PENGAMEN DAN BIKER
Fir’aun, Namrudz, Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh musyrik lainnya merupakan orang-orang yang angkuh dan sombong. Mereka menganggap dirinya adalah Tuhan. Mereka tidak peduli dengan teguran dan nasehat orang lain, bahkan sampai ketika bukti-bukti kebenaran telah dibeberkan. Simak saja ayat[1] yang membahas mengenai Namrudz. Dia mengaku mampu menghidupkan dan mematikan manusia. Namun dia tidak mampu untuk menerbitkan matahari dari barat. Belum lagi keingkaran dan permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah Saw, sampai-sampai namanya diukir di dalam Al-Qur’an. Bukan sebagai pujian Allah terhadapnya, tetapi bukti dari keangkuhannya yang sudah terlewat batas.
Sebaliknya adapula orang-orang beriman yang dengan serta merta mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Lihat pribadi Abu Bakar! Di saat orang-orang kafir tidak mempercayai peristiwa Isra Miraj Nabi Saw. Beliau mengatakan, “Shadaqta Anta Muhammad!” atau anda benar, wahai Muhammad!. Kepatuhan orang-orang mukmin juga nampak ketika larangan meminum minuman memabukkan alias khamar turun. Begitu Allah menurunkan ayat yang mengharamkannya, serta-merta kaum mukmin meninggalkannya. Padahal sebelumnya, meminum khamar merupakan kebiasaan/adat orang-orang Arab pada umumnya, termasuk orang-orang mukmin. Setelah kaum mukmin menumpahkan dan membuang semua khamar yang dimiliki, kota Madinah banjir dengan minuman keras. Begitulah keterangan yang terdapat di dalam buku karya Yusuf Al-Qaradhawy[2].
Dari kalangan kaum wanitanya, ketundukan nampak jelas ketika ayat tentang jilbab turun. Diriwayatkan, ketika ayat tentang jilbab turun, kaum mukminat segera menerapkannya. Mereka tidak lagi memikirkan mode dan bahan yang digunakan; yang terpenting menutup aurat. Seperti yang diriwayatkan, kaum mukminat waktu itu memanfaatkan tirai/hordeng sebagai penutup aurat.
Namun masih adakah orang-orang yang bersikap seperti Abu Bakar dan kaum mukmin di masa Rasulullah? Masih adakah orang-orang seperti itu, di zaman yang sudah penuh dengan kemaksiatan? Masih adakah orang-orang yang mau menerima nasehat, di zaman kemaksiatan merupakan hal biasa, bukan lagi tabu? Jawabannya tunggu setelah yang satu ini, jangan kemana-mana!
Di sekitar akhir 2004, saya mendapat tugas dari bos untuk pergi ke kantor mitra bisnisnya. Memang kantorku memiliki hubungan kerja dengan kantor lain. Saya sudah biasa menjalankan tugas ini; yaitu mengantarkan berkas-berkas yang akan ditindak lanjuti oleh mitra kami.
Di dalam perjalanan, metro mini yang kutumpangi kedatangan dua orang pengamen. Seorang masih muda sekitar 20 tahunan dan yang satunya mungkin baru kelas 6 SD. Perpaduan suara anak muda dan anak kecil terasa indah juga. Sebab lengkingan anak kecil terasa beda dengan lengkingan anak muda. Lengkingan anak kecil terasa pure. Maksud lho?? Maksud gue suaranya terdengar jernih.
Mereka mendendangkan dua buah lagu. Begitu lagu pertama didendangkan, saya tidak ambil peduli. Karena tidak kenal, lagu siapa yang mereka nyanyikan. Yang jelas lagu itu bercerita tentang cinta. Nggak tahu persisnya, cinta monyet atau cinta sapi.
Tapi, begitu lagu kedua dilantunkan, saya senang sekali. Lagu ini biasa dinyanyikan oleh Iwan Fals bersama grupnya Swami. Bang Iwan merupakan seorang pemusik yang sukses di blantika musik Indonesia; yang karirnya di mulai dari pemusik jalanan. Mungkin, kedua pengamen ini juga ingin sukses seperti bang Iwan. Dengan melantunkan lagu berjudul Bongkar setidaknya mengingatkan mereka pada pelantun lagu ini. Seorang yang sukses dan berawal dari mengamen.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Itulah bait pertama lagu Bongkar didendangkan oleh kedua pengamen tersebut. Sayapun mengikuti lantunan mereka. Karena sedikit banyak, saya hapal lagu itu.
Oo ya o ya o ya bongkar
Oo ya o ya o ya bongkar
Lagu terus mengalun dan sayapun terus bergumam menirukan kedua pengamen itu. Namun, di saat-saat sedang asyiknya menyanyi, saya terkejut. Mengapa bait lagu yang saya nyanyikan berbeda dengan yang mereka lantunkan. Apakah saya yang salah atau mereka yang salah? Saya terdiam dan terus mendengarkan mereka bernyanyi. Ternyata, kedua pengamen itu yang salah. Karena pada bait-bait berikutnya mereka bingung untuk melanjutkan dan segera mengakhiri lagunya. Saya tahu, bait lagu yang harusnya mereka lantunkan di bait bawah, mereka lantunkan di bait atas.
Masih dengan menyimpan sedikit rasa kecewa, saya melanjutkan perjalanan ke tujuan. Dengan sekali lagi naik angkot, akhirnya saya sampai. Saya serahkan semua berkas yang diperlukan kepada Rizal, teman yang biasanya menerima berkas di kantor mitra kami. Semuanya sudah lengkap. Sehingga saya dapat berbincang-bincang dengan Rizal dan teman-temannya. Tanpa terasa saya sudah sekitar dua jam berbicara dengan mereka. Bagitulah keuntungan orang yang mempunyai tugas luar. Begitu tugas selesai, waktu digunakan sesuai dengan keinginan kita. Sedangkan mereka yang bertugas di dalam kantor akan terus menghadapi meja atau komputer, sambil tetap memasang telinga. Sebab lengah sedikit ketika bos memanggil, bisa runyam urusannya.
Saya pulang kembali naik metro mini. Baru saja metro mini melewati sekitar 3 halte, saya kembali kedatangan dua orang pengamen. Betapa terkejutnya, ternyata kedua orang pengamen yang datang adalah pengamen yang sebelumnya saya lihat. Pengamen yang keliru menyanyikan lagu Bongkar.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kedua orang pengamen itu kembali menyanyikan lagu Bongkar. Dengan gayanya yang meyakinkan mereka menyanyikan dengan lantang. Saya kembali ikut bernyanyi. Terus bernyanyi dan terus bernyanyi.
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Saya terus bernyanyi dan lagu berakhir dengan sempurna. Kali ini saya kagum pada mereka. Tidak satupun bait lagu yang salah dinyanyikan. Tidak ada satu baitpun yang tertukar.
Kalau sewaktu pergi memendam kekecewaan. Ketika pulang saya merasa gembira sekali. Bukan sekedar menyanyi dengan sempurna dan benar. Tapi kedua pengamen ini sudah menyadari kekeliruan yang mereka telah lakukan. Ini terbukti setelah dua jam kemudian, ketika saya hendak pulang ke rumah.
Betapa banyak orang yang tidak menyadari kekeliruannya. Alangkah banyak orang yang dinasehati, namun tidak pernah menyadari kekeliruannya. Lain halnya dengan kedua pengamen kita ini, mereka menyadari kekeliruan dan kekurangannya, walau tidak ada yang menasehatinya. Orang-orang seperti inilah yang mudah menerima kebenaran. Orang macam inilah yang dapat menerima nasehat dengan lapang dada. Beginilah sifat Abu Bakar dan orang-orang mukmin. Mereka tidak sombong dan angkuh. Bukankah kita masih ingat pidato Abu Bakar r.a., ketika beliau baru saja diangkat menjadi khalifah? Di dalam pidatonya, Abu Bakar berkata, “Hai kaum muslimin, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Tapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantulah dan jika saya salah, luruskanlah.[3]”
Di lain kesempatan, saya melihat sosok orang yang bertolak belakang dengan kedua pengamen tadi.
Karena jalanan macet, banyak kendaraan motor yang mengambil jalur orang lain. Angkot yang datang dari arah timur, hampir bertabrakan dengan motor yang datang dari arah barat. Pasalnya, motor ini telah mengambil jalur angkot tersebut. Karena nyaris bertabrakan, si pengendara motor marah-marah dan memukul angkot yang hampir menabraknya. Saya tahu benar, pengendara motorlah yang bersalah. Saya yang berada di angkot itu, melihat dengan jelas bahwa si pengendara motor mengambil jalur angkot. Namun, mengapa harus pengendara motor yang marah? Bukankah supir angkot yang lebih layak untuk marah?
Pengendara motor ini bersalah, namun tidak menyadari bahwa dirinya bersalah. Sebelum ditegur atau dinasehati, dia sudah mengambil sikap bahwa dirinyalah yang benar. Walhasil, orang yang merasa benar, tidak perlu dinasehati. Begitulah anggapannya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang memiliki watak seperti Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab dan Abu Jahal.
[1] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:258
[2] Iman dan Kehidupan (terj.) karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawy hal. 128-130, terbitan Bulan Bintang
[3] Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah (terj), karya Khalid Muhammad Khalid, terbitan CV Diponegoro
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam lomba penulisan
Fir’aun, Namrudz, Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh musyrik lainnya merupakan orang-orang yang angkuh dan sombong. Mereka menganggap dirinya adalah Tuhan. Mereka tidak peduli dengan teguran dan nasehat orang lain, bahkan sampai ketika bukti-bukti kebenaran telah dibeberkan. Simak saja ayat[1] yang membahas mengenai Namrudz. Dia mengaku mampu menghidupkan dan mematikan manusia. Namun dia tidak mampu untuk menerbitkan matahari dari barat. Belum lagi keingkaran dan permusuhan Abu Lahab terhadap Rasulullah Saw, sampai-sampai namanya diukir di dalam Al-Qur’an. Bukan sebagai pujian Allah terhadapnya, tetapi bukti dari keangkuhannya yang sudah terlewat batas.
Sebaliknya adapula orang-orang beriman yang dengan serta merta mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Lihat pribadi Abu Bakar! Di saat orang-orang kafir tidak mempercayai peristiwa Isra Miraj Nabi Saw. Beliau mengatakan, “Shadaqta Anta Muhammad!” atau anda benar, wahai Muhammad!. Kepatuhan orang-orang mukmin juga nampak ketika larangan meminum minuman memabukkan alias khamar turun. Begitu Allah menurunkan ayat yang mengharamkannya, serta-merta kaum mukmin meninggalkannya. Padahal sebelumnya, meminum khamar merupakan kebiasaan/adat orang-orang Arab pada umumnya, termasuk orang-orang mukmin. Setelah kaum mukmin menumpahkan dan membuang semua khamar yang dimiliki, kota Madinah banjir dengan minuman keras. Begitulah keterangan yang terdapat di dalam buku karya Yusuf Al-Qaradhawy[2].
Dari kalangan kaum wanitanya, ketundukan nampak jelas ketika ayat tentang jilbab turun. Diriwayatkan, ketika ayat tentang jilbab turun, kaum mukminat segera menerapkannya. Mereka tidak lagi memikirkan mode dan bahan yang digunakan; yang terpenting menutup aurat. Seperti yang diriwayatkan, kaum mukminat waktu itu memanfaatkan tirai/hordeng sebagai penutup aurat.
Namun masih adakah orang-orang yang bersikap seperti Abu Bakar dan kaum mukmin di masa Rasulullah? Masih adakah orang-orang seperti itu, di zaman yang sudah penuh dengan kemaksiatan? Masih adakah orang-orang yang mau menerima nasehat, di zaman kemaksiatan merupakan hal biasa, bukan lagi tabu? Jawabannya tunggu setelah yang satu ini, jangan kemana-mana!
Di sekitar akhir 2004, saya mendapat tugas dari bos untuk pergi ke kantor mitra bisnisnya. Memang kantorku memiliki hubungan kerja dengan kantor lain. Saya sudah biasa menjalankan tugas ini; yaitu mengantarkan berkas-berkas yang akan ditindak lanjuti oleh mitra kami.
Di dalam perjalanan, metro mini yang kutumpangi kedatangan dua orang pengamen. Seorang masih muda sekitar 20 tahunan dan yang satunya mungkin baru kelas 6 SD. Perpaduan suara anak muda dan anak kecil terasa indah juga. Sebab lengkingan anak kecil terasa beda dengan lengkingan anak muda. Lengkingan anak kecil terasa pure. Maksud lho?? Maksud gue suaranya terdengar jernih.
Mereka mendendangkan dua buah lagu. Begitu lagu pertama didendangkan, saya tidak ambil peduli. Karena tidak kenal, lagu siapa yang mereka nyanyikan. Yang jelas lagu itu bercerita tentang cinta. Nggak tahu persisnya, cinta monyet atau cinta sapi.
Tapi, begitu lagu kedua dilantunkan, saya senang sekali. Lagu ini biasa dinyanyikan oleh Iwan Fals bersama grupnya Swami. Bang Iwan merupakan seorang pemusik yang sukses di blantika musik Indonesia; yang karirnya di mulai dari pemusik jalanan. Mungkin, kedua pengamen ini juga ingin sukses seperti bang Iwan. Dengan melantunkan lagu berjudul Bongkar setidaknya mengingatkan mereka pada pelantun lagu ini. Seorang yang sukses dan berawal dari mengamen.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Itulah bait pertama lagu Bongkar didendangkan oleh kedua pengamen tersebut. Sayapun mengikuti lantunan mereka. Karena sedikit banyak, saya hapal lagu itu.
Oo ya o ya o ya bongkar
Oo ya o ya o ya bongkar
Lagu terus mengalun dan sayapun terus bergumam menirukan kedua pengamen itu. Namun, di saat-saat sedang asyiknya menyanyi, saya terkejut. Mengapa bait lagu yang saya nyanyikan berbeda dengan yang mereka lantunkan. Apakah saya yang salah atau mereka yang salah? Saya terdiam dan terus mendengarkan mereka bernyanyi. Ternyata, kedua pengamen itu yang salah. Karena pada bait-bait berikutnya mereka bingung untuk melanjutkan dan segera mengakhiri lagunya. Saya tahu, bait lagu yang harusnya mereka lantunkan di bait bawah, mereka lantunkan di bait atas.
Masih dengan menyimpan sedikit rasa kecewa, saya melanjutkan perjalanan ke tujuan. Dengan sekali lagi naik angkot, akhirnya saya sampai. Saya serahkan semua berkas yang diperlukan kepada Rizal, teman yang biasanya menerima berkas di kantor mitra kami. Semuanya sudah lengkap. Sehingga saya dapat berbincang-bincang dengan Rizal dan teman-temannya. Tanpa terasa saya sudah sekitar dua jam berbicara dengan mereka. Bagitulah keuntungan orang yang mempunyai tugas luar. Begitu tugas selesai, waktu digunakan sesuai dengan keinginan kita. Sedangkan mereka yang bertugas di dalam kantor akan terus menghadapi meja atau komputer, sambil tetap memasang telinga. Sebab lengah sedikit ketika bos memanggil, bisa runyam urusannya.
Saya pulang kembali naik metro mini. Baru saja metro mini melewati sekitar 3 halte, saya kembali kedatangan dua orang pengamen. Betapa terkejutnya, ternyata kedua orang pengamen yang datang adalah pengamen yang sebelumnya saya lihat. Pengamen yang keliru menyanyikan lagu Bongkar.
Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kedua orang pengamen itu kembali menyanyikan lagu Bongkar. Dengan gayanya yang meyakinkan mereka menyanyikan dengan lantang. Saya kembali ikut bernyanyi. Terus bernyanyi dan terus bernyanyi.
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Saya terus bernyanyi dan lagu berakhir dengan sempurna. Kali ini saya kagum pada mereka. Tidak satupun bait lagu yang salah dinyanyikan. Tidak ada satu baitpun yang tertukar.
Kalau sewaktu pergi memendam kekecewaan. Ketika pulang saya merasa gembira sekali. Bukan sekedar menyanyi dengan sempurna dan benar. Tapi kedua pengamen ini sudah menyadari kekeliruan yang mereka telah lakukan. Ini terbukti setelah dua jam kemudian, ketika saya hendak pulang ke rumah.
Betapa banyak orang yang tidak menyadari kekeliruannya. Alangkah banyak orang yang dinasehati, namun tidak pernah menyadari kekeliruannya. Lain halnya dengan kedua pengamen kita ini, mereka menyadari kekeliruan dan kekurangannya, walau tidak ada yang menasehatinya. Orang-orang seperti inilah yang mudah menerima kebenaran. Orang macam inilah yang dapat menerima nasehat dengan lapang dada. Beginilah sifat Abu Bakar dan orang-orang mukmin. Mereka tidak sombong dan angkuh. Bukankah kita masih ingat pidato Abu Bakar r.a., ketika beliau baru saja diangkat menjadi khalifah? Di dalam pidatonya, Abu Bakar berkata, “Hai kaum muslimin, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Tapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantulah dan jika saya salah, luruskanlah.[3]”
Di lain kesempatan, saya melihat sosok orang yang bertolak belakang dengan kedua pengamen tadi.
Karena jalanan macet, banyak kendaraan motor yang mengambil jalur orang lain. Angkot yang datang dari arah timur, hampir bertabrakan dengan motor yang datang dari arah barat. Pasalnya, motor ini telah mengambil jalur angkot tersebut. Karena nyaris bertabrakan, si pengendara motor marah-marah dan memukul angkot yang hampir menabraknya. Saya tahu benar, pengendara motorlah yang bersalah. Saya yang berada di angkot itu, melihat dengan jelas bahwa si pengendara motor mengambil jalur angkot. Namun, mengapa harus pengendara motor yang marah? Bukankah supir angkot yang lebih layak untuk marah?
Pengendara motor ini bersalah, namun tidak menyadari bahwa dirinya bersalah. Sebelum ditegur atau dinasehati, dia sudah mengambil sikap bahwa dirinyalah yang benar. Walhasil, orang yang merasa benar, tidak perlu dinasehati. Begitulah anggapannya. Orang-orang seperti ini adalah orang yang memiliki watak seperti Fir’aun, Namrudz, Abu Lahab dan Abu Jahal.
[1] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:258
[2] Iman dan Kehidupan (terj.) karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawy hal. 128-130, terbitan Bulan Bintang
[3] Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah (terj), karya Khalid Muhammad Khalid, terbitan CV Diponegoro
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikut sertakan dalam lomba penulisan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar