MENGAPA MENULIS?
Dahulu sewaktu di SD, mengarang merupakan pelajaran yang menyebalkan. Mengapa? Karena setiap aku mengarang selalu saja merasa tidak mampu. Aku selalu membuka karangan dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’. Seolah sebuah karangan wajib dimulai dengan ungkapan ini. Begitulah yang tergambar dalam benak anak SD pada saat itu. Karena alasan tidak mampu inilah, aku menjadi tidak senang mengarang.
Image tentang mengarang ini terus bersemayam dalam benakku. Hingga pada suatu ketika, image itu berubah. Aku menjadi percaya diri untuk menulis. Pada saat itu, aku telah lulus kuliah dan pesantren mahasiswa. Aku membaca berbagai tulisan hasil karya teman-temanku. Bukan terpampang di majalah dinding sekolah dan bukan pula di majalah dinding masjid. Karya mereka dimuat di sebuah harian umum yang cukup terkenal. Tulisan mereka dimuat pada kolom yang terletak di halaman muka harian tersebut.
Aku coba membacanya dari awal hingga akhir. Selesai membaca, terlontar sebuah ungkapan dari mulutku, “Kalau seperti ini, aku juga bisa. Kalau seperti ini, aku juga tahu.” Begitulah ungkapan yang keluar setiap usai membaca karya teman-temanku. Dari sinilah, image karangan yang selalu diawali dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’, mulai terkikis dari benakku. Aku mulai mencoba merumuskan cara teman-temanku menulis. Aku ikuti jalan pikiran mereka, hingga aku merasa yakin dan muncul tekad di dalam diriku, “Gue bisa!” (wush sorry, bukan bermaksud untuk iklan).
Mulai saat itulah, aku mulai menulis dan dikirimkan ke kolom harian yang sama. Biasanya tulisan itu mengenai agama Islam dan dikaitkan dengan hal-hal yang ada di sekitar. Mulai dari pentingnya waktu, kehormatan wanita yang telah dilecehkan, sikap individualis di bulan Ramadhan dan sebagainya. Banyak sudah tulisan yang aku kirim, mungkin ada 20-an. Namun, tidak satu pun yang pernah dimuat. Aku tidak pernah berputus asa, kucoba lagi dan kucoba lagi. Aku coba periksa satu persatu tulisan-tulisan itu. Aku coba ikuti jalan pikiranku pada saat itu. Aku berkesimpulan, tulisanku cukup baik. Bahkan beberapa tulisanku sesuai/tepat dengan kondisi yang ada. Pernah pada suatu ketika, aku menulis mengenai kehormatan wanita. Beberapa hari setelah tulisan itu dikirim, muncul pembicaraan mengenai kehormatan wanita. Pada saat itu, menteri peranan wanita masih dijabat oleh ibu Tutty Alawiyyah (maaf kalau ejaannya salah). Ini suatu contoh bahwa selain tulisanku mengikuti alur logika pembaca, namun tulisanku juga berbicara mengenai topik yang sedang hangat.
Perlu pembaca ketahui, pada saat itu aku masih bisa dikatakan menganggur. Penghasilan hanya kuperoleh dari mengajar privat. Aku mengajar hanya 2 kali dalam seminggu. Walhasil, aku banyak mempunyai waktu kosong. Waktu itu kuisi dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, maka doronganku untuk menulis semakin kuat.
Pernah suatu ketika, aku mencoba memahami masalah krisis moneter alias krismon. Memang pada saat itu, topik ini sedang hangat-hangatnya. Akibat nilai dollar tinggi, maka nilai mata uang rupiah menurun. Efeknya semua produk yang menggunakan komponen import menjadi mahal. Banyak pabrik atau perusahaan yang gulung tikar. Ada pula perusahaan yang bergabung alias marger. Harga krupuk yang tadinya Rp 100 menjadi Rp 200. Perusahaan properti banyak yang menghentikan pembangunan perumahannya. Walhasil, banyak toko bangunan yang kehilangan pembelinya. Penghasilan buruh bangunan juga menjadi macet. Secara umum, daya beli masyarakat menjadi rendah.
Setelah memahami ini semua, aku coba kaitkan dengan pengetahuan yang kumiliki. Diantaranya adalah ayat Al-Qur’an yang melarang adanya penimbunan harta/uang atau biasa diistilahkan dengan Kanzul Mal. Ayat yang kumaksud adalah surat At-Taubah ayat 34. Di dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dengan ancaman yang pedih. Mengapa larangan ini mencakup larangan untuk menimbun uang? Karena di masa Rasulullah, mata uang terbuat dari emas dan perak. Coba andaikata seluruh pengusaha tidak menimbun uangnya, tentu akan tercipta lapangan pekerjaan. Itu berarti pemasukan masyarakat akan meningkat dan daya beli mereka ikut meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi akan semakin maju.
Dari pemahaman kondisi yang ada dan dikaitkan dengan pemahaman Islam yang kumiliki, maka keadaan ini mendorongku ingin menulis. Aku coba untuk membendungnya. Dengan cara kubawa tidur, namun apa yang terjadi? Aku merasa didorong-dorong untuk menumpahkan semua yang kumiliki ke dalam tulisan. Aku coba tuangkan tulisan itu dan kukirimkan ke sebuah majalah Islam. Namun tetap saja, tidak dimuat.
Setelah menjadi karyawan, aku tetap menulis. Namun kegiatan menulisku tidak se produktif sebelumnya. Karena sibuk bekerja, maka waktuku untuk membaca menjadi berkurang. Akibatnya, ide untuk menulis terasa berkurang.
Aku coba membanting stir. Dari tulisan mengenai agama, aku coba menulis mengenai hal-hal yang lucu. Aku mengirim kisah nyata memalukan, lucu bahkan sedikit konyol. Mulai dari pengalamanku sewaktu pramuka di SD, kisah malang motorku, kisah HP temanku, kisah motorku malang dan lain sebagainya. Tulisan ini kukirim ke harian yang sama. Namun sekali lagi, tulisan-tulisan itu tidak berhasil dimuat.
Walau tidak dimuat, aku merasa puas. Aku merasa mampu untuk menulis. Berbeda sekali bila dibandingkan, bila dibandingkan (eit! bukan saatnya nyanyi dangdut nich!) dengan kemampuan mengarangku sewaktu SD. Aku mempunyai rasa percaya diri dalam menulis. Jika tulisan-tulisanku belum dimuat, itu hanya sekedar kurang hoki saja. Begitulah pikiranku.
Rasa percaya diri membuatku selalu ingin menulis. Hingga pada suatu ketika, aku kembali menganggur. Hanya saja saat ini, keadaannya berbeda. Aku menganggur dalam keadaan ‘PD’ untuk menulis. Aku buat sebuah tulisan lucu mengenai pengalaman pribadi. Apa yang terjadi? Para pembaca ingin tahu?? Jangan kemana-mana, tunggu setelah yang satu ini!
Tulisanku dimuat! Tulisanku dimuat harian terkenal! Senang, bangga, dapat membanggakan orang tua dan yang jelas aku semakin percaya diri. Ternyata tulisanku layak untuk dimuat, layak untuk dibaca oleh khalayak ramai.
Setelah kembali bekerja, aku tetap menulis. Aku ikuti berbagai lomba penulisan. Hingga saat ini, sudah 3 lomba penulisan yang kuikuti dan menjadi 4 dengan tulisan ini.
Para pembaca yang budiman……… Pengalaman ini, aku harapkan dapat menjadi pelajaran. Mulai dari kecil yang tidak suka menulis, karena merasa tidak mampu. Beranjak dewasa, mulai menyukai menulis, karena merasa mampu menulis mengikuti jejak teman-teman. Dorongan menulis akan semakin kuat, bila banyak membaca. Hingga berani mengikuti lomba penulisan.
Mungkin dari faktor-faktor inilah, akan timbul berbagai alasan kita untuk menulis. Karena merasa mampu menulis, maka kita menulis. Karena banyaknya bacaan dan pengetahuan yang telah dimiliki, maka memaksa kita untuk menulis.
Dahulu sewaktu di SD, mengarang merupakan pelajaran yang menyebalkan. Mengapa? Karena setiap aku mengarang selalu saja merasa tidak mampu. Aku selalu membuka karangan dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’. Seolah sebuah karangan wajib dimulai dengan ungkapan ini. Begitulah yang tergambar dalam benak anak SD pada saat itu. Karena alasan tidak mampu inilah, aku menjadi tidak senang mengarang.
Image tentang mengarang ini terus bersemayam dalam benakku. Hingga pada suatu ketika, image itu berubah. Aku menjadi percaya diri untuk menulis. Pada saat itu, aku telah lulus kuliah dan pesantren mahasiswa. Aku membaca berbagai tulisan hasil karya teman-temanku. Bukan terpampang di majalah dinding sekolah dan bukan pula di majalah dinding masjid. Karya mereka dimuat di sebuah harian umum yang cukup terkenal. Tulisan mereka dimuat pada kolom yang terletak di halaman muka harian tersebut.
Aku coba membacanya dari awal hingga akhir. Selesai membaca, terlontar sebuah ungkapan dari mulutku, “Kalau seperti ini, aku juga bisa. Kalau seperti ini, aku juga tahu.” Begitulah ungkapan yang keluar setiap usai membaca karya teman-temanku. Dari sinilah, image karangan yang selalu diawali dengan ungkapan ‘Pada suatu hari’, mulai terkikis dari benakku. Aku mulai mencoba merumuskan cara teman-temanku menulis. Aku ikuti jalan pikiran mereka, hingga aku merasa yakin dan muncul tekad di dalam diriku, “Gue bisa!” (wush sorry, bukan bermaksud untuk iklan).
Mulai saat itulah, aku mulai menulis dan dikirimkan ke kolom harian yang sama. Biasanya tulisan itu mengenai agama Islam dan dikaitkan dengan hal-hal yang ada di sekitar. Mulai dari pentingnya waktu, kehormatan wanita yang telah dilecehkan, sikap individualis di bulan Ramadhan dan sebagainya. Banyak sudah tulisan yang aku kirim, mungkin ada 20-an. Namun, tidak satu pun yang pernah dimuat. Aku tidak pernah berputus asa, kucoba lagi dan kucoba lagi. Aku coba periksa satu persatu tulisan-tulisan itu. Aku coba ikuti jalan pikiranku pada saat itu. Aku berkesimpulan, tulisanku cukup baik. Bahkan beberapa tulisanku sesuai/tepat dengan kondisi yang ada. Pernah pada suatu ketika, aku menulis mengenai kehormatan wanita. Beberapa hari setelah tulisan itu dikirim, muncul pembicaraan mengenai kehormatan wanita. Pada saat itu, menteri peranan wanita masih dijabat oleh ibu Tutty Alawiyyah (maaf kalau ejaannya salah). Ini suatu contoh bahwa selain tulisanku mengikuti alur logika pembaca, namun tulisanku juga berbicara mengenai topik yang sedang hangat.
Perlu pembaca ketahui, pada saat itu aku masih bisa dikatakan menganggur. Penghasilan hanya kuperoleh dari mengajar privat. Aku mengajar hanya 2 kali dalam seminggu. Walhasil, aku banyak mempunyai waktu kosong. Waktu itu kuisi dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, maka doronganku untuk menulis semakin kuat.
Pernah suatu ketika, aku mencoba memahami masalah krisis moneter alias krismon. Memang pada saat itu, topik ini sedang hangat-hangatnya. Akibat nilai dollar tinggi, maka nilai mata uang rupiah menurun. Efeknya semua produk yang menggunakan komponen import menjadi mahal. Banyak pabrik atau perusahaan yang gulung tikar. Ada pula perusahaan yang bergabung alias marger. Harga krupuk yang tadinya Rp 100 menjadi Rp 200. Perusahaan properti banyak yang menghentikan pembangunan perumahannya. Walhasil, banyak toko bangunan yang kehilangan pembelinya. Penghasilan buruh bangunan juga menjadi macet. Secara umum, daya beli masyarakat menjadi rendah.
Setelah memahami ini semua, aku coba kaitkan dengan pengetahuan yang kumiliki. Diantaranya adalah ayat Al-Qur’an yang melarang adanya penimbunan harta/uang atau biasa diistilahkan dengan Kanzul Mal. Ayat yang kumaksud adalah surat At-Taubah ayat 34. Di dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dengan ancaman yang pedih. Mengapa larangan ini mencakup larangan untuk menimbun uang? Karena di masa Rasulullah, mata uang terbuat dari emas dan perak. Coba andaikata seluruh pengusaha tidak menimbun uangnya, tentu akan tercipta lapangan pekerjaan. Itu berarti pemasukan masyarakat akan meningkat dan daya beli mereka ikut meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi akan semakin maju.
Dari pemahaman kondisi yang ada dan dikaitkan dengan pemahaman Islam yang kumiliki, maka keadaan ini mendorongku ingin menulis. Aku coba untuk membendungnya. Dengan cara kubawa tidur, namun apa yang terjadi? Aku merasa didorong-dorong untuk menumpahkan semua yang kumiliki ke dalam tulisan. Aku coba tuangkan tulisan itu dan kukirimkan ke sebuah majalah Islam. Namun tetap saja, tidak dimuat.
Setelah menjadi karyawan, aku tetap menulis. Namun kegiatan menulisku tidak se produktif sebelumnya. Karena sibuk bekerja, maka waktuku untuk membaca menjadi berkurang. Akibatnya, ide untuk menulis terasa berkurang.
Aku coba membanting stir. Dari tulisan mengenai agama, aku coba menulis mengenai hal-hal yang lucu. Aku mengirim kisah nyata memalukan, lucu bahkan sedikit konyol. Mulai dari pengalamanku sewaktu pramuka di SD, kisah malang motorku, kisah HP temanku, kisah motorku malang dan lain sebagainya. Tulisan ini kukirim ke harian yang sama. Namun sekali lagi, tulisan-tulisan itu tidak berhasil dimuat.
Walau tidak dimuat, aku merasa puas. Aku merasa mampu untuk menulis. Berbeda sekali bila dibandingkan, bila dibandingkan (eit! bukan saatnya nyanyi dangdut nich!) dengan kemampuan mengarangku sewaktu SD. Aku mempunyai rasa percaya diri dalam menulis. Jika tulisan-tulisanku belum dimuat, itu hanya sekedar kurang hoki saja. Begitulah pikiranku.
Rasa percaya diri membuatku selalu ingin menulis. Hingga pada suatu ketika, aku kembali menganggur. Hanya saja saat ini, keadaannya berbeda. Aku menganggur dalam keadaan ‘PD’ untuk menulis. Aku buat sebuah tulisan lucu mengenai pengalaman pribadi. Apa yang terjadi? Para pembaca ingin tahu?? Jangan kemana-mana, tunggu setelah yang satu ini!
Tulisanku dimuat! Tulisanku dimuat harian terkenal! Senang, bangga, dapat membanggakan orang tua dan yang jelas aku semakin percaya diri. Ternyata tulisanku layak untuk dimuat, layak untuk dibaca oleh khalayak ramai.
Setelah kembali bekerja, aku tetap menulis. Aku ikuti berbagai lomba penulisan. Hingga saat ini, sudah 3 lomba penulisan yang kuikuti dan menjadi 4 dengan tulisan ini.
Para pembaca yang budiman……… Pengalaman ini, aku harapkan dapat menjadi pelajaran. Mulai dari kecil yang tidak suka menulis, karena merasa tidak mampu. Beranjak dewasa, mulai menyukai menulis, karena merasa mampu menulis mengikuti jejak teman-teman. Dorongan menulis akan semakin kuat, bila banyak membaca. Hingga berani mengikuti lomba penulisan.
Mungkin dari faktor-faktor inilah, akan timbul berbagai alasan kita untuk menulis. Karena merasa mampu menulis, maka kita menulis. Karena banyaknya bacaan dan pengetahuan yang telah dimiliki, maka memaksa kita untuk menulis.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis yang diadakan lomba@menulismudah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar