Selasa, 01 Januari 2008

KOMENTAR UNTUK KANG CANDRA di penulismuda.multiply.com

PENTINGNYA BAHASA ARAB
Saya setuju, bahasa Arab merupakan kunci untuk memahami Al-Qur'an dan hadits. Karena bahasa Arab terkadang diungkapkan dengan lafadz ma'rifah (tertentu), terkadang diungkapkan dengan lafadz nakirah (tidak tertentu). Lafadz Al-Kitabu dengan lafadz kitabun/kitaban/kitabin merupakan dua lafadz yang berbeda. Al-Kitabu bisa diterjemahkan dengan buku/kitab ini atau buku itu. Sedangkan kitabun dapat diterjemahkan dengan sebuah buku. Sebuah buku berarti buku apa saja, buku yang mana saja dan buku siapa saja. Oleh karena itu, lafadz-lafadz Al-Qur'an yang diungkapkan dengan lafadz nakirah dapat dipahami secara umum, lebih luas dan menembus ruang dan waktu. Dari sini, barulah dapat dipahami bahwa Islam itu selalu up to date. Saya pernah membaca suatu tulisan yang menjelaskan bahwa salah satu dalil yang mengharamkan kaum muslimin untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah ayat yang berbunyi 'wa lan yaj'ala Allah lil Kafirina 'alal mu'miniina sabiilan. Terjemahannya adalah Allah tidak akan memberikan satu jalanpun bagi orang-orang kafir untuk menguasai/mengalahkan orang mukmin (surat an-nisa' :140). Lafadz sabiilan diterjemahkan dengan satu jalanpun/jalan apa saja. Dari pemahaman lafadz inilah diambil kesimpulan kita kaum muslimin diharamkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Coba kita bayangkan bersama, berapa banyak fakta yang dapat dijadikan contoh ayat ini. Semua ini diambil karena memahami lafadz sabiilan yang nakirah. Di sinilah pentingnya mengetahui dan memahami bahasa Arab. Contoh lainnya, kita mungkin sudah sering dengar mengapa ulama madzhab berbeda pendapat dalam memahami lafadz lamastumun nisaa' yang terdapat dalam suatu ayat. Dari lafadz ini timbul dua pendapat yang berbeda. Pendapat yang pertama, wudhu' seseorang menjadi batal setelah bersentuhan kulit dengan wanita. Pendapat yang kedua, wudhu'seseorang menjadi batal setelah berhubungan badan dengan wanita. Kenapa dapat muncul dua pendapat ini? Jawabannya satu karena mereka masing-masing memahami bahasa Arab. Karena lafadz lamastumun nisaa' memang dapat diartikan menyentuh kulit wanita dan dapat pula dipahami dengan berhubungan badan dengan wanita. ttd. Arya Noor Amarsyah
e-mail arnabgaizir@yahoo.co.id
blog: arnabgaizir.blogspot.com

TULISAN KANG CANDRA
YANG BERJUDUL: ULAMA DAN SASTRA

Kedekatan ulama dengan sastra sudah tidak diragukan lagi. Sastra – dalam hal ini sastra Arab – telah menjadi bagian yang fundamental dalam memahami ilmu-ilmu agama. Jika ilmu-ilmu agama merupakan tujuan (al-Maqashid), sastra adalah alat atau sarana (al-Ulum al-Aliyah) untuk memahami tujuan tersebut. Rasulullah adalah orang Arab yang telah mencapai tingkat kefasihan tertinggi dalam berbicara bahasa Arab di antara manusia lainnya. Adalah tidak mungkin memahami teks-teks yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, kecuali dengan menggunakan ilmu-ilmu bahasa Arab. Karena perannya yang sangat fundamental inilah, para ulama dari dulu hingga sekarang tidak pernah lepas dari mempelajarinya.

Di zaman jahiliyah, banyak sastrawan lahir. Mereka memiliki kemampuan merangkai syair yang cukup indah. Tujuan mereka tentu saja tak bernilai, hanya sebatas menghibur semata. Setelah Nabi Muhammad Saw. menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tujuan itu berubah haluan seratus delapan puluh derajat. Syair telah digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Salah satu sahabat yang dikenal penyair ulung adalah Hisan bin Tsabit Ra. . Ketika beradu syair dengan orang-orang kafir, beliau selalu dapat memenangkannya.

Bahkan al-Quran adalah perwujudan dari sastra yang tiada duanya. Ia menantang para sastrawan dari zaman dulu hingga yang akan datang, untuk membuat yang semisal dengan al-Quran, satu ayat saja. Ini merupakan tantangan yang serius, namun tak ada satupun sastrawan dari dulu hingga sekarang yang mampu membuatnya. Kalaupun ada yang mencoba membuatnya, maka nilai sastra dan kandungan maknanya sangat rendah. Ini saja menunjukkan al-Quran adalah sastra Ilahi sebagai perwujudan kalam Allah.

Para ulama selanjutnya tak pernah lepas dari mempelajari sastra (nahwu, sharf, balaghah, dan sejarah sastra). Imam Syafi’i guna memahami al-Quran dan as-Sunnah, beliau mempelajari sastra Arab dari suku Arab pedalaman (Badui) bertahun-tahun lamanya. Karena menurut beliau, sastra Arab orang Badui masih terjaga kemurniaannya. Pada saat Nabi Muhammad Saw. hidup, bahasa Arab berada di puncak kemurniaannya, sehingga untuk memahami dengan jelas pesan-pesan Nabi, kita harus mempelajari sastra Arab yang masih murni itu. Selain sebagai seorang ulama fikih terkemuka, beliau dikenal juga sebagai seorang penyair ternama, salah satu syairnya adalah sebagai berikut:

Biarkan hari-hari berbuat semaunya

Dan buatlah hati ini rela ketika takdir itu tiba

Jangan gelisah dengan kelamnya malam

Karena peristiwa dunia ini tidak ada yang abadi

Begitupun dengan para mufasir al-Quran seperti Imam Zamakhsyari, Imam an-Nasafi, Imam ath-Thabari, Imam al-Qurthubi, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Ibnul Qayyim adalah para sastrawan. Karena tidak mungkin dapat memahami al-Quran kecuali mereka yang menguasai sastra Arab dengan baik.

Para ahli fikih seperti Imam Ibnu Hazm, Imam Sa’duddin at-Tafatazani, dan Imam Ibnu Taimiyah. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah telah mampu mengkritik Kitab Sibawayh – yang merupakan kitab rujukan para sastrawan – dengan bobot ilmiah yang cukup tinggi. Beliau mengatakan bahwa kitab Sibawayh itu memiliki 80 kesalahan. Sedangkan kemampuan sastra Imam Ibnu Hazm sudah tidak diragukan lagi. Beliau telah menulis kitab-kitab yang bermuatan sastra cukup tinggi. Mengenai Imam Sa’duddin, beliau telah menulis kitab ilmu Balaghah, Tahdzib as-Sa’di, dan Syarh Talkhis al-Miftah.

Para sufi seperti Jalaluddin ar-Rumi, Ibnu ar-Rumi, Fariduddin Attar, Abdurrahman al-Jami, Sa’di Syirazi, Hafidz Syirazi, Musthafa Shadiq ar-Rafi’i, dan sebagainya, juga dikenal sebagai sastrawan-sastrawan dunia yang tiada duanya. Mereka telah memperkenalkan sastra sufistik kepada dunia.

Sedangkan ulama-ulama kontemporer seperti Ustadz Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad al-Ghazali, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dan Dr. Aidh al-Qarni adalah ulama-ulama yang memperhatikan seni sastra agar karya tulis mereka menjadi lebih indah dan menyentuh hati pembacanya.

Sebelum menjadi seorang aktivis dakwah, Sayyid Quthb dikenal sebagai seorang kritikus sastra terkemuka Mesir. Kemudian setelah ”berhijrah”, beliau mempersembahkan kemampuan sastra-nya tersebut untuk kepentingan dakwah Islamiyah. Di antara karya terbaiknya adalah Fidzilalil Quran. Sebuah maha karya yang mempunyai muatan sastra yang cukup tinggi. Hal ini diakui oleh ulama-ulama dunia saat ini.

Syaikh Muhammad al-Ghazali – menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi – menulis buku-bukunya dengan balaghah yang cukup tinggi. Imam Hasan al-Banna merekomendasikan gaya kepenulisan Syaikh Muhammad al-Ghazali untuk ditiru oleh kader Ikhwanul Muslimin.

Sedangkan Dr. Yusuf al-Qaradhawi sudah berkutat pada dunia sastra sejak duduk di bangku sekolah dasar (ibtidaiyah). Bahkan beliau pernah berdebat dengan gurunya pada saat itu. Beliau mulai mempelajari sastra dengan membaca kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, Syarh Alfiyah karya Ibnu Aqil, Tahdzib as-Sa’di karya Tafatazani, Asrar al-Balaghah karya Imam Abdul Qahir, dan lain sebagainya. Selain itu, beliau juga mempelajari ilmu sejarah sastra Arab mulai dari masa Jahiliyah, zaman Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, hingga zaman modern. Selain aktivitas dakwahnya yang cukup padat, beliau masih menyempatkan diri menulis syair dan drama yang berjudul Yusuf ash-Shiddiq dan Alim wa ath-Thagiyah. Sehingga ada beberapa ulama menjuluki beliau sebagai seorang penyair. Salah satu syairnya berbunyi:

Wahai engkau yang tersingkirkan oleh gelapya malam, hadapilah ia dengan kesabaran

Karena siang dan malam akan selalu bergantian

(lihat) cuaca yang dapat cerah kembali meskipun awan telah menyelimutinya

Dan malam akan berakhir dengan tangannya berhasil menguasai Mesir

Padahal sebelumnya ia adalah penghuni penjara

Mengenai ulama-ulama Indonesia yang dikenal sebagai seorang sastrawan, kita kenal nama Raja Ali Haji, Hamzah Fanshuri, dan Buya HAMKA. Raja Ali Haji dikenal sebagai seorang mufti kerajaan di zamannya yang terkenal dengan Gurindam XII-nya. Hamzah Fanshuri dikenal sebagai penyair sufi. Sedangkan Buya HAMKA dikenal sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia yang telah sangat mahir menulis prosa, di antara karya-karyanya yang terkenal adalah: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Naungan Ka’bah, Melawat Ke Makkah, dan sebagainya.

Kesimpulan

Adalah sangat mengherankan mereka yang telah memisahkan sastra dari agama, bahwa sastra adalah untuk sastra, hanya sebagai hiburan belaka atau sekedar kajian ilmiah yang tak memiliki nafas-nafas ruhani. Dan juga sangat mengherankan orang yang memandang sastra berada diluar jalur syariat sehingga seorang muslim tidak perlu mempelajari. Bukankah apa yang telah disampaikan oleh sejarah, telah cukup menjadi bukti bahwa ulama dan sastra tidak bisa dipisahkan lagi?

Tidak ada komentar: