Kamis, 27 Desember 2007

SEBUAH RENUNGAN

SEBUAH RENUNGAN

Upaya untuk mencapai shalat yang khusyu’ merupakan upaya yang cukup berat. Semua bayangan yang berada di luar masjid masuk ke dalam pikiran kita. Sesuatu yang terlupa sebelum menunaikan shalat, menjadi teringat ketika kita sedang menunaikan shalat. Pengalaman yang menyedihkan ikut mengganggu shalat kita. Demikian pula hal-hal yang menyenangkan. Mendapat nilai terbaik di dalam kelas dapat mengganggu shalat seorang siswa. Di dalam shalatnya, dia merasa senang. Dia merasa bangga karena dapat mengalahkan sang juara kelas. Dia berencana akan menemui kedua orang tuanya dan menunjukkan nilai ujiannya yang terbaik. Suasana yang berkecamuk di dalam pikiran dan hati, semakin diperparah oleh ulah anak-anak kecil yang bercanda di sela-sela shalat berjamaah.
Anak-anak kecil ikut berbaris di antara shaf-shaf orang dewasa. Ketika imam mengucapkan wa laadh dhaalliin, maka serentak anak-anak berteriak aamiin dengan kerasnya. Keras hingga memekakkan telinga. Ini juga dilakukan pada rakaat berikutnya. Canda dan tawa menghiasi ibadah mereka. Saling pukul kadang mewarnai aktivitas shalat mereka. Seorang anak berupaya untuk khusyu’, namun sahabatnya senantiasa menggodanya. Yang tadinya tenang, mulai senyum-senyum hingga akhirnya ikut membuat gaduh.
Orang-orang dewasa yang ikut menunaikan shalat jama’ah dalam keadaan seperti ini, tentu merasa terganggu. Saya salah satunya. Saya merasa terganggu dengan ulah mereka. Ulah anak-anak itu terkadang memancing emosiku. Ingin rasanya menghentikan mereka. Kalau perlu menjewernya. Namun nampaknya tidak mungkin, saya harus menyesaikan shalat terlebih dahulu.
Usai menunaikan shalat, saya pun tidak dapat menasehati mereka. Setelah imam mengucapkan salam, anak-anak segera berlarian keluar dari masjid. Di samping itu, langkahku terhenti. Karena saya terkenang dengan ulah di waktu kecil yang tidak jauh berbeda dengan anak-anak itu.
Jika bulan Ramadhan tiba, saya bersama adik, serta seorang tetangga pergi ke masjid Sunda Kelapa untuk menunaikan shalat tarawih. Selain tetangga, biasanya teman sekolah saya sudah menunggu di masjid itu. Teman saya bernama Arif. Dia biasanya membawa kedua orang adiknya. Selain itu ada teman sekolah saya yang lain, Danny namanya. Walhasil kami bertujuh, anak-anak SD shalat tarawih di sana.
Untuk jamaah laki-laki, shalat di lantai dua. Di lantai dua terdapat ruangan inti dan dua selasar yang berada di sisi kanan dan kiri ruangan inti. Saya bersama teman-teman, biasanya mengambil selasar sisi kanan dan mengambil shaf terdepan. Di malam hari yang penuh bintang, kami menunaikan shalat Tarawih.
"Ya! Kok orang itu shalatnya begitu?" tanya temanku. Temanku bingung, mengapa orang itu setiap bersidekap, telapak tangan kanannya selalu diletakkan di atas telapak tangan kiri yang berada di dadanya.
"Bukankah bila bersidekap, telapak tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri dekat dengan sikut?"
Temanku yang lain juga merasa heran. "Kok? Ketika tahiyyatul akhir jari telunjuk orang itu digerak-gerakkan?"
Padahal belakangan setelah membaca buku Sifat Shalat Nabi -karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani- semua keheranan di waktu kecil, terjawab sudah. Baik telapak tangan kanan yang diletakkan di atas tangan kiri maupun jari telunjuk yang digerak-gerakkan. Semuanya berlandaskan pada hadits nabi Saw.
Berbagai komentar, obrolan dan canda keluar dari mulut kami, tidak terkecuali ketika khatib sedang ceramah. Tentu saja mengganggu jamaah lain yang sedang mendengarkan mutiara hikmah Ramadhan pada saat itu.
“Hei, jangan berisik. Lagi ada ceramah, seru seorang pemuda. Kadang ada juga yang menunjukkan ketidak senangannya dengan berdecak.
“C'ek!, anak-anak, kerjanya hanya main dan becanda,” begitu ungkap seorang bapak yang nampaknya kesal.
Teguran langsung atau sindiran, nampaknya tidak mempan bagi kami. Hingga pada suatu ketika, shalat tarawih usai. Seorang bapak tua datang menghampiri kami. Beliau bertanya, “Apa kalian yang tadi ribut ketika khatib berceramah?”
Kami menjawab, “Benar, pak.”
“Besok, jangan ribut lagi yach!”
“Ya pak.”
Dari informasi yang kami dengar, ternyata bapak tadi adalah khatib yang yang berceramah hari itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, bapak itu ternyata adalah Bung Tomo. Beliau adalah pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya..
Keesokkan harinya, Bung Tomo kembali menemui kami. “Kalian anak-anak yang kemarin ribut ya?”
“Ya pak”, jawab kami
“Karena hari ini kalian tidak ribut, maka ini hadiah dari bapak.” Bung Tomo menyerahkan sejumlah uang kepada kami.
Saya tersadar dari lamunan. Segala hal yang terjadi pada saat saya kecil terulang kembali pada saat ini. Di saat orang-orang sedang shalat berjamaah, terdapat anak-anak kecil yang mengganggu kekhusyu’an shalat. Hanya saja bedanya, dulu saya yang mengganggu kekhusyu’an shalat orang lain. Kini, saya yang terganggu dalam menunaikan shalat. Lantaran banyak anak-anak kecil yang ribut.
Masih dengan kondisi yang serupa. Pada suatu ketika di dekat rumah kami, terdengar bunyi petasan. Bunyinya amat keras, sehingga mengejutkanku. Tak lama berselang, kembali petasan lain berbunyi. “Door!” Keras bunyinya, memekakkan telinga.
Mendadak saja saya berteriak, “Wooi! Main petasannya jangan di sini!” Saya berjalan menuju pintu. Bermaksud melihat langsung siapa yang telah membuat ulah menyalakan petasan. Sampainya di pagar, saya perhatikan sekeliling rumah. Namun tidak ditemukan anak-anak atau siapa saja yang menunjukkan gelagat telah menyalakan petasan. Saya kembali masuk ke dalam rumah dan teringat peristiwa di masa kecil.
Sewaktu kecil saya tinggal di pemukiman yang padat. Di kanan dan kiri terdapat rumah para tetangga. Jika saya menangis, maka tetangga sebelah akan mendengarnya, begitu cerita kedua orang tuaku. Bila tetangga memasang tape radio agak sedikit keras, maka suara itu akan sampai ke rumah kami. Sehingga tidaklah heran, bila saya memasang petasan, maka tetangga yang mendengarnya akan marah dan merasa terganggu.
Pada suatu kali, saya memasang petasan. “Duaar!” begitulah kira-kira bunyinya. Tetanggaku yang merasa terganggu langsung keluar rumah. “Hey! Jangan berisik! Ada yang sakit!”, teriak teh Kokom. Saya dan teman yang mendengar teriakan itu, langsung lari terbirit-birit. Memang suami teh Kokom sedang sakit.
Keesokkan harinya, saya terkejut. Para tetangga menceritakan bahwa suami teh Kokom berpulang ke rahmatullah alias tutup usia. Betapa menyesalnya saya pada saat itu. Bagaimana kalau suami teh Kokom meninggal karena kaget setelah mendengar petasanku? Bagaimana kalau sakit suami teh Kokom itu adalah sakit jantung? Begitulah pikiranku pada saat itu.
Mengingat kenangan ini, saya menjadi malu sendiri. Malu untuk memarahi anak-anak yang bermain petasan. Karena saat usiaku sebaya mereka, saya melakukan hal yang sama.
Banyak hal yang tidak dapat dimengerti di masa kecil, baru dapat dipahami begitu menginjak usia dewasa.
Lelahnya ayahku bekerja, baru dapat dirasakan ketika kubekerja. Bagaimana rasanya ayah menghabiskan hari libur dengan bekerja, juga baru kurasakan setelah dewasa ini. Lelahnya ayah karena bekerja lembur, juga baru dapat dipahami dan dirasakan setelah saya pulang kerja lembur.
Mengapa semuanya baru disadari setelah kita dewasa? Mengapa kita tidak dapat menyadari bahwa berisik di saat orang-orang sedang shalat jamaah merupakan perbuatan yang mengganggu dan baru disadari saat ini? Mengapa kita terlambat menyadari bahwa membunyikan petasan di kawasan padat penduduk dapat mengganggu istirahat orang lain?
Jawabannya karena kita masih kecil. Anak kecil belum dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Mengganggu orang lain atau tidak. Yang ada di dalam pikiran anak kecil hanyalah kesenangan.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana dengan orang dewasa yang mengganggu orang lain? Bahkan merugikan, mendzalimi dan menyengsarakan orang lain? Orang dewasa yang mengeruk keuntungan dari orang lain dengan cara membuatnya sengsara? Belum lagi para kaki tangan, centeng, anak buah atau suruhan dari orang dewasa ini, yang berbuat semaunya. Mereka tidak peduli dengan kesulitan, kesengsaraan dan kebingungan orang lain. Yang ada dalam pikiran mereka adalah yang penting bos senang. Yang penting proyek bos gol. Bukankah orang yang sudah dewasa dapat membedakan antara baik dan buruk; benar dan salah? Mengganggu orang lain atau tidak? Atau mereka melakukan ini semua untuk sebuah kesenangan, seperti layaknya anak kecil? Apakah mereka harus terlebih dahulu, merasakan bagaimana didzalimi oleh orang lain? Apakah mereka harus merasakan bagaimana hidup susah di bawah kesenangan orang lain? Apakah semua ini harus terjadi terlebih dahulu, baru kemudian para penindas alias orang yang berbuat dzalim menjadi sadar? Sebagaimana saya merasa terganggu dengan anak-anak kecil yang ribut di saat shalat berjamaah? Sebagaimana saya merasa terganggu dengan anak-anak yang menyalakan petasan di kawasan padat?
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam lomba

Tidak ada komentar: