedua adalah tinta hitam yang berasal dari besi tanat. Menurut Al-Hassan dan Hill, karbon untuk tinta hitam diperoleh dari jelaga berbagai minyak dan lemak, seperti minyak biji rami dan minyak bumi, atau arang giling yang dibuat dari berbagai biji-bijian.

Cara membuat tinta di masa itu begitu khas. Salah satu cara membuat tinta dari jelaga, papar Al-Hassan, dengan menggunakan lampu empat sumbu untuk membakar minyak biji rami. Pada bagian atas lampu, terdapat penutup berbentuk kubah dengan sebuah lubang dan di atasnya terdapat lagi enam penutup serupa membentuk cerobong. Sumbu dinyalakan dan minyak terbakar habis, kemudian jelaga yang terkumpul di dalam cerobong dikumpulkan menggunakan bulu. Selanjutnya, jelaga itu diayak hingga didapat serbuk yang halus.

Pembuatan tinta permanennya juga ada yang menggunakan gom Arab (diperoleh dari tumbuhan sejenis akasia) sebagai bahan pengikat, walaupun glair (dibuat dari kocokan putih telur) dapat dijadikan alternatif. ‘’Tinta lain juga dijabarkan dalam manuskrip Arab, di antaranya tinta biruhitam yang didapatkan dari biji-bijian tertentu dan ferro sulfat yang masih digunakan hingga kini,’‘ ungkap Al-Hassan dan Hill. Zat Warna Dalam bukunya berjudul, Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif, Ibnu Badis juga mengungkapkan keberhasilan umat Islam dalam memproduksi tinta berwarna, cat minyak, dan pernis.

Zat warna seperti ini digunakan dengan pena atau sikat dan digunakan untuk menulis, melukis miniatur pada kertas, kulit, kayu, dan permukaan-permukaan lain. Ibnu Badis, seperti dikutip Al-Hassan dan Hill, memaparkan, pewarna hitam berasal dari karbon yang diperoleh dari jelaga lampu atau arang khusus seperti yang di te - rangkan sebelumnya. ‘’Pewarna putih dihasilkan dari timah (isfidaj), bahkan terkadang dicampur dengan putih tulang,’‘ paparnya. Lalu bagaimana dengan pewarna merah? Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna me - rah yang ditemukan dunia Islam terdapat dalam berbagai nuansa. Unsur pokoknya adalah cinabar (zanifar), kristal merkuri sulfida dan timah merah (isribj) terkadang juga digunakan lempung batu besi yang mengandung lapisan merah.

Lac, resin berwarna merah gelap yang ditanamkan ke batang pohon tertentu oleh serangga lac (laccifer lacca), juga diproses untuk pewarna ini dan petunjuk rinci pembuatannya banyak dipublikasikan. Sementara itu, pewarna kuning diproduksi terutama dari orpiment (zarnikh ashfa) arsenik trisulfida. Menurut naskah Arab, massicot (timah monoksida) sebagaimana saffron bisa digunakan bersama zat warna lain.

Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna biru didapat dari mineral lapis-lazuli. Selain itu, azurit (suatu bentuk tembaga karbonat) dan indigo juga digunakan sebagai pewarna biru. Pewarna hijau diperoleh dari verdigris tembaga karbonat basa (zinjar) dan dari mineral malasit. Untuk nuansa hijau yang lain, termasuk warna tanaman, dibuat dengan mencampur berbagai zat warna. Untuk zat warna cair, kata Al-Hassan dan Hill, dibutuhkan media pengikat yang biasanya dicampurkan dengan zat warna. Pengikat yang paling umum adalah goam Arab. Selain itu, juga digunakan pula pere - kat (terutama perekat kayu/besi) dan glair.

Pada masa itu, cat minyak digunakan untuk menggambar miniatur di buku-buku dan untuk melapisi suatu permukaan seperti kayu. Sebuah manuskrip abad ke-16 M mencatat proses pembuatan cat dan teknik pemakaiannya. Untuk membuat cat minyak, dibutuhkan campuran larutan gom resin sandarak dengan minyak biji rami, kemudian ditambahkan zat warna bersama su ling - an nafta. Semua bahan-bahan itu dicampurkan dan dilarutkan dengan cara dikocok. Selain itu, peradaban Islam juga tercatat berhasil menciptakan pernis. Larutan ini diproduksi untuk melindungi lukisan. Pernis dibuat dengan cara menambahkan pelarut nafta (minyak tahan putih) ke dalam campuran kental sandarak dan mi - nyak biji rami. Larutan itu kemudian di la - burkan ke permukaan yang ingin dilin du- ngi. Begitulah, peradaban Islam memproduksi tinta dan zat warna yang penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni rupa.


Tinta dan Zat Warna Penopang Sains dan Seni

Berkembangnya industri tinta tent - unya berdampak ke bidang lainnya yang berkaitan dengan penggunaan tinta, seperti buku, seni lukis, maupun hiasan tembikar. Dengan adanya tinta, karya- karya tersebut semakin maju pesat. Seni lukis Seni rupa mulai berkembang pesat di dunia Islam mulai abad ke-7 M, salah satunya mencakup seni lukis. Pada abad tersebutlah agama Islam semakin melebarkan sayapnya. Islam tak hanya memasuki wilayah Semenanjung Arab, tapi masuk pula ke Bizantium, Persia, Afrika, Asia, bahkan Eropa.

Para arkeolog dan sejarawan menemukan adanya lukisan dinding, lukisan kecil di atas kertas yang berfungsi sebagai gambar ilustrasi pada buku. Salah satu bukti bahwa umat Islam mulai terbiasa dengan gambar makhluk hidup pa - ling tidak terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661 M -750 M) di Damaskus, Suriah. Hal itu dapat disaksikan dalam lukisan yang terdapat pada Istana Kecil Qusair Amrah yang dibangun pada 724 M hingga 748 M.

Buku Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas dan teknologi pembuatan tinta, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Hal itu terbukti dengan banyaknya jumlah buku yang terbit di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada era itu, minat baca manusianya pun tinggi sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul, Distorted Imagination, menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapain peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Hampir 1.000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam, paparnya. Tembikar Seni pembuatan tembikar atau keramik merupakan salah satu keahlian yang dimiliki para seniman Muslim di era kejayaan. Hampir di setiap wilayah kekuasaan Islam, beragam seni rupa berkembang pesat. Hal ini menandakan bahwa peradaban umat Muslim di zaman itu mengalami masa keemasan. Keramik atau tembikar yang diproduksi para seniman Muslim pun dikenal sangat berkualitas tinggi.

Para seniman Muslim di era kekhalifahan telah membuat beragam bentuk lantai keramik yang digunakan untuk menghiasi dinding dan lantai. Tak cuma itu, para seniman pun membuat beragam barang kebutuhan sehari-hari, seperti cangkir, gelas, piring, mangkuk, botol, dan penampung air dari tembikar. Salah satu faktor yang membuat tembikar dan keramik Islam unik adalah bentuk dan hiasannya. Keramik dengan desain ukiran merupakan salah satu jenis produk yang banyak ditemukan di dunia Islam.

Produksi jenis keramik ini dimulai pada era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ciri-ciri keramik jenis ini memiliki desain geometris atau bentuk-bentuk flora yang dimasukkan dengan cara distempel. Keramik jenis ini dapat ditemukan di Samara, Irak, dan Fustat, Mesir. Tentunya, untuk membuat hiasan tembikar tersebut dibutuhkan tinta atau zat pewarna. Dengan demikian, hiasan tersebut menjadi lebih menarik.



Penulis : c63/desy susilawati
REPUBLIKA - Selasa, 27 Januari 2009
http://koran.republika.co.id/berita/41353/Industri_Tinta_di_Dunia_Islam

Imam Bukhari Cahaya dari Bukhara

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan meng atur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya.

Amirul Mukminin fil Hadits, gelar itu didaulatkan para ulama kepada ahli hadis dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Tak salah bila ulama besar di abad ke-9 M ini ditabalkan sebagai ‘Pemimpin Kaum Mukmin dalam Ilmu Hadis’. Betapa tidak, hampir seluruh ulama merujuk kitab kumpulan hadis sahih yang di - su sunnya.

Para ulama juga bersepakat, Al Jami’ as Sahih atau Sahih Al Bukharikumpulan hadis sahih sebagai kitab paling otentik setelah Alquran. Sahih Al Bukhari yang disusun ulama legendaris asal ‘kota lautan pengetahuan’Bukharaitu juga diya kini kalangan ulama Sunni sebagai literatur hadis yang paling afdol.

Sang ulama fenomenal itu mendedikasikan hidupnya untuk menyeleksi secara ketat ratusan ribu hadis yang telah dihafalnya sejak kecil. Karyanya yang sangat monumental itu bak cahaya yang telah menerangi perjalanan hidup umat Islam. Ribuan hadis sahih telah dipilihnya menjadi pedoman hidup umat Islam, sesudah Alquran. Ulama besar dan ahli hadis nomor wahid ini memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mughirah Ibnu Bardizbah Al Bukhari. Ia lebih dikenal dengan nama tanah kelahirannya, Bukhara. Dan, masyarakat Muslim pun biasa memanggilnya Imam Bukhari.

Pemimpin kaum Mukminin dalam ilmu hadis itu terlahir pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H, bertepatan dengan 20 Juli 810 M. Sejak kecil, Imam Bukhari hidup dalam keprihatinan. Alkisah, ketika terlahir ke dunia, Bukhari cilik tak bisa melihat alias buta. Sang bunda tak putus dan tak tak pernah berhenti berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesembuhan penglihatan putranya.

Sang Khalik pun mengabulkan doadoa yang selalu dipanjatkan ibu Imam Bukhari. Secara menakjubkan, ketika menginjak usia 10 tahun, penglihatan bocah yang kelak menjadi ulama terpandang itu kembali normal. Imam Bukhari sudah akrab dengan ilmu hadis sejak masih belia. Sang ayah, Ismail Ibnu Ibrahim, juga seorang ahli hadis yang terpandang. Ismail merupakan salah seorang murid ulama terpandang, Hammad ibnu Zaid dan Imam Malik. Sang ayah tutup usia saat Imam Bukhari masih belia. Meski hidup sebagai seorang anak yatim yang serba pas-pasan, Bukhari cilik tak pernah putus asa. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, tanpa merisaukan masalah keuangan.

Ilmu hadis telah membetot perhatiannya sejak kecil. Selain belajar Alquran dan pelajaran penting lainnya, ilmu hadis adalah favoritnya. Sejak penglihatannya menjadi normal, dia sudah membaca karya-karya atau kitab hadis yang ada. Bahkan, menginjak usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal karya-karya Waki dan Abdullah Ibnu Al Mubarak. ‘’Sekali saja ia membaca buku, dia sudah hafall isinya,’‘ papar Ibnu Katheer yang terkagum-kagum dengan daya ingat sang ahli hadis.

Daya ingat dan kecepatannya dalam menghafal sungguh tiada dua pada zamannya. Kekuatan intelektualnya sungguh sangat memukau dan menakjubkan. Pada usia 10 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal 70 ribu hadis. Tanpa bermaksud jemawa, Imam Bukhari sempat berkata, ‘’Saya hafal seratus ribu hadis sahih dan saya juga hafal dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.’‘ Ia tak cuma mampu menghafal ratusan ribu hadis, namun juga mampu menyebutkan sanad dari setiap hadis yang diingatnya.

‘’Dia diciptakan Allah SWT seolaholah hanya untuk hadis,’‘ tutur Muhammad bin Abi Hatim mengutip perkataan Abu Ammar Al Husein bin Harits yang terkagum-kagum dengan daya ingat dan kecerdasan Imam Bukhari. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menilai, Imam Bukhari sebagai manusia di muka bumi yang paling kuat ingatannya dalam menghafal hadis.

Menginjak usia 16 tahun, Imam Bukahri bersama ibu dan saudaranya pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Perjalanan pertamanya ke Semenanjung Arab itu dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu hadis. Imam Bukhari pun berkelana dari satu kota pusat pengetahuan ke kota lainnya. Di setiap kota, ia berdiskusi dan bertukar informasi tentang hadis dengan para ulama. Imam Bukhari sempat menetap di sejumlah kota pusat intelektual Muslim, seperti Basrah, Hijaz, Mesir, Kufah, dan Baghdad. Ketika tiba di kota Basrah, penguasa kota itu menyambut dan mendaulatnya untuk mengajar. Kedatangannya di Baghdadibu kota pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyahjuga mendapat perhatian dari para ulama dan petinggi kota itu.

Sepuluh ulama hadis di kota itu pun mencoba menguji kemampuan dan daya ingatnya dalam menghafal sabda Rasulullah SAW. Para ulama itu lalu menukarkan sanad dari ratusan hadis. Dalam sebuah pertemuan, para ulama itu lalu menanyakan hadis-hadis yang telah ditukar-tukar sanad-nya itu. Namun, Imam Bukhari mengaku tak mengenal hadis yang ditanyakan para ulama Baghdad itu.

Lalu, ia membacakan hadis-hadis itu dengan sanad yang benar. Para ulama Baghdad pun terkagum-kagum dengan kecerdasan dan ketelitian sang ahli hadis. Ujian serupa juga dilakukan para ulama di berbagai kota yang disinggahinya. Dan, ujian itu berhasil dilaluinya dengan baik.

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan mengatur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya. Demi memurnikan dan mencapai hadis-hadis yang paling otentik dan sahih, ia berkelana ke hampir seluruh dunia Islam, seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, serta Irak.

Dengan penuh kesabaran, ia mencari dan menemui para periwayat atau perawi hadis dan mendengar langsung dari mereka. Tak kurang dari 1.000 perawi hadis ditemuinya. Hingga kahirnya, Imam Bukahri menguasai hampir lebih dari 600 ribu hadis, baik yang sahih maupun dhaif. Perjalanan mencari dan menemukan serta membuktikan kesahihan hadis-hadis itu dilakukannya selama 16 tahun.

Setelah sekian lama mengembara, ia lalu kembali ke Bukhara dan merampungkan penysunan kitab yang berisi kumpulan hadis sahih berjudul Al Jami’ Al Sahih. Kitab hadis yang menjadi rujukan para ulama itu berisi 7.275 hadis sahih. Pada usia 54 tahun, dia berkunjung ke Nishapur, sebuah kota di Asia Tengah. Di kota itu, Imam Bukhari diminta untuk mengajar hadis. Salah seorang muridnya adalah Imam Muslim yang juga terkenal dengan kitabnya Sahih Muslim.

Imam Bukhari lalu hijrah ke Khartank, sebuah kampung di dekat Bukhara. Para penduduk desa memintanya untuk tinggal di tempat itu. Imam Bukhari pun tinggal di Desa Khartank hingga tutup usia pada usia 62 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 256 H/ 870 M. Meski telah meninggal 13 belas abad yang lalu, namun cahaya dari Bukhara itu tak pernah padam dan terus menerangi kehidupan umat Muslim.

Metode Seleksi Hadis Ala Imam Bukhari
Imam Bukhari pantas disebut sebagai ilmuwan dan ulama yang profesional. Betapa tidak. Dalam meneliti, menyeleksi, serta menetapkan hadis sahih dari ratusan ribu hadis yang dihafalnya, Imam Bukhari melakukannya dengan sangat hati-hati. Untuk mendapatkan akurasi, ia melakukan perjalanan ke negaranegara Islam dengan menemui hampir 1.000 perawi hadis. Secara sabar, ia mendengarkan para perawi itu.

‘’Saya susun kitab Al Jami `Ash Shahihini di Masjidil Haram, Makkah, dan saya tidak mencantumkan sebuah hadis pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah SWT, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis itu benar- benar shahih,’‘ ujar Al-Finbari, salah seorang murid Imam Bukhari, mengutip pernyataan gurunya. Di masjid bersejarah itulah, Imam Bukhari mulai menyusun buku kumpulan hadisnya yang sangat monumental. Dasar pemikiran dan bab demi bab Sahih Al- Bukahri disusunnya secara sitematis di Masjidil Haram.

Sedangkan, pembukaan serta pokok-pokok bahasannya ditulisnya di Rawdah Al Jannahsebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi, Madinah. Pengumpulan, seleksi, dan penempatan hadis sahih dalam kitab Sahih Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan modern sehingga hadishadisnya dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk mendapatkan hadis yang benar-benar otentik, secara serius Imam Bukhari meneliti dan menyelidiki para perawai-nya. Tak cuma itu, Imam Bukhari pun melaku perbandingan hadis. Satu hadis dengan hadis lain dibandingkan. Ia lalu menguji dan mempertimbangkannya secara ilmiah untuk memutuskan mana yang paling sahih. Keontetikan hadis yang disusun Imam Bukhari sudah sangat terbukti dan teruji. Para ulama sepakat, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Al Jami `ash Shahihmemiliki tingkat kesahihan yang paling utama.

Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari dalam melacak dan meneliti kesahihan sebuah hadis tak lepas dari bimbingan para gurunya. Beberapa ulama yang berpengaruh dalam kehidupan keilmuwan sang legendaris itu antara lain: Dhihaak Ibnu Mukhlid; Makkee Ibnu Ibraheem Khadhalee; Ubaidullah Ibnu Moosaa Abasa; Abdul Quddoos Ibnu Hajjaaj; dan Muhammad Ibnu Abdullaah Ansaaree.

Profesionalitas yang ditunjukkan Imam Bukhari juga menetes pada murid-muridnya. Begitu banyak muridnya yang menjadi ahli ilmu hadis yang terkenal dan terkemuka. Mereka adalah Turmudzi, Imam Muslim, Nasa’i, Ibrahim Ibnu Ishaq Al Harawi, Muhammad Ibnu Ahmad Ibn Dulabi, dan Mansur Ibnui Muhammad Bazduri.

Penulis : hri
REPUBLIKA - Kamis, 04 September 2008
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/03/19/38840-imam-bukhari-cahaya-dari-bukhara

Al-Ma'Mun Khalifah Penyokong Ilmu Pengetahuan

Al-Ma'mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat.

Di era kepemimpinannya, Ke khalifahan Abbasiyah menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di Barat hingga Tem bok Besar Cina di Timur. Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya.
Khalifah Abbasiyah ketujuh yang meng antarkan dunia Islam pada puncak penca paian itu bernama Al-Ma’mun. Ia di kenal sebagai figur pemimpin yang dianuge rahi intelektulitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.
Berkat inovasi gagasannya yang brilian, Baghdadibu kota Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dunia. Sang khalifah sangat menyokong perkembangan aktivitas keilmuan dan seni. Perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan sang ayah, Khalifah Harun Ar-Rasyid disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet ilmuwan Muslim yang melegenda.
Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para ilmuwan dari beragam agama untuk datang ke Bait Al-Hikmah. Al-Ma’mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom, ahli hukum, serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan bayaran yang sangat tinggi.
Dengan insentif dan gaji yang sangat tinggi, para ilmuwan itu dilecut sema ngatnya untuk menerjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa seperti Yunani, Suriah, dan San sekerta. Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Al-Ma’mun mengirim seorang utusan khusus ke Bizantium untuk mengumpulkan beragam munuskrip termasyhur yang ada di kerajaan itu untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ketika Kerjaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam. Khalifah Al-Ma’mun secara baikbaik meminta sebuah kopian Almagest atau al-kitabu-l-mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.
Pada era kekuasaannya, beragam peralatan observasi astronomi telah digunakan secara besar-besaran. Proyek penelitian astronomi pun dilakukan di Baghdad di zaman itu. Serangkaian proyek dalam bidang astronomi itu menjadi cikal bakal berdirinya universitas modern atau Madrasah di Baghdad.
Sumbangsih dan dedikasi sang khalifah dalam mengembangkan Astronomi diabadikan dalam sebuah kawah yang bernama Almanon atau Al-Ma’mun. Pemerintahan Al-Ma’mun menerapkan sistem kekuasaan terpusat. Khalifah juga secara berkala melakukan pergantian kepemimpinan di berbagai provinsi yang dikuasai Abbasiyah. Tak heran jika wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah terus meluas. Saat Al-Ma’mun berkuasa, pemberontakan Hidun di Sindh dapat diredam.
Sebagian besar wilayah Afghanistan tunduk pada pemimpin Abbasiyah yang berada di Kabul. Kawasan pegunungan Iran juga dikuasai pemerintahan Abba siyah. Kawasan Turkistan pun mengakui kekuasaan Abbasiyah. Sebagai seorang khalifah, Al-Ma’mun juga turun ke medan perang saat bertempur dengan Kerajaan Bizantium di Asia Kecil. Nyawanya nyaris terenggutsaat memimpin sebuah ekspedisi di Sardis. Ia pun menjadi pemim pin panutan yang dicintai rakyatnya.
Meski begitu, pada masa kekuasaannya para ulama melakukan gerakan penentangan terhadap kebijakan Al-Ma’mun yang menerapkan mihna. Mihna merupakan upaya dari Khalifah Al-Ma’mun pada tahun 218 H/833 M untuk memaksakan pandangan teologisnya. Salah satu kebijakan yang termasuk dalam mihna adalah ujian keagamaan, sumpah setia dan lainnya.
Lalu seperti apa sosok Khalifah Al- Ma’mun itu? Sejarawan Muslim, Al-Tabari menggambarkan sosok Al-Ma’mun sebagai pria yang bertubuh jangkung, tampan, corak kulitnya bercahaya, dan memiliki jenggot yang panjang. Sang khalifah juga dikenal amat dermawan dan pandai berorasi meski tanpa persiapan. Dia juga seorang Muslim yang taat dan pemimpin adil yang hobi berpuisi.
Sejatinya, Khalifah Al-Ma’mun memiliki nama lengkap Abu Jafar Al-Ma’mun bin Harun. Orang Barat memanggilnya dengan sebutan Almamon. Ia terlahir pada 14 September 786 M. Sang khalifah bergelar Abu Al-Abbas. Ayahnya adalah Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sedangkan ibunya adalah seorang bekas budak yang bernama Murajil.
Lantaran sang ibu bukan dari keturanan Abbasiyah, maka pada tahun 802 M sang ayah mewariskan singgasana kekhalifahan kepada puteranya yang lain bernama Al-Amin. Sedangkan, Al- Ma’mun ditunjuk sebagai Gubernur Khurasan dan sebagai khalifah setelah Al- Amin. Setelah sang ayah wafat pada tahun 809 M, hubungan dua bersaudara berlainan ibu itu memburuk.
Konflik itu semakin memburuh setelah Al-Amin yang menjadi khalifah memecat Al-Ma’mun dari posisi gubernur Khurasan. Al-Amin menunjuk puteranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khura san. Al-Ma’mun menganggap keputusan itu sebagai pelanggaran terhadap wasiat sang ayah Harun Ar-Rasyid. Keduanya lalu berperang. Dengan bantuan pasukan Khurasani pimpinan Tahir bin Husain Al-Ma’mun berhasil mengalahkan kekuatan Al-Amin.
Mulai tahun 813 M hingga 833 M, Al- Ma’mun menjadi khalifah. Setelah dua dekade memimpin Abbasiyah, Al- Ma’mun meninggal pada 9 Agustus 833 M di dekat Tarsus. Jabatannya lalu digantikan Al-Mu’tasim. Dedikasi dan kontribusinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hingga tetap diakui sepanjang masa.


Bait Al-Hikmah di Era Sang Khalifah

Sejatinya Bait Al-Hikmahdidirikan pada era kekuasaan Khalifah Harun Ar- Rasyid. Namun, lembaga yang awalnya berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan yang berada di Baghdad itu berkembang pesat di era Kekhalifahan Al-Ma’mun. Pengganti Harun Ar-Rasyid itu mengembangkan Bait Al-Hikmah menjadi sebuah perguruan tinggi virtual pada zamannya.
Lembaga pengetahuan itu pun menjelma menjadi tempat para ilmuwan Muslim mela kukan penelitian dan menimba ilmu. Pada era kekuasaan Al-Ma’mun, Bait Al- Hikmah pun dilengkapi dengan observatorium. Seja rah mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belahan dunia mana pun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Bait Al-Hikmah.
Di Bait Al-Hikmah, segala macam ilmu pengetahuan dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Studi yang berkembang pesat di lembaga itu antara lain; mate matika, astronomi, kedokteran, zoologi, serta geografi. Sebagai khalifah yang dikenal sangat inovatif, Al-Ma’mun meminta para ilmuwan Muslim tak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari peradaban lain saja.
Ia mendorong para ilmuwan Muslim untuk melakirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Upaya itu akhirnya tercapai. Baghdad pun menjelma menjadi kota yang paling kaya raya di dunia dan menjadi pusat pengembangan intelektual pada era itu. Saat itu, penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwapopulasi terbesar saat itu. Selama kepemimpinannya, Bait Al-Hikmah telah melahirkan sederet ilmuwan Mus lim terkemuka di dunia. Beberapa ilmu wan Muslim yang muncul di era kepemimpinan Al-Ma’mun itu antara lain:

Muhammad Ibn Musa Al-Khwarizmi
Al-Khwarizmi adalah matematikus, astronom dan geografer terkemuka di era kepimpinan Khalifah Al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai pendiri beberapa cabang dan konsep dasar matematika. Menurut Sejarawan Barat, Philip K Hittti, Khwarizmi adalah matematikus yang sangat berpengaruh di antara matematikus lainnya di abad pertengahan.
Salah satu kontribusinya yang paling penting dalam matematika adalah Aljabar. Tak heran, bila kemudian Al-Khwarizmi dikenal sebagai ‘Bapak Aljabar’. Kitab yang paling berpengaruh yang ditulisnya adalah Kitab Aljabr. Dia juga berperan dalam menemukan cabang matematika Algoritma melalui kitabnya Hisab Al-Jabr wal Mugabalah.

Al-Kindi
Dia adalah farmakolog, musisi, penulis, filosof, astronom dan kaligrafer terkemuka di era kepemimpinan Kekhalifahan Al- Ma’mun. Al-Kindi ditunjuk Al-Ma’mun untuk memimpin Bait Al-Hikmahdi Baghdad.

Al-Farghani
Ilmuwan Muslim lainnya yang sangat terkenal pada era kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun adalah Al-Farghani. Dia adalah astronom yang sangat dibanggakan Khalifah Al-Ma’mun. Al-Farghani merupakan astronom Muslim yang mengkaji tentang astrolab dan menjelaskan teori matematika dibalik pembuatan astrolab. Sepeninggal Al-Ma’mun, Bait Al-Hikmah masih tetap berjaya di masa kepemim pinan Khalifah Al-Mu’tasim (833 M842 M) dan Khalifah Al-Wathiq (842 M847 M).
Namun, pamor Bait Al-Hikmah kian memudar pada zaman kekuasaan Khalifah Al-Mutawakil (847 M861 M). Meredupnya ‘obor pengetahuan’Bait Al-Hikmahterjadi lantaran Khalifah Al-Mutawakil mela rang berkembangnya paham Mu’tazilah. Dia lebih memilih menerapkan paham Islam ortodok.
Padahal, pada era Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim dan Al-Wathiq paham Mu’tazilah sudah menjadi semacam paham resmi kekha lifahan. Khalifah Al-Mutawakil memutus paham itu lantaran ingin menghentikan perkem bang an filsafat Yunani yang menjadi salah satu alat utama teologi Mu’tazilah.
Bait Al-Hikmahtelah menjelma sebagai sebuah universitas, meski pada waktu itu secara resmi belum dikenal yang namanya perguruan tinggi. Namun, aktivitas pendidik an laiknya perguruan tinggi sudah mulai berlangsung saat itu. Cikal-bakal universitas mulai berkembang di Baghdad pada abad waktu itu. Pada abad ke-11 M, Universitas Al-Nizamiyyah Baghdad didirikan Nizam al-Mulk salah satu universitas pertama dan terbesar di abad pertengahan.


Penulis : hri
REPUBLIKA - Rabu, 23 Juli 2008
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/03/18/38603-almamun-khalifah-penyokong-ilmu-pengetahuan

Geliat Studi Matematika di Maghrib

Ajaran Islam mulai bersemi di wilayah Maghrib - Afrika Utara - pada tahun 642 M. Setelah melalui berbagai ekspedisi penaklukan, seluruh wilayah Maghrib yang meliputi Aljazair, Mesir, Libya, Maroko, Sudan, Tunisia akhirnya berhasil dikuasai Islam pada awal abad ke-8 M. Sejak itulah, di wilayah Maghrib mulai menggeliat aktivitas intelektualitas, salah satunya adalah studi matematika.

Geliat studi matematika yang berkembang di era keemasan Islam di Afrika Utara ternyata hingga kini masih berlangsung. Matematika menjadi salah satu ilmu yang digemari masyarakat Afrika Utara. Saat ini, tercatat terdapat 2.000 doktor matematika yang tersebar di Afrika Utara. Sedangkan di Selatan Sahara terdapat 1.000 matematikus bergelar doktor.

Ali Mostafa Mosharafa tercatat sebagai matematikus Maghrib pertama yang meraih gelar doktor dari University of London pada tahun 1923. Sebagai perbandingan, Indonesia hingga kini hanya memiliki 100 dokter matematika. Jumlah doktor matematika itu dihitung mulai dari Dr Sam Ratulangi. Begitu banyaknya doktor matematika yang terdapat di benua 'hitam' itu menunjukkan betapa masih kuatnya pengaruh geliat studi matematika di era keemasan Islam.

Lalu bagaimanakah studi matematika berkembang pesat di daratan yang dulu termasyhur dengan sebutan Maghrib itu? Prof Ahmed Djebbar seorang guru besar pada University of Sciences and Technologies Lille I di Lille, Prancis dalam tulisannya berjudul Mathematics in the Medieval Maghrib membagi perkembangan matematika di era kejayaan Islam di Afrika Utara ke dalam empat periode.

Periode pertama adalah masa kelahiran dan perkembangan pertama matematika di Maghrib yang berlangsung dari abad ke-9 M hingga 11 M. Periode kedua adalah perkembangan matematika pada era kekuasaan Kerajaan Almohad yang berlangsung dari abad ke-12 M hingga 13 M. Periode ketiga adalah masa lahirnya teori-teori baru matematika di Maghrib pada abad ke-14 M hingga 15 M. Sedangkan, periode keempat adalah perkembangan matematika di Afrika Utara setelah abad ke-15 M.

Menurut Prof Djebbar, lahir dan berkembangnya studi matematika di wilayah Maghrib sangat dipengaruhi perkembangan keilmuan di Andalusia. ''Secara ekonomi, politik dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib pada abad pertengahan memiliki keterikatan dan kedekatan,'' papar ilmuwan yang berkiprah di Laboratoire Paul Painlev, Prancis itu. Terlebih, Muslim Spanyol dan Maghrib memiliki keterkaitan tradisi keilmuan.

Meski secara sosial dan budaya Spanyol Muslim dan Maghrib berbeda, namun keduanya direkatkan oleh akidah yang mereka anut yakni Islam. Sejarawan abad ke-11, Said Al-Andalus, memaparkan pada awal Islam masuk ke Spanyol, penduduk negeri itu sama sekali tak tertarik pada sebuah ilmu. Minat masyarakat Spanyol Muslim terhadap keilmuwan mulai tumbuh ketika Dinasti Umayyah berdiri secara independen di negeri Matador itu.

Perkembangan dan ghirah (semangat) keilmuwan di Spanyol Muslim itu perlahan namun pasti lalu merambat ke wilayah Maghrib. Studi matematika mulai digandrungi masyarakat Muslim di Afrika Utara sejak abad ke-9 M. Pusat studi matematika pertama terdapat di Ifriqiyan atau lebih tepatnya lagi di Kairouan. Pada era itu geliat studi matematika memang masih terbatas di wilayah itu.

Meski masih terbatas, di Maghrib telah muncul matematikus terkemuka seperti Yahya Al-Kharraz dan muridnya Yahya Al-Kanuni (829 M - 901 M). Yahya tercatat sebagai orang Maghrib yang pertama kali menulis buku berjudul Hisba - membahas tentang aturan transaksi perdagangan di pasar. Pada era itu, Maghrib juga memiliki seorang matematikus kondang bernama Shuqrun Ibn Ali - ahli berhitung dan falak dalam ilmu waris.

Buku matematika yang ditulis Shuqrun terbilang fenomenal. Sejarawan Ibnu Khair mengungkapkan buku karya Shuqrun masih tetap dijadikan referensi pengajaran pada abad ke-12 M di sekolah-sekolah yang tersebar di kota Bougie - metropolis ilmu pengetahuan Maghrib Tengah. Sedangkan pada abad ke-9 M, matematikus yang terekam dalam sejarah hanya satu orang, yakni Abu Sahl al-Qayrawani.

Abu Sahl tergolong matematikus perintis di Maghrib. Dia berhasil menulis sebuah kitab yang bertajuk Kita-b fi `l-hisab al-hindi (Buku berhitung India). Di era kekuasaan Dinasti Aghlabid (800 M - 910 M), Kairouan memainkan peranan penting dalam perkembangan matematika. Sejumlah ilmuwan dari Timur hingga Ifriqiya berdatangan ke kota itu untuk mengembangkan aritmatika dan geometri.

Sepanjang abad ke-9 M hingga 11 M, wilayah Maghrib telah menjadi metropolis ilmu pengetahuan. Di era itu, perdagangan buku berkembang pesat, pembiayaan proyek perbanyakan manuskrip mulai semarak, para ilmuwan mulai menadapatkan gaji yang tinggi dan sekolah-sekolah mulai dibangun. Hal itu merupakan salah satu pengaruh eratnya hubungan Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dengan Dinasti Aghlabid.

Dinasti Aghlabid ternyata meniru kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah dalam bidang ilmu pengetahuan. Di wilayah Maghrib pun ternyata di buat lembaga ilmu pengetahuan yang juga diberi nama Bait Al-Hikmahyang didirikan Sultan Ibrahim II (875 M - 902 M). Bait Al-Hikmah di Baghdad berdiri lebih awal yakni ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid (786 M - 809 M) memimpin Dinasti Abbasiyah. Sejak itulah, studi matematika berkembang di wilayah Maghrib.

Memasuki abad ke-10 M, geliat studi matematika di Maghrib kurang terekam dalam sejarah. Saat itu, tercatat beberapa matematikus seperti Al-Utaq Al-Ifriqi (wafat 955 M), Ya`qu-b Ibnu Killis (wafat 990 M) dan Al-Huwa-ri- (wafat 1023 M). Sejarah kembali merekam secara baik aktivitas matematika di Maghrib pada abad ke-11 M. Ada sederet nama matematikus yang muncul pada era itu.

Ibn Abi ar-Rijal (wafat 1034-35 M) tercatat sebagai salah seorang matematikus pada abad itu. Selain itu, juga ada Abu As-Salt (wafat 1134 M). Matematikus lainnya yang mengembangkan matematika di Maghrib adalah `Abd al-Mun`im al-Kindi- (wafat 1043-44 M), Ibnu `Atiya al-Katib (wafat 1016 M). Mereka adalah matematikus yang mengembangkan geometri dan Aritmatika. Begitulah studi matematika berkembang dengan pesat di wilayah Maghrib alias Afrika Utara.

Dari Maghrib untuk Matematika
Al-Qurashi
Nama lengkapnya Abu Al-Qasim Al-Qurashi. Dia adalah matematikus kelahiran Seville, Spanyol. Namun, dia mengabdikan separuh hidupnya di Bougie, Afrika Utara sebagai seorang matematikus. Di abad ke-12 - era keemasan Islam di wilayah Maghrib -- Al-Qurashi terkenal sebagai matematikus yang ahli di bidang Aljabar dan juga pakar ilmu waris.

Jejak hidupnya tak banyak diketahui. Yang jelas, Al-Qurashi meninggal di Bougie pada tahun 1184 M. Meski begitu, kontribusinya dalam pengembangan Aljabar tertoreh dalam tinta emas sejarah perkembangan matematika di Afrika Utara. Salah satu pemikirannya yang paling terkenal adalah komentarnya atas buku yang ditulis matematikus Mesir terkemuka abad ke-10 M, Abu Kamil.

Buah pikir Al-Qurashi dalam Aljabar sangat berpengaruh pada sejumlah matematikus di abad berikutnya, seperti Ibnu Zakariya (wafat 1404 M). Pemikiran Al-Qurashi juga turut mempengaruhi matematikus Ibn al-Banna- (wafat 1321 M) untuk menulis Kitab al-'us ul wa-`l-muqaddimat fi-`l-jabrI [Buku dasar-dasar dan persiapan dalam Aljabar).

Al-Hassar
Shaykh Al-Jama'a ( Pemimpin Masyarakat). Itulah julukan yang diberikan masyarakat Muslim Afrika di era kejayaan kepada matematikus bernama Al-Hassar. Riwayat hidupnya memang tak terekam dalam sejarah. Yang jelas, dia adalah seorang ahli matematika yang mengabdikan dirinya di kota Sebta, Maghrib. Jejak hidupnya hanya terekam dalam dua kitab yang masih tersisa hingga kini.

Pertama kali dia menulis kitab bertajuk Kitab al-bayan wat-tadhkar. Kitab itu merupakan semacam buku pegangan tentang penjumlahan angka-angka, operasi aritmatika terkait bilangan dan pecahan. Buku ini begitu fenomenal, sehingga menempati peranan yang sangat penting dalam sejarah matematika di Afrika Utara.

Buku matematika kedua yang ditulis Al-Hassar berjudul Al-Kita-b al-kamil fi sina `at al-`adad (Buku lengkap tentang seni ilmu berhitung). Buku ini adalah pengembangan dari kitab pertama yang telah ditulisnya. Seperti halnya Al-Qurashi, buah pikir Al-Hassar juga begitu berpengaruh terhadap matematikus lainnya di abad-abad berikutnya.

Ibnu Al-Yasamin
Setelah menimba ilmu matematika di Seville, Spanyol, Ibnu Al-Yasamin mengembangkan pengetahuannya di Maghrib. Matematikus terkemuka di Afrika Utara pada abad ke-12 M itu juga sempat mengambil studi di Marrakech alias Maroko - ibu kota Kerajaan Al-Mohad. Ibnu Al-Yasamin merupakan ilmuwan yang berkulit hitam.

Ia terkenal lewat Urjuza fi- l-jabr (Syair tentang Aljabar). Selain itu, dia juga sukses menulis dua puisi lainnya tentang matematika. Namun, ketimbang tiga puisi yang dihasilkannya, kitab Talqi-h al-afkar bi rushum huruf al-ghubr dinilai para ahli sejarah sebagai hasil karya Ibnu Al-Yasamin yang paling penting baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Kitab yang ditulis Ibnu Al-Yasamin itu tebalnya mencapai 200 halaman. Isinya mengupas tentang ilmu penjumlahan serta geometri. Hasil pemikirannya itu banyak mempengaruhi para ahli matematika Muslim di abad ke-14 M dan 15 M, seperti Ibnu Qunfudh (wafat 1407 M) serta Al-Qalasadi- (wafat 1486 M).

Ibnu Mun`im
Sejatinya Ahmad Ibnu Mun`im terlahir di Denia - pantai barat Spanyol dekat Valencia. Namun, dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Marrakech/ Maroko. Ibnu Mun'im dikenal sebagai spesialis terbaik dalam Geometri dan Teori Ilmu Hitung. Ibnu Mun'im sebenarnya adalah seorang dokter. Namun, dia lebih banyak mengisi waktunya dengan mengembangkan matematika.

Dalam bidang matematika, Ibnu Mun`im telah berhasil mempublikasikan sederet hasil karyanya. Di antra beragam masalah yang dikaji Ibnu Mun'im antara lain; geometri Euclid, penjumlahan, teori ilmu hitung serta pembuatan segi empat besar. Salah satu karyanya yang masih tetap survive hingga kini adalah Fiqh al-hisab (Ilmu Penjumlahan). Uniknya, judul kitab yang ditulisnya tak mencerminkan keberagaman dan kekayaan dari isi bukunya. hri/yto/
http://koran.republika.co.id/berita/507/Geliat_Studi_Matematika_di_Maghrib

Ilmuwan dan Ksatria Fenomenal di Abad XVI

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama kalem-i divani.

Prestasi demi prestasi yang berhasil ditorehkannya begitu fenomenal. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya. Ilmuwan serba bisa yang sangat terpandang di era Kekhalifahan Usmani Turki itu juga turut memberi sumbang - an penting dalam pengembangan matematika, sejarah, geografi, kartografi, teknik, serta kaligrafi. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang ksatria yang jago mengatur taktik perang.

Sultan Sulaiman Al-Qanuni - Khalifah Ottoman yang sangat disegani di seantero dunia pada abad XVI - sangat terkesan dengan kehebatan ilmuwan yang satu ini. Tak heran, jika Sultan Sulaiman menganugerahinya gelar ‘ustad’ dan ‘rais’ kepada ilmuwan dan ksatria yang lihai memainkan beragam senjata itu.

Pamornya kian berkibar, setelah sang kesatria itu menciptakan sebuah permainan strategi perang yang diberi nama ‘Matrak’. Ilmuwan termasyhur di abad ke XVI itu bernama Nasuh bin Karagozz Al-Bosnawi. Berkat permainan yang diciptakannya itu, dia lebih dikenal dengan sebutan Nasuh Matraki Bey. Sejatinya, Matraki berasal dari keluarga Bosnia. Ayah dan kakeknya mengabdi sebagai pegawai pemerintahan Kekhalifahan Ottoman.

Sayangnya, tanggal dan tempat kelahirannya tak diketahui. Matraki menimba ilmu di sekolah istana pada era kekuasaan Sultan Bayezid II (1481 M - 1521 M). Dia banyak berguru kepada Sai Celebi - salah satu guru Sultan Bayezid II. Dia memulai karirnya sebagai seorang ksatria di masa kepemimpinan Sultan Selim I (1512 M - 1520 M).

Pada tahun 1520 M, Matraki memutuskan untuk hijrah ke Mesir. Di negeri piramida itu, ia meningkatkan kemampuannya dalam bidang permainan kemi - literan. Kemampuan Matraki dalam permainan kemiliteran tak ada yang mampu menandingi. Dia diakui sebagai seorang ksatria yang sangat berbakat dalam bidang ini. Matraki juga dikenal sebagai seorang ksatria yang gemar menggunakan topeng dan ahli bermain pedang. Itulah mengapa dia dijuluki ‘Al-Silahi’.

Matraki pun mengajarkan kemampuannya dalam memainkan senjata di Sekolah Enderun. Kemampuannya dalam memainkan senjata telah membuat Sultan Sulaiman Al- Qanuni terpikat. Dalam sebuah acara perayaan khitanan putera sang Sultan, Matraki dan para muridnya mendemonstrasikan kemampuannya dalam seni menggunakan persenjataan. Sultan Sulaiman berdecak kagum dengan kehebatan Matraki. Ia lalu menganugerahinya gelar kehormatan.

Pada acara itu pula, Matraki memperagakan kebolehannya dalam merakit dan membuat senjata. Menyusul keberhasilannya dalam acara perayaan khitanan putera Sultan Sulaeman Al- Qanuni itu, pada tahun 1529 M Matraki juga mampu merampungkan sebuah buku bertajuk Tuhfat Al-Ghuzat. Kitab yang berisi lima bab itu mengupas dan membahas tentang seni menggunakan dan membuat persenjataan. Dalam buku yang dilengkapi dengan ilustrasi itu, Matraki memaparkan cara-cara membuat dan menggunakan panah, pedang, serta tongkat.

Matraki pun memberi informasi seputar taktik-taktik militer dan ksatria. Dia juga memaparkan permainan-permainan perang, pendidikan militer, hingga cara menunggang kuda bagi pasukan kavaleri. Ia juga mengupas tentang taktik berperang bagi pasukan infanteri. Dalam buku yang ditulisnya itu, Matraki juga membuat ilustrasi tentang cara membuat benteng pertahanan bergerak. Pamor Matraki sebagai seorang ilmuwan sekaligus kesatria makin menjulang setelah berhasil menciptakan permainan bernama ‘Matrak’. Dalam bahasa Turki, ‘Matrak’ berarti mengagumkan.

Hingga kini Matrak dikenal sebagai permainan orang Turki. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan tongkat yang biasa disebut cudgel atau rapier. Tongkat yang digunakan untuk permainan ini ditutup dengan ledder - sepintas mirip tiang pancang bowling. Bagian atas tongkat yang digunakan berbentuk bulat dan sedikit lebih lebar dibanding badan tongkat. Permainan yang diciptakan Matraki itu menyerupai pertempuran animasi. Permainan itu dimainkan di atas rumput.

Matraki menciptakan permainan itu sebagai sarana untuk latihan perang. Kemampuannya dalam membuat permainan peperangan itu diperolehnya saat belajar di Mesir pada era kepemimpinan Gubernur Hayr Bey. Tak hanya termasyhur sebagai seorang ksatria, Matraki pun dikenal sebagai seorang miniaturis, kaligrafer, dan seorang pelukis yang ulung. Dia memiliki keahlian yang luar biasa dalam melukis.

Setiap kali ikut dalam ekspedisi penaklukan yang dilakukan Kerajaan Usmani Turki, Matraki tak pernah lupa untuk menggambar dan melukiskan tempat-tempat yang disinggahi pasukan istana. Selain itu, dia juga selalu menjelaskan setiap tempat yang dikunjunginya, mulai dari Istanbul hingga ke Baghdad melewati Tabriz. Kota-kota yang berhasil ditaklukan Kekhalifahan Usmani Turki dari genggaman Kerajaan Safavid semua dicatat dan digambarkan secara detail oleh Matraki.

Jalur yang dilalui Matraki berbeda dengan yang dilalui pasukan militer Usmani Turki - mereka menempuh perjalanan dari Istanbul ke Baghdad melalui Sivas-Erzurum dan kembali melalui jalan Diyarbakir- Allepo. Bahkan, secara khusus dia meng gambar peta daratan dengan jenis relief dalam kitab yang di tulisnya Bayen-i Manezil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Saleyman Khan. Buku itu berisi informasi yang detil mengenai ekspedisi pertama Sul tan Sulaiman Al- Qanuni saat me lawan Kerajaan Sapavid Iran an tara tahun 1533 M hingga 1536 M.

Sejarah mencatat Matraki yang juga berhasil menciptakan gaya tulisan kaligrafi khas Usmani Turki. Gaya tulisan kaligrafi yang ditemukan itu bernama kalem-i divani. Sebelum gaya tulisan kaligrafi khas Turki diciptakan Matraki, Kekhalifahan Usmani Turki masih menggunakan tulisan kaligrafi khas Iran: ta’lik. Matraki tutup usia pada 28 April 1564 M. Jabatan terakhir yang diembannya adalah memimpin kantor yang mengurusi masalah kuda-kuda istana. Masyarakat Turki mengagumi keberhasilan yang pernah dicapainya.

Tak heran, bila karyakaryanya disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Untuk mengenangnya, Radio dan Televisi Turki pada tahun 1979 membuat film dokumenter tentang perjalanan hidup sang ilmuwan dan ksatria fenomenal di abad ke XVI itu.



Sumbangan Sang Kesatria untuk Ilmu Pengetahuan



Sejarah
Matraki dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka di era Kekhalifahan Usmani Turki. Pada tahun 1520 M, dia berhasil menerjemahkan buku sejarah karya Al-Tabari yang berjudul Tarih Al-Rasul wa Al- Mulukke dalam bahasa Turki. Karya alih bahasa itu diberi judul Madjma’ Al-Tawarikh.Dalam kitab itu dia juga membuat semacam suplemen yang berisi tentang sejarah Ottoman.

Selain itu, Matraki juga menulis sejarah kepemimpinan Sultan Beyezid II, Sultan Selim I, dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Beberapa buku sejarah yang ditulis Matraki itu antara lain; Ta’rikh-i Sultan Beyezid wa-Sultan Selim; Bayen-i Manezil-i Safar-i Iraqayn-i Sultan Saleyman Khanyang dikenal dengan Majmua’-i Manezil(1537 M). Pada 1538, Matraki juga berhasil menuliskan kitab Fath-neme-i Karabughdan.

Kitab sejarah lainnya yang ditulis Matraki berjudul Ta’rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa Istolnibelgrad.Dia juga menulis dua volume sejarah hidup Sultan Sulaiman dalam kitab Suleyman-name. Pada 1550 M, sejarawan Kerajaan Usmani Turki itu mendapat dukungan dari seorang menteri utama Sultan Sulaiman, Rustem Pasha untuk menerjemahkan karya Sejarawan Al-Tabari yang lainnya berjudul Djami’ Al-Tawarikh.Dalam satu volume khusus pada bagian kitab yang diterjemahkannya itu, Matraki mengupas peristiwa-peristiwa penting di era kepemimpinan Sultan Sulaiman hingga tahun 1561 M.


Matematika
Matraki memang layak dijuluki ilmuwan serba bisa. Dia ternyata juga sangat populer sebagai seorang matematikus. Secara khusus, dia menulis dua buku matematika dalam bahasa Turki untuk meringankan tugas para ulama, dewan kerajaan (divan katipleri), dan para akuntan negara. Kedua buku matematika yang ditulis Matraki memegang peranan penting dalam kemajuan Kerajaan Usmani Turki.

Pasalnya, buku matematika yang disusun Matraki itu sangat mudah dipahami setiap kalangan. Tak heran, jika buku matematika yang ditulis sang ilmuwan kesatria itu sangat cocok untuk digunakan sebagai matematika bahasa. Buku ini juga dijadikan panduan para akuntan di era Usmani Turki dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika.

Buku matematika pertama yang ditulis Matraki berjudul Jamal al-Kuttab wa Kamal al-Hussab. Kitab yang disusun pada tahun 1517 M itu secara khusus didedikasikan Matraki untuk Sultan Selim I (1512 M - 1520 M). Sedangkan, buku kedua yang bertajuk Umdat al-Hussab fi’l-furuz al-mukaddar bi’l-kulliyat diselesaikan Matraki pada tahun 1533 M.

Geografi Deskriptif Di Era kekhalifahan Utsmani Turki, Matraki merupakan seorang yang sangat penting dalam bidang geografi deskriptif. Buku pertamanya yang paling bernilai dalam bidang itu berjudul Bayen-i Manezil-i Safar Iraqaynberisi penjelasan tempat-tempat yang disinggahi dalam dua ekspedisi ke Irak.

Dia juga membuat miniatur yang menggambarkan jalan yang menghubungkan Istanbul - Tabriz - Baghdad. Miniatur yang diciptakannya itu mirip sebuah pe ta. Karya-karya Matraki selalu menjadi rujukan ba gi siapaun yang ingin mempelajari Usmani Turki ter utama Istanbul pada abad ke-16 M. Selama ber abadabad lukisan hasil goresan tangan Matraki ten tang ibukota Usmani Turki itu tetap dijadikan acuan.

Matraki pun sukses membuat peta. Uniknya peta yang diciptakan Matraki disertai dengan miniaturminiatur sehingga sangat bernilai dari perspektif geografi. Dalam Ta’rikh-i Feth-i Shiklos wa Estergon wa IstolnibelgradMatraki menggambarkan tempat penginapan yang ada di antara Istanbul dan Budapest. Dalam kitab itu juga dia menjelaskan kota-kota yang dilaluinya seperti Nice, Toulon, dan Marseilles.



Penulis : heri ruslan
REPUBLIKA - Rabu, 16 Juli 2008
http://koran.republika.co.id/berita/38594/Ilmuwan_dan_Ksatria_Fenomenal_di_Abad_XVI

Kamis, 04 November 2010

NASEHAT DARI RAKYAT GAZA

Rakyat Gaza, Palestina, kembali menunjukkan rasa ukhuwah dan solidaritasnya kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang terus dilanda bencana, khususnya bencana tsunami di Mentawai dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Rakyat Gaza menyumbang masing-masing sebesar dua ribu dolar AS untuk korban tsunami dan letusan gunung Merapi.
Bantuan untuk korban Tsunami di Mentawai sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Ustadz Ferry Nur, Ketua KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina), sedangkan bantuan untuk korban letusan Gunung Merapi juga sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Amirul Iman, Direktur Operasional Sahabat Al-Aqsha.
Ziad Said Mahmud asal Gaza, kordinator bantuan kemanusiaan internasional Palestina dan juga Direktur Al-Sarraa Foundation menjelaskan, sumbangan untuk korban bencana di Indonesia merupakan hasil keputusan musyawarah antara ulama dan rakyat Palestina, baik yang ada di Jalur Gaza maupun di Suriah. Demkian ujar Ziad dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Ahad (31/10).
Lebih lanjut, Ziad menjelaskan, “Kami tahu, jumlah ini tidak seberapa dibandingkan kesusahan yang sedang dialami saudara-saudara kami di Mentawai dan Merapi. Tapi terimalah ini sebagai tanda cinta kami. Kita satu tubuh. Kalian sakit, kami ikut sakit, sebagaimana kalian merasa sakit ketika melihat kami sakit dan menderita karena dijajah Israel,”
Beberapa kali rakyat Gaza memberikan sumbangan untuk korban bencana di Indonesia. Sebelumnya pada 2006, rakyat Gaza juga memberikan sumbangan sebesar Rp 5 juta bagi korban gempa di Yogyakarta dan Klaten, Jawa tengah.
Begitu pula saat gempa bumi tektonik berkekuatan 7,6 skala richter di Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang, Sumatra Barat. Rakyat Gaza tak lupa memberikan sumbangann yang diserahkan melalui pengurus KISPA. (Budi Raharjo/Rahmat Santosa Basarah/RoL)
http://www.dakwatuna.com/2010/rakyat-gaza-palestina-bantu-korban-mentawai-dan-merapi/
Bagaimana teman-teman? Sudah baca semua berita di atas yang dicopas dari situs dakwatuna.com?
Bagaimana perasaan teman-teman? Apakah teman-teman juga merasakan haru seperti yang saya rasakan, tatkala membaca “Kita satu tubuh. Kalian sakit, kami ikut sakit, sebagaimana kalian merasa sakit ketika melihat kami sakit dan menderita karena dijajah Israel”?
Kaum muslimin yang nun jauh di sana ikut merasakan sakit yang diderita kaum muslimin di sini. Mereka adalah kaum muslimin di Gaza, Palestina. Melihat kenyataan ini, jadi teringat kisah kaum muslimin di masa lalu, di masa kejayaannya.
Mungkin teman-teman pernah membaca. Suatu ketika kaum muslimin dalam keadaan berperang. Ada beberapa orang yang terluka parah. Salah seorang dari mereka ingin minum. Dia butuh sekali dengan minuman itu. Namun, begitu melihat saudaranya yang lain juga membutuhkan, maka air itu diserahkan kepada saudaranya (sebut saja A).
Si A ingin sekali mereguk air pemberian saudaranya (sebut saja Z). Dia juga membutuhkan air itu. Akan tetapi, ketika melihat si B, saudaranya yang lain. Timbul keinginannya yang lain, keinginan memberikan air yang sudah ada di tangannya. Walhasil si A memberikan air itu kepada si B.
Begitu air berada di tangan si B, persis seperti dua saudaranya yang lain. Timbul keinginan untuk berbagi kepada yang lain. Air itu diberikan kepada si C, walau dirinya juga membutuhkan. Air itu terus berputar hingga ke beberapa tangan dan kembali ke si Z. Namun begitu sampai pada si Z, si Z menemui syahidnya. Dia pergi meninggalkan saudara2nya lain untuk menemui Allah.
Ternyata bukan hanya si Z yang berpulang ke rahmatullah. Si A, B, C juga ikut menyusul si Z.
Kurang lebih kondisi kaum muslimin di Gaza tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di atas. Mereka membutuhkan, tapi masih mau mementingkan saudaranya yang lain. Mereka sakit dan butuh untuk diobati, akan tetapi mereka juga merasakan saudaranya yang sakit. Oleh karena itu, obat yang harusnya dikonsumsi oleh mereka, diberikan kepada saudaranya.
Betapa mulia sikap kaum muslimin di Gaza. Mereka ingin menjadi sosok-sosok yang selalu ingin tangan di atas. Mereka ingin mendapat predikat sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Allah, “Mendahulukan orang lain, walau dirinya juga membutuhkan.”
Apalagi yang terpikir oleh teman-teman? Saya terpikir, bila orang yang jauh saja peduli dengan kaum muslimin Indonesia. Tentu seharusnya kita lebih dari mereka. Paling tidak kita mau mendoakan mereka.
Pemerintah Indonesia pun hendaknya juga merasa malu, dengan ‘nasehat yang datang secara halus ini’. Sebab pada hakekatnya bantuan dari Gaza merupakan nasehat untuk kita semua.
Ya Allah berilah kesabaran kepada saudara-saudara kami di lokasi bencana. Jangan jadikan mereka putus asa. Jadikan mereka hamba-hamba yang selalu mengharap rahmat-Mu, ya Allah.