Kamis, 27 Desember 2007

MEMBACA YUK!

MEMBACA YUK!
Hobi ayahku adalah membaca. Terutama membaca buku novel. Hobinya ini sudah berjalan cukup lama. Semenjak kecil. Beliau bercerita bahwa dia pernah membaca sebuah cerita menarik yang berjudul ‘Sebatang Kara’. Mendengar judul cerita ini, saya menjadi terkejut. Kenapa? Karena judul cerita ini sama dengan judul cerita yang pernah saya baca ketika masih kecil. Saya membacanya dari sebuah majalah anak-anak yang dimuat secara bersambung. Saya tanyakan padanya, “Apakah pemeran utamanya bernama Remi? Apakah Remi ditemani oleh seorang kakek yang piawai bermain biola? Apakah mereka juga ditemani oleh seekor kera dan anjing? Apakah mereka semuanya merupakan rombongan sirkus jalanan? Sirkus jalanan yang berkeliling dari desa satu ke desa yang lain atau mungkin ke kota lain?” Semua pertanyaan itu dijawab oleh ayah saya, “Ya benar!”
Saya membaca cerita itu kurang lebih 25 tahunan yang lalu. Sudah cukup lama memang. Apalagi ayah saya. Dia mungkin membaca cerita itu 60 tahunan yang lalu.
Hobi ayah ini diteruskan ketika beliau berada di luar negri. Waktu itu beliau masih muda dan ikut dengan kakek saya yang sedang bertugas di KBRI. Walau buku yang terbit di luar negri berbahasa Inggris, beliau tetap membacanya. Untuk mendukung hobinya ini, beliau belajar bahasa Inggris. Salah satu pesan guru bahasa Inggrisnya adalah cari kata yang sulit dimengerti dan sering digunakan dalam bacaan. Pesan gurunya diikuti. Ketekunannya ini membuahkan hasil. Beliau menjadi piawai berbahasa Inggris. Buku-buku bacaannya didominasi berbahasa Inggris. Saking pandainya berbahasa Inggris, beliau lebih mampu menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris daripada ke dalam bahasa Indonesia. Artinya beliau lebih siap menerjemahkan teks Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Bukan sebaliknya. Kemampuan bahasanya ini suatu saat dimanfaatkannya. Beliau sering menerima order menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pendapatan dari menerjemah ini lumayan besar, apalagi ketika penghasilan kerja beliau di kantor sedang minim. Semua ini bermula dari hobinya membaca.
Ketika sudah berkeluarga hobi ini terus berlanjut. Saya yang masih kecil terkagum-kagum melihat koleksi buku novelnya. Ada karya Ian Flemming, Agatha Christie, Irving Wallace, Robert Ludlum, Sidney Seldon, Ross Macdonald dan penulis lainnya. Koleksinya ratusan lebih. Setiap hari beliau membaca buku-buku novel itu. Kebanyakan buku-buku itu telah dibacanya berulang kali. Terkadang beliau ceritakan beberapa buku yang menarik. Ada novel yang berkisah tentang penculikan beberapa orang ilmuwan dari seluruh dunia dan dikumpulkan di suatu daerah. Ada pula yang mengisahkan tentang biro pembunuhan. Ada pula cerita tentang skandal pemberian hadiah Nobel.
Kebiasaannya membaca di depan anak-anak, nampaknya berpengaruh padaku. Apalagi ketika ayah membelikanku beberapa buah komik. Komik-komik di waktuku kecil kebanyakan buah karya komikus tanah air. Sebut saja Wid Ns, Hasmi, Djair, Ganes Th dan sebagainya. Saya kenal Gundala Putra Petir dari komik, bukan dari film. Saya tahu Jaka Sembung, Kinong, dan Si Tolol, bukan dari film.
Bacaan yang kubaca semakin beragam. Saya tahu penemu dinamit, telepon, serum dari koleksi buku-buku saya. Waktu itu, saya sempat gemar membaca buku-buku ilmu pengetahuan. Saya pernah punya koleksi buku mengenai berbagai ilmu pengetahuan. Seingat saya buku itu berjudul "Kenapa dan Mengapa?" Buku ini terdiri dari 17 jilid dengan halaman yang lumayan tebal.
Dengan membaca kita akan merasa selangkah lebih maju dibandingkan dengan yang lain. Kurang lebih, mungkin seperti ungkapan Mohammad Fauzil Adhim ketika beliau masih kecil. Di saat teman-temannya bercerita tentang film yang ditontonnya, mas Fauzil Adhim kecil bercerita tentang buku yang dibacanya. Ketertarikan teman-teman pada ceritanya, menumbuhkan rasa percaya diri yang luar biasa[1]. Tentu kita masih ingat dengan kuis miliaran rupiah. Dalam salah satu episodenya, ada seorang loper koran berhasil menjawab hampir seluruh pertanyaan. Tinggal 1 pertanyaan lagi yang tidak dijawabnya. Dia berhasil memperoleh uang sebesar Rp 500 juta rupiah. Suatu jumlah yang hanya segelintir orang –yang ikut kuis tersebut- saja yang dapat memperolehnya. Bagaimana rasanya, jika kita yang berhasil memperolehnya? Bagaimana perasaan orang tua si loper koran itu? Mengapa seorang loper koran dapat membuat sejarah spektakuler seperti itu? Kita tidak mungkin bertanya apa yang dimakannya? Kita akan bertanya apa yang dibac………nya?
Coba bayangkan, jika kita sedang menghadapi ujian semester atau akhir. Soal ujiannya adalah multiple choice. Jawabannya adalah salah satu dari 4 pilihan yang tersedia. Karena kita telah belajar alias membaca, maka kita dapat menjawabnya. Sementara itu teman-teman sedang menghitung kancing dari atas ke bawah dan sebaliknya. Jika jarinya berakhir di kancing terbawah maka jawabannya D. Namun jika kancingnya berakhir di atas, maka jawabannya A. Sebagian anak ada yang mencoba menyontek temannya. Karena jawabannya berbeda dengan jawaban temannya, maka dia merobah jawabannya sendiri. Itulah contoh anak yang tidak membaca. Jalan hidupnya hanya coba-coba alias trial and error. Jalan hidupnya selalu dipengaruhi orang lain. Tidak mempunyai pendirian.
Ketika duduk di bangku SLTP, saya mulai membaca buku remaja. Saya membaca buku novel remaja milik ayah. Saya amat tertarik sekali dengan karya Teguh Esha. Dia mengangkat kisah seorang pemuda broken home yang bernama Ali Topan. Dia pemuda urakan. Bila di jalan raya bersama ketiga temannya mereka adalah raja jalanan. Bila di kelas, tidak henti-hentinya mereka mempermainkan guru. Namun ada hal lain yang terdapat di dalam diri Ali Topan. Walaupun urakan, suka ngebut dan terkadang songong pada guru, dia termasuk anak terpandai di sekolahnya. Bila ujian sekolah, dia selalu selesai lebih awal dibanding teman-temannya. Gurunya kagum melihat jawaban ujian yang baru diterimanya dari Ali Topan. Dia geleng-geleng kepala. Kagum pada kepandaian Ali Topan, prihatin karena keurakannya. Begitulah kurang lebih Teguh Esha menggambarkan sosok Ali Topan.
Sosok Ali Topan ini amat mempengaruhi diri saya. Maklum kedua serial Ali Topan, saya baca berulang kali. Saya menjadi anak yang pandai di kelas. Selalu bersaing dengan teman yang menempati rangking pertama. Walhasil selama duduk di bangku SLTP, saya selalu termasuk salah satu murid yang mendapat rangking. Diantara 3 ratusan murid (10 kelas) , saya paling tidak menduduki urutan ke 13. Pengaruh Ali Topan lainnya adalah setiap malam minggu, saya pergi menonton di bioskop. Seorang diri. Saya mengenakan jaket jeans, persis gaya berpakaiannya Ali Topan. Saya juga banyak mempunyai teman, dari mulai tukang roti, tukang sol sepatu hingga tukang gado-gado. Karena sosok Ali Topan adalah sosok orang yang banyak mempunyai teman. Mulai dari tukang koran hingga tukang rokok.
Begitulah pengaruh bacaan. Dapat merubah pemahaman dan perilaku seseorang. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Mohammad Fauzil Adhim. Beliau mengatakan, "Permen karet Hilman "Lupus" adalah contoh sederhana bagaimana tulisan bisa menyihir remaja. Para remaja berlomba-lomba belajar menggelembungkan permen karet di mulut mereka. Andaikan ide yang begitu menggoda itu sedikit lebih tinggi nilainya, betapa dahsyat kekuatan perubahan yang akan dihasilkan[2].
Setelah lulus kuliah, saya tidak langsung bekerja. Saya sempat memberikan privat bahasa Arab di dua tempat, masing-masing seminggu dua kali. Karena banyak waktu luang, maka waktu untuk membaca juga terhampar luas. Kesempatan saya untuk membaca koran menjadi lapang. Pada saat itu, Indonesia baru saja terkena krisis moneter. Banyak kredit macet yang berakibat pada banyaknya bank yang dilikuidasi atau paling tidak di-merger. Itu berarti banyak pegawai bank yang di PHK atau pensiun muda. Akibat lainnya arus modal tersendat. Jika arus modal tersendat, maka kegiatan perekonomian pun menjadi macet. Setelah membaca mengenai hal ini, saya jadi teringat pada hukum Islam. Hukum Islam yang melarang kita untuk menimbun uang/harta (kanzul mal) dan menimbun barang (ihtikar). Saya juga teringat pada riwayat mengenai seorang sahabat Rasulullah Saw yang bernama Abdurrahman bin Auf r.a. Dia adalah salah seorang sahabat rasul yang kaya. Beliau mengklasifikasikan hartanya menjadi tiga bagian. Pertama, untuk diri dan keluarganya. Kedua, hartanya yang dalam bentuk piutang. Ketiga, hartanya yang disiapkan untuk diberikan atau dipinjamkan atau untuk modal orang yang membutuhkan. Ingatan ini, menggugah saya untuk menulis. Menulis mengenai pengertian penimbunan harta (kanzul mal) dan bedanya dengan orang yang menabung (non riba). Perlunya pemerintah untuk mengumpulkan para konglomerat agar menjadi Abdurrahman bin Auf di zaman milenium. Sehingga tidak ada harta yang ditimbun (kanzul mal). Selain itu, harta mereka dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang membutuhkan modal. Semua pikiran dan ide-ide ini sekali lagi menggugah saya untuk menulis. Saya mencoba untuk menunda penulisan ide-ide yang ada di kepala saya ini, namun sulit. Tidur saya menjadi terganggu. Begitu ide-ide itu mulai dituangkan dalam tulisan, saya dapat menuangkannya dengan cepat dan lancar. Masalah kurangnya modal -akibat bank dilikuidasi atau di-merger, diatasi dengan menarik modal dari para konglomerat. Ajak para konglomerat untuk meminjamkan (tanpa bunga) hartanya. Kalau tidak mau, dia dapat mengadakan kerja sama dengan orang yang memiliki rencana bisnis, namun tidak mempunyai modal. Tulisan saya terus mengalir. Begitulah ketika waktu untuk membaca lapang. Namun begitu waktu untuk membaca tersita oleh pekerjaan kantor, saya jadi kurang membaca. Akibatnya, saya tidak produktif menulis.

[1] Dunia kata, karya Mohammad Fauzil Adhim, hal 21, penerbit Dar Mizan

[2] Dunia kata, karya Mohammad Fauzil Adhim, hal 27, penerbit Dar Mizan

Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang diikutsertakan dalam lomba

Tidak ada komentar: