HAK CIPTA DAN PEMBAJAKAN
Sebagai seorang awam, saya memang tidak pernah merasakan langsung, tidak pernah ‘sakit’ karena hasil karya saya dibajak orang lain. Namun, saya bisa membayangkannya. Belum lama ini, saya menjadi anggota sebuah milis dunia tulis menulis. Banyak e-mail para anggota milis masuk ke e-mail saya. Berbagai macam tulisan saya temukan. Mulai dari puisi, cerpen bahkan cerita lucu. Saya pun mengirim karya-karya yang mungkin tidak bisa dibilang bagus. Tapi sejelek apapun karya yang kita buat, hampir bisa dibilang kita menganggapnya baik dan bahkan terbaik. Demikian pula dengan saya. Apalagi diantara tulisan yang dikirim, terdapat beberapa tulisan yang pernah diikutkan lomba. Setelah tulisan dikirim ke milis, mulai terpikir dan merasa khawatir kalau-kalau tulisan saya ‘dicontek’ atau ‘dijiplak’ orang lain. Takutnya lagi, tulisan hasil jiplakan itu diikut sertakan dalam lomba penulisan dan tulisan itu menang dengan mengatas namakan orang lain dan bukan saya. Perasaan itu sebenarnya bisa dikatakan berlebihan. Kenapa? Karena kalau dikaitkan dengan tulisan yang dikirim ke lomba penulisan, tulisan saya sudah sampai di panitia dan batas pengiriman naskah telah ditutup sejak lama, sejak tulisan saya belum dikirim ke milis. Walhasil, saya seharusnya tidak perlu khawatir kalau-kalau tulisan saya dijiplak oleh anggota milis. Silahkan saja menjiplak, wong tulisan itu sudah dikirim ke lomba penulisan. Namun kalau dikaitkan dengan hak cipta, mungkin begitulah perasaan orang-orang yang hasil karyanya dijiplak alias dibajak orang untuk kepentingan materi. Berbicara tentang hak cipta -salah satunya tidak lepas dari hasil karya yang berbentuk tulisan-. Baik tulisan sendiri maupun hasil terjemahan. Kebetulan pekerjaan saya berkaitan dengan dunia terjemahan, khususnya terjemahan berbahasa Arab. Dalam dunia terjemah -khususnya bahasa Arab-, ada penulis yang memang minta bagian royalty. Namun ada pula yang tidak. Seperti misalnya, penulis Dr Yusuf Al-Qardhawi. Saya pernah mendengar dari seorang teman yang juga seorang penerjemah menceritakan bahwa Dr Yusuf Al-Qardhawi mengizinkan siapa pun untuk menterjemahkan hasil karyanya. Dengan catatan, penerjemah yang bersangkutan mengerti bahasa Arab. Contoh lainnya adalah seorang ulama yang bernama Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi. Beliau sebenarnya bukan seorang penulis. Beliau adalah seorang orator, penceramah atau muballigh. Ulama ini hanya memiliki satu karya tulis. Namun ceramah-ceramah beliau direkam dan dituangkan dalam tulisan, jadilah beberapa buku.Suatu ketika, ada orang Indonesia datang menemui beliau untuk minta izin. Minta izin menerjemahkan karya-karya beliau. Apa yang Syaikh Mutawalli katakan? “Apakah buku saya ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Anda dan dibaca oleh bangsa Anda? Kalau begitu, mana penerjemahnya? Saya ingin bayar dia?” Saya yang mendengar cerita ini terkagum-kagum. Bukan kita yang memberikan royalty, malah beliau yang bersedia membayar tenaga penerjemahnya.Dua contoh di atas merupakan gambaran lain dari penghasil karya. Penghargaan terhadap hasil karya dihargai dengan amal shalih. 2 penulis di atas mengharapkan agar tulisan mereka dibaca, dipahami dan diamalkan. Bila sudah diamalkan, mereka berharap pahala amal itu juga dapat mengalir ke mereka berdua. Pembajakan atau penjiplakan merupakan perbuatan yang tidak terpuji alias perbuatan yang tidak tahu malu. Coba bayangkan! Karya kita diakui atau diklaim sebagai karya orang lain! Apakah ini bukan sebuah penipuan?!!Memang terkadang, kita terkagum-kagum oleh tulisan orang lain. Kekaguman kita terkadang memicu keluarnya ide sebuah tulisan. Begitu tulisan tersebut matang, nampak tulisan kita mirip dengan tulisan asal atau sumber. Jika seperti ini kasusnya, maka menurut saya karya ini tidak dapat dikatakan menjiplak. Mungkin ada baiknya, kita menuliskan sumber, terinspirasi dari tulisan siapa misalnya. Sehingga tidak ada yang merasa bahwa tulisannya dijiplak. Berbicara tentang sumber inspirasi, referensi, nampaknya kita sulit untuk menghindar dari sumber-sumber informasi yang disebar secara umum. Media massa cetak maupun elektronik misalnya. Banyak orang yang membaca artikel yang sama, berjuta-juta orang yang mendengar, melihat dan menyerap informasi yang sama. Bila ini keadaannya, mungkin akan banyak orang yang terinspirasi dari sumber yang sama. Walhasil banyak orang yang akan memiliki pemikiran, ide yang sama. Apalagi kalau berita tersebut memang ditujukan untuk membentuk opini umum. Jika semua orang yang menyerap informasi ini menuangkan dalam suatu karya tulis, lagu atau puisi, apakah mereka dapat dianggap menjiplak? Saya rasa tidak.Menilai seseorang telah melakukan pembajakan, penjiplakan atau tidak, bukan merupakan perkara yang mudah. Coba bayangkan misalnya, seorang penyanyi melakukan rekaman. Setelah itu, kaset dan CD serta VCD-nya tersebar luas di pasaran secara resmi. Artinya kaset, CD dan VCD diedarkan setelah melewati beberapa departemen terkait. Padahal si penyanyi telah membajak lagu orang lain. Bukankah hal ini merupakan pembajakan yang telah dilegalkan?Banyak orang memburu kaset, CD atau VCD bajakan karena harganya yang lebih murah dari yang original. Akibatnya bisnis pembajakan semakin menjamur. Karena permintaan pasar semakin meningkat. Menurut saya, mengatasi permasalahan ini tidak cukup hanya memperhatikan sisi penghasil karya, baik itu penulis, pencipta lagu dan mereka yang masuk kategori penghasil karya lainnya. Karena jika hanya memperhatikan sisi ini saja, berarti kita hanya memperhatikan nasib penyanyi saja misalnya. Sementara itu bagaimana nasib para penganggur yang terpaksa melakukan perbuatan yang tidak terpuji? Bagaimana nasib orang yang haus hiburan, namun tidak mampu bayar? Apakah hiburan hanya untuk mereka yang mempunyai uang saja?
TULISAN INI DIIKUTKAN DALAM SAYEMBARA YANG DIADAKAN OLEH FAJAR SUGANDHI di thedivines.blogspot.com
Sebagai seorang awam, saya memang tidak pernah merasakan langsung, tidak pernah ‘sakit’ karena hasil karya saya dibajak orang lain. Namun, saya bisa membayangkannya. Belum lama ini, saya menjadi anggota sebuah milis dunia tulis menulis. Banyak e-mail para anggota milis masuk ke e-mail saya. Berbagai macam tulisan saya temukan. Mulai dari puisi, cerpen bahkan cerita lucu. Saya pun mengirim karya-karya yang mungkin tidak bisa dibilang bagus. Tapi sejelek apapun karya yang kita buat, hampir bisa dibilang kita menganggapnya baik dan bahkan terbaik. Demikian pula dengan saya. Apalagi diantara tulisan yang dikirim, terdapat beberapa tulisan yang pernah diikutkan lomba. Setelah tulisan dikirim ke milis, mulai terpikir dan merasa khawatir kalau-kalau tulisan saya ‘dicontek’ atau ‘dijiplak’ orang lain. Takutnya lagi, tulisan hasil jiplakan itu diikut sertakan dalam lomba penulisan dan tulisan itu menang dengan mengatas namakan orang lain dan bukan saya. Perasaan itu sebenarnya bisa dikatakan berlebihan. Kenapa? Karena kalau dikaitkan dengan tulisan yang dikirim ke lomba penulisan, tulisan saya sudah sampai di panitia dan batas pengiriman naskah telah ditutup sejak lama, sejak tulisan saya belum dikirim ke milis. Walhasil, saya seharusnya tidak perlu khawatir kalau-kalau tulisan saya dijiplak oleh anggota milis. Silahkan saja menjiplak, wong tulisan itu sudah dikirim ke lomba penulisan. Namun kalau dikaitkan dengan hak cipta, mungkin begitulah perasaan orang-orang yang hasil karyanya dijiplak alias dibajak orang untuk kepentingan materi. Berbicara tentang hak cipta -salah satunya tidak lepas dari hasil karya yang berbentuk tulisan-. Baik tulisan sendiri maupun hasil terjemahan. Kebetulan pekerjaan saya berkaitan dengan dunia terjemahan, khususnya terjemahan berbahasa Arab. Dalam dunia terjemah -khususnya bahasa Arab-, ada penulis yang memang minta bagian royalty. Namun ada pula yang tidak. Seperti misalnya, penulis Dr Yusuf Al-Qardhawi. Saya pernah mendengar dari seorang teman yang juga seorang penerjemah menceritakan bahwa Dr Yusuf Al-Qardhawi mengizinkan siapa pun untuk menterjemahkan hasil karyanya. Dengan catatan, penerjemah yang bersangkutan mengerti bahasa Arab. Contoh lainnya adalah seorang ulama yang bernama Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi. Beliau sebenarnya bukan seorang penulis. Beliau adalah seorang orator, penceramah atau muballigh. Ulama ini hanya memiliki satu karya tulis. Namun ceramah-ceramah beliau direkam dan dituangkan dalam tulisan, jadilah beberapa buku.Suatu ketika, ada orang Indonesia datang menemui beliau untuk minta izin. Minta izin menerjemahkan karya-karya beliau. Apa yang Syaikh Mutawalli katakan? “Apakah buku saya ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Anda dan dibaca oleh bangsa Anda? Kalau begitu, mana penerjemahnya? Saya ingin bayar dia?” Saya yang mendengar cerita ini terkagum-kagum. Bukan kita yang memberikan royalty, malah beliau yang bersedia membayar tenaga penerjemahnya.Dua contoh di atas merupakan gambaran lain dari penghasil karya. Penghargaan terhadap hasil karya dihargai dengan amal shalih. 2 penulis di atas mengharapkan agar tulisan mereka dibaca, dipahami dan diamalkan. Bila sudah diamalkan, mereka berharap pahala amal itu juga dapat mengalir ke mereka berdua. Pembajakan atau penjiplakan merupakan perbuatan yang tidak terpuji alias perbuatan yang tidak tahu malu. Coba bayangkan! Karya kita diakui atau diklaim sebagai karya orang lain! Apakah ini bukan sebuah penipuan?!!Memang terkadang, kita terkagum-kagum oleh tulisan orang lain. Kekaguman kita terkadang memicu keluarnya ide sebuah tulisan. Begitu tulisan tersebut matang, nampak tulisan kita mirip dengan tulisan asal atau sumber. Jika seperti ini kasusnya, maka menurut saya karya ini tidak dapat dikatakan menjiplak. Mungkin ada baiknya, kita menuliskan sumber, terinspirasi dari tulisan siapa misalnya. Sehingga tidak ada yang merasa bahwa tulisannya dijiplak. Berbicara tentang sumber inspirasi, referensi, nampaknya kita sulit untuk menghindar dari sumber-sumber informasi yang disebar secara umum. Media massa cetak maupun elektronik misalnya. Banyak orang yang membaca artikel yang sama, berjuta-juta orang yang mendengar, melihat dan menyerap informasi yang sama. Bila ini keadaannya, mungkin akan banyak orang yang terinspirasi dari sumber yang sama. Walhasil banyak orang yang akan memiliki pemikiran, ide yang sama. Apalagi kalau berita tersebut memang ditujukan untuk membentuk opini umum. Jika semua orang yang menyerap informasi ini menuangkan dalam suatu karya tulis, lagu atau puisi, apakah mereka dapat dianggap menjiplak? Saya rasa tidak.Menilai seseorang telah melakukan pembajakan, penjiplakan atau tidak, bukan merupakan perkara yang mudah. Coba bayangkan misalnya, seorang penyanyi melakukan rekaman. Setelah itu, kaset dan CD serta VCD-nya tersebar luas di pasaran secara resmi. Artinya kaset, CD dan VCD diedarkan setelah melewati beberapa departemen terkait. Padahal si penyanyi telah membajak lagu orang lain. Bukankah hal ini merupakan pembajakan yang telah dilegalkan?Banyak orang memburu kaset, CD atau VCD bajakan karena harganya yang lebih murah dari yang original. Akibatnya bisnis pembajakan semakin menjamur. Karena permintaan pasar semakin meningkat. Menurut saya, mengatasi permasalahan ini tidak cukup hanya memperhatikan sisi penghasil karya, baik itu penulis, pencipta lagu dan mereka yang masuk kategori penghasil karya lainnya. Karena jika hanya memperhatikan sisi ini saja, berarti kita hanya memperhatikan nasib penyanyi saja misalnya. Sementara itu bagaimana nasib para penganggur yang terpaksa melakukan perbuatan yang tidak terpuji? Bagaimana nasib orang yang haus hiburan, namun tidak mampu bayar? Apakah hiburan hanya untuk mereka yang mempunyai uang saja?
TULISAN INI DIIKUTKAN DALAM SAYEMBARA YANG DIADAKAN OLEH FAJAR SUGANDHI di thedivines.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar