PERASAAN
Perasaan manusia kadang kala sejalan dengan kebenaran. Rasa kasihan dan prihatin yang muncul dari diri manusia sejalan dengan anjuran Rasulullah saw untuk membantu tetangga kita yang sedang kelaparan. Namun, kadang-kadang perasaan tidak sejalan dengan kebenaran. Pada saat itu, manusia dituntut untuk mengesampingkan perasaannya dan mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Pada awal munculnya Islam, banyak sekali tantangan yang muncul. Diantaranya tantangan yang muncul dari pihak keluarga, hal ini seperti yang dialami oleh sahabat Mushab bn Umair ra. Mushab mendapat tantangan dari ibunya. Ibu beliau tidak setuju dengan perubahan yang ada pada diri anaknya, yaitu anaknya memeluk Islam. Hingga ibu beliau memohon berulang kali agar anaknya kembali kepada agama nenek moyang. Namun, setelah ibu beliau mengetahui bahwa semua usaha yang telah dilakukannya itu gagal, kembali ia berusaha untuk memurtadkan anaknya. Kali ini ia mengancam dengan aksi mogok makan hingga mati. Bagi seorang manusia, tentu akan muncul perasaan kasihan, tidak tega dan seterusnya. Apalagi orang itu adalah orang tua kita. Orang yang telah merawat kita hingga menjadi dewasa. Tapi, apa yang terjadi ??. Mushab tetap pada pendiriannya, bahkan ia sanggup menunggu hingga ibunya mati. Ia berkata, “Andaikan ibu memiliki nyawa yang banyaknya hingga 100 dan nyawa ibu keluar dari diri ibu satu persatu, maka saya akan tetap memeluk dienul Islam”. Ini satu contoh bahwa perasaan kasihan tidak sejalan dengan kebenaran dan merupakan contoh bahwa kita dituntut untuk mengesampingkan perasaan serta mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Hal ini juga dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS yang mau mengorbankan/menyembelih anaknya, Ismail AS demi melaksanakan perintah Allah swt.. Nabi Muhammad saw pun mencontohkan hal itu, hingga beliau saw berjanji akan memotong tangan Fatimah ra, putri beliau saw, jika terbukti mencuri. Jika Ibrahim AS dan Muhammad SAW mendahulukan perasaannya tentu beliau berdua akan mengabaikan perintah Allah..
Alqur’an menjelaskan pula betapa pentingnya menegakkan hukum Allah swt dan mengesampingkan perasaan. Hal ini termaktub di dalam AlQur’an surat An Nuur ayat 2, yang artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat……..”.
Nampaknya setelah Ramadhaan ini, merupakan momentum tepat, bagi kita untuk kembali memegang teguh prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Islam. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk hanyut dalam perasaan, sementara itu kebenaran terabaikan. Terabaikan karena oleh sesuatu yang namanya perasaan.
Perasaan manusia kadang kala sejalan dengan kebenaran. Rasa kasihan dan prihatin yang muncul dari diri manusia sejalan dengan anjuran Rasulullah saw untuk membantu tetangga kita yang sedang kelaparan. Namun, kadang-kadang perasaan tidak sejalan dengan kebenaran. Pada saat itu, manusia dituntut untuk mengesampingkan perasaannya dan mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Pada awal munculnya Islam, banyak sekali tantangan yang muncul. Diantaranya tantangan yang muncul dari pihak keluarga, hal ini seperti yang dialami oleh sahabat Mushab bn Umair ra. Mushab mendapat tantangan dari ibunya. Ibu beliau tidak setuju dengan perubahan yang ada pada diri anaknya, yaitu anaknya memeluk Islam. Hingga ibu beliau memohon berulang kali agar anaknya kembali kepada agama nenek moyang. Namun, setelah ibu beliau mengetahui bahwa semua usaha yang telah dilakukannya itu gagal, kembali ia berusaha untuk memurtadkan anaknya. Kali ini ia mengancam dengan aksi mogok makan hingga mati. Bagi seorang manusia, tentu akan muncul perasaan kasihan, tidak tega dan seterusnya. Apalagi orang itu adalah orang tua kita. Orang yang telah merawat kita hingga menjadi dewasa. Tapi, apa yang terjadi ??. Mushab tetap pada pendiriannya, bahkan ia sanggup menunggu hingga ibunya mati. Ia berkata, “Andaikan ibu memiliki nyawa yang banyaknya hingga 100 dan nyawa ibu keluar dari diri ibu satu persatu, maka saya akan tetap memeluk dienul Islam”. Ini satu contoh bahwa perasaan kasihan tidak sejalan dengan kebenaran dan merupakan contoh bahwa kita dituntut untuk mengesampingkan perasaan serta mendahulukan pelaksanaan kebenaran.
Hal ini juga dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS yang mau mengorbankan/menyembelih anaknya, Ismail AS demi melaksanakan perintah Allah swt.. Nabi Muhammad saw pun mencontohkan hal itu, hingga beliau saw berjanji akan memotong tangan Fatimah ra, putri beliau saw, jika terbukti mencuri. Jika Ibrahim AS dan Muhammad SAW mendahulukan perasaannya tentu beliau berdua akan mengabaikan perintah Allah..
Alqur’an menjelaskan pula betapa pentingnya menegakkan hukum Allah swt dan mengesampingkan perasaan. Hal ini termaktub di dalam AlQur’an surat An Nuur ayat 2, yang artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat……..”.
Nampaknya setelah Ramadhaan ini, merupakan momentum tepat, bagi kita untuk kembali memegang teguh prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Islam. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk hanyut dalam perasaan, sementara itu kebenaran terabaikan. Terabaikan karena oleh sesuatu yang namanya perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar