Rabu, 09 April 2008

MENGGANTUNG NASIB DARI BUAH AFKIR

Menggantung Nasib pada Buah Afkir
”Usianya sudah uzur, 68 tahun, namun Mbah Tuki masih harus bergelut dengan kehidupan yang berat. Tiga cucunya menjadi tanggungannya. Sementara ia hanya mengandalkan usaha memulung buah di pasar, untuk dijual kembali”Adzan shubuh baru saja berlalu, udara dingin pun masih melingkup. Namun Mbah Tuki sudah bersiap dengan kerja rutinnya. Selepas shalat shubuh, keranjang butut bergegas dijinjing menemaninya ke pasar buah sekitar 3 kilometer dari rumahnya. Sementara ketiga cucunya masih tidur pulas di kamar rumah kontrakkan yang sempit.

Berjalan kaki ia menyusuri jalanan yang masih sunyi. Setiba di pasar buah kawasan Jalan Gunung Galunggung, Kargo, Denpasar, Mbah Tuki langsung beredar mencari pisang-pisang afkir, berharap masih ada bagian yang bagus. Kadang kalau ada modal, lewat pengepul ia memborong sekeranjang, harganya Rp 5 ribu.Begitu matahari sudah menyembul dari cakrawala dan lalu lalang manusia berangkat kerja. Mbah Tuki pulang ke rumah. Lantas pisang-pisang afkir yang dibelinya di pasar, ia ambil bagian yang masih bagus. Digoreng lantas dijual dengan cara berkeliling. Hasilnya lumayan untuk uang saku cucunya berangkat sekolah.Istirahat? Belum. Mbah Tuki masih kembali lagi ke pasar yang sama, kali ini ditemani cucu terkecilnya. Kali ini ia mencari jeruk, mangga, nanas atau yang buah afkir lainnya. Sama, buah-buahan afkir itu dijualnya kembali setelah dibersihkan. Yang tidak laku, ia berikan kepada anak-anak kecil di sekitar tempat tinggalnya. Selepas adzan dhuhur ia baru pulang ke rumah. Begitu setiap hari yang dikerjakan Mbah Tuki untuk menghidupi ketiga cucunya yang ditinggal kedua orang tuanya entah ke mana.”Menawi mboten ngeten sinten sing nyukani sangune lare-lare, kale tumbas beras kagem nedho,” (Kalau tidak begini siapa yang memberi bekal untuk anak-anak, atau beli beras untuk makan),” ujar Mbah Tuki lirih.Wanita renta itu kini terpaksa bekerja sendirian menghidupi tiga orang cucunya, Sri Wahyuningsih yang duduk di bangku kelas 4 SD, Alex Siswanto, dan Agus Setiawan ( 6 tahun).Beban hidupnya cukup berat, selain kebutuhan sehari-hari, Mbah Tuki masih harus mencari uang untuk biaya sekolah cucunya.Mbah Tuki tinggal bersama tiga orang cucunya di sebuah rumah kontrakkan yang disewanya Rp 250 ribu per bulan. Hampir semua warga di lingkungan Mbah Tuki adalah pendatang. Hari Raya kemarin Mbah Tuki dan cucu-cucunya tak bisa pulang ke Jember lantaran tak ada biaya.Sudah hampir lima tahun Mbah Tuki melakoni pekerjaannya, walau melelahkan, namun Mbah Tuki tidak pernah mengeluh. Semuanya dikerjakan dengan sabar, senyum selalu tersungging di sela kelelahan.Kepada Madani, wanita asal Jember itu mengaku tidak menyangka jika jalan hidupnya akan seperti ini. Awalnya ia datang ke Bali diajak anaknya lelakinya yang bekerja di Denpasar, 12 tahun silam. ”Sekarang anak saya pergi ke Jakarta, namun sudah setahun ini tidak ada kabarnya. Istrinya pergi meninggalkan rumah saat Agus, cucu saya, baru berumur 2 tahun,” kata Mbah Tuki.(Source : Majalah Madani DSM Bali) DICOPY DARI alimmahdi.blogspot.com
Satu cermin lagi buat kita. Sesulit apapun pekerjaan, ternyata masih ada pekerjaan. Memang terkesan jorok, terkesan tidak berkelas, terkesan memalukan. Tapi apakah yang terkesan jorok, yang terkesan tidak berkelas dan yang terkesan memalukan lebih mulia dari pencuri, lebih mulia dari perampok, lebih baik dari para koruptor? Tentu kita sepakat, pencuri, perampok dan koruptor tidak lebih mulia dari Mbah Tuki.

Usia Mbah Tuki sudah 68 tahun. Tapi semangat, keuletan dan tahan bantingnya tidak kalah dengan anak muda. Bagaimana dengan anak muda sekarang? Jangan mau kalah dengan mbah Tuki. Tetap semangat, ulet dan sungguh-sungguh!

Tidak ada komentar: