MOTORKU MALANG
Ledakan bom di Indonesia tidak saja membuat penduduk dunia terguncang, memeras air mata serta menyisakan beribu-ribu pertanyaan. Tetapi ternyata bisa juga mengundang tawa anak manusia. Pengalaman ini terjadi tepat beberapa hari setelah ledakan yang terjadi di kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ). Saat itu saya bekerja di salah satu perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di kawasan Jakarta Selatan. Perusahaan jasa ini melayani setiap warga negara Indonesia yang ingin bekerja ke luar negri. Tugas utama saya adalah membawa paspor ke Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA), guna memperoleh izin masuk para TKI ke negara Saudi. Begitulah jika kita ingin pergi ke luar negri. Setiap orang harus mempunyai surat izin masuk dari kedutaan negara yang dituju. Untuk memperlancar tugas, perusahaan memberi saya sebuah motor. Demikian pula dengan teman-teman saya yang berasal dari PJTKI yang lainnya. Mereka rata-rata diberi fasilitas sebuah motor oleh perusahaannya. Motor merupakan alat transportasi yang penting bagi kami. Karena waktu yang disediakan KBSA -untuk pengurusan TKI- terbatas. Sehingga kami tidak boleh terlambat.
Bila para petugas berbagai macam PJTKI datang ke KBSA ini, maka penuhlah halaman kedutaan dengan berbagai macam motor. Baik motor keluaran baru maupun keluaran lama. Ada motor yang terawat, adapula yang tak terawat, semuanya deh ada di situ. Motor saya termasuk motor keluaran baru, namun motor itu tak terawat. Sehingga ada cacat di sana-sini. Rem belakang sudah tak berfungsi. Ekor bagian belakang motor sudah tidak ada.
Sejak peristiwa peledakan kantor BEJ, penjagaan di KBSA menjadi semakin ketat. Kami harus diperiksa satu persatu oleh satpam warga negara Saudi dengan menggunakan detektor. Kemudian kami harus melewati gerbang detektor. Bila terdengar tanda sesuatu, maka kami diperiksa ulang. Atau kami disuruh keluar terlebih dahulu, untuk meninggalkan barang-barang yang menjadi sumber penyebab nyala atau bunyinya alat detektor. Begitulah tiap hari.
Pada suatu hari, salah seorang satpam warga negara Saudi keluar melihat keadaan. Ketika ia sampai di halaman kedutaan, tiba-tiba ia menunjuk sebuah motor yang letaknya sejajar dengan pintu gerbang kedutaan. Lalu ia mengisyaratkan agar motor itu dipindahkan ke tempat yang lain. “Eh, itu motor lo Ya!”, teriak salah seorang teman saya. “Dia minta motor lo dipindahin. Dia takut motor lo ada bomnya, kali”, teriak teman saya yang lain. Mendengar ungkapan ini tertawalah teman-teman saya yang lain. Maklum motor saya termasuk yang terjelek diantara motor-motor yang lain. Sehingga mungkin wajar, kalau motor saya dicurigai ada bomnya. Dengan perasaan malu dan sedikit sedih saya pindahkan motor itu. Oh ….motorku malang.
Motorku ini juga hampir mencelakan temanku. Suatu ketika motorku dipinjam oleh seorang teman. Dia bawa ngebut motor itu. Sampai pada suatu saat dia harus mengerem, namun ternyata rem belakang tidak lagi berfungsi. Temanku kaget, namun dengan refleks dia menurunkan 'gigi' hingga posisi gigi netral. Hingga akhirnya, dia terhindar dari kecelakaan.
Begitu kami bertemu, dia berkata, "Ya! Motor loh nggak ada rem belakangnya ya?"
"Oh ya, sorry Nang. Gue lupa ngasih tahu loh."
"Gue hampir nabrak. Motor lagi gue bawa ngebut. Pas gue mau rem belakang, ternyata remnya nggak ada. Tadinya gue pakai rem depan, tapi gue ngeri, motornya akan berputar dan gue bisa celaka. Akhirnya gigi motor gue turunin sampai gigi netral."
"Sekali lagi, sory ya Nang."
"Nggak masalah Ya."
Kejadian di atas menyangkut motor kantor yang biasa kupakai. Motorku yang malang. Namun ternyata, ketika saya memiliki motor sendiri, nasibnya tidak jauh berbeda dengan motor kantor itu. Bahkan lebih parah.
Suatu ketika, saya diminta bos untuk datang lebih pagi. Saya diminta untuk mengantarkan para TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke kantor imigrasi.
Saya berangkat dengan motor kesayangan. Dari jalan Jatiwaringin menuju jalan Kampung Sawah. Motor yang kugunakan adalah motor tahun 80’an. Pada saat kupakai usianya sudah remaja, sekitar 20 tahunan. Walau harganya murah, namun saya sangat membanggakannya.
Pagi-pagi sekali, saya beri minum motor itu hingga perutnya kembung alias full tank. Suasana pagi yang sejuk itu, tidak pernah terpikir olehku akan menjadi hari yang menyedihkan. Bagiku hari itu adalah hari uji kesabaran. Betapa tidak, di saat badan lelah, perut lapar dan terasa ngantuk, musibah itu terjadi.
Motor saya arahkan ke pasar Pondok Gede. Sesampai di jalan Gamprit, saya berbelok ke kiri. Saya ingin memotong jalan dan akan mengambil jalan yang tidak terlalu macet.
Selama perjalanan tidak banyak mengalami halangan. Baik dari segi macet maupun dari segi jalannya. Jalan yang kulalai hingga persimpangan Tol Jatiwarna semuanya mulus, tidak ada yang berlubang. Namun bagitu saya masuk jalan Kampung Sawah, jalanan mulai banyak ‘bekas jerawatnya’. Baru saja bebas dari satu lubang, saya memasuki jalanan yang penuh batu. Jika batu itu hanya kecil-kecil, tidak masalah. Tapi batu-batunya itu ada yang besar, ada yang sebesar kepalan tangan dan ada pula yang kerikil. Kekesalan melewati jalan ini, semakin sempurna. Karena jalanan ini juga dilengkapi dengan ‘polisi tidurnya’. Karena gundukan polisi tidur, jalan berbatu serta jalan yang berlubang itulah, motorku beberapa kali terguncang.
Hingga pada suatu ketika, saya merasakan punggung terasa hangat. Tak lama berselang, orang-orang yang berada di pinggir jalan berteriak api! api!. Sejurus kemudian, api sudah berada diantara pahaku. Dengan refleks motor itu kulepaskan dan langsung kusambar tas. Motorku terus terbakar. Mau mencari air di selokan tidak kutemui. Air selokannya kering. Saya melihat ada setumpuk pasir di dekat sana, tapi pasir itu telah mengeras. Walhasil, motorku itu terus terbakar. Bensin yang berada di tangki motorku, nampaknya membuat si jago merah semakin semangat beraksi. Aku pasrah.
Tubuhku lemas. Lemas bukan karena melihat peristiwa yang mengejutkan itu saja. Tapi memang pada saat itu saya sedang berpuasa. Saat itu bulan Ramadhan.
Berbagai perasaan yang kurasakan. Kesal, marah, bingung, sedih dan menyesal. Bingung karena saya harus menyelesaikan tugas dari bos. Sebab bila tugas tidak diselesaikan, bos tentu akan marah. Bingung bagaimana saya melaporkan kejadian ini kepada orang tua. Karena memang motor itu pemberian orang tuaku. Sedih karena motor itu belum lama ‘jadian’ denganku. Belum lagi genap 6 bulan, ‘kekasihku itu’ telah pergi meninggalkanku. Saya lagi sayang-sayangnya dengan motor itu. Walau larinya tidak terlalu kencang, namun dia telah mendampingiku kemana saja kupergi. Baik tempat yang jauh maupun yang dekat. Kesal, marah dan menyesal, mengapa saya tidak teliti pada motor itu? Mengapa saya tidak periksa seluruh bagian motor itu?
Di saat pikiran dan perasaan bercampur seperti es campur itu, saya harus mengendalikan diri. Saya sedang berpuasa, berpuasa Ramadhan.
Coba bayangkan! Di satu sisi perasaan dan pikiran saya sedang kusut seperti benang. Di sisi lain, saya harus bersabar, sebagai konsekwensi dari berpuasa.
Perasaan kalut itu kulepas dan kuserahkan kepada Allah. Saya meneruskan perjalanan menuju kantor dan menyelesaikan tugas. Sesampainya di kantor, saya tidak cerita pada bos, tidak cerita pada teman. Saya panggil supir dan segera memintanya untuk mengantar para TKW ke imigrasi.
Pengalaman ini banyak sekali mengandung hikmah. Diantaranya; jika kita sayang pada sesuatu atau pada seseorang, maka janganlah berlebihan. Sebab bila berlebihan, kita akan merasakan berat untuk melepaskannya. Karena itu kita harus menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Allah memberikan kepada kita sebagai sebuah titipan. Yang namanya titipan, suatu saat pemiliknya akan mengambil kembali. Kata seorang ulama, segala yang ada di dunia adalah titipan. Kita hanya diberikan hak guna pakai saja, bukan hak milik.
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang dilombakan
Ledakan bom di Indonesia tidak saja membuat penduduk dunia terguncang, memeras air mata serta menyisakan beribu-ribu pertanyaan. Tetapi ternyata bisa juga mengundang tawa anak manusia. Pengalaman ini terjadi tepat beberapa hari setelah ledakan yang terjadi di kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ). Saat itu saya bekerja di salah satu perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di kawasan Jakarta Selatan. Perusahaan jasa ini melayani setiap warga negara Indonesia yang ingin bekerja ke luar negri. Tugas utama saya adalah membawa paspor ke Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA), guna memperoleh izin masuk para TKI ke negara Saudi. Begitulah jika kita ingin pergi ke luar negri. Setiap orang harus mempunyai surat izin masuk dari kedutaan negara yang dituju. Untuk memperlancar tugas, perusahaan memberi saya sebuah motor. Demikian pula dengan teman-teman saya yang berasal dari PJTKI yang lainnya. Mereka rata-rata diberi fasilitas sebuah motor oleh perusahaannya. Motor merupakan alat transportasi yang penting bagi kami. Karena waktu yang disediakan KBSA -untuk pengurusan TKI- terbatas. Sehingga kami tidak boleh terlambat.
Bila para petugas berbagai macam PJTKI datang ke KBSA ini, maka penuhlah halaman kedutaan dengan berbagai macam motor. Baik motor keluaran baru maupun keluaran lama. Ada motor yang terawat, adapula yang tak terawat, semuanya deh ada di situ. Motor saya termasuk motor keluaran baru, namun motor itu tak terawat. Sehingga ada cacat di sana-sini. Rem belakang sudah tak berfungsi. Ekor bagian belakang motor sudah tidak ada.
Sejak peristiwa peledakan kantor BEJ, penjagaan di KBSA menjadi semakin ketat. Kami harus diperiksa satu persatu oleh satpam warga negara Saudi dengan menggunakan detektor. Kemudian kami harus melewati gerbang detektor. Bila terdengar tanda sesuatu, maka kami diperiksa ulang. Atau kami disuruh keluar terlebih dahulu, untuk meninggalkan barang-barang yang menjadi sumber penyebab nyala atau bunyinya alat detektor. Begitulah tiap hari.
Pada suatu hari, salah seorang satpam warga negara Saudi keluar melihat keadaan. Ketika ia sampai di halaman kedutaan, tiba-tiba ia menunjuk sebuah motor yang letaknya sejajar dengan pintu gerbang kedutaan. Lalu ia mengisyaratkan agar motor itu dipindahkan ke tempat yang lain. “Eh, itu motor lo Ya!”, teriak salah seorang teman saya. “Dia minta motor lo dipindahin. Dia takut motor lo ada bomnya, kali”, teriak teman saya yang lain. Mendengar ungkapan ini tertawalah teman-teman saya yang lain. Maklum motor saya termasuk yang terjelek diantara motor-motor yang lain. Sehingga mungkin wajar, kalau motor saya dicurigai ada bomnya. Dengan perasaan malu dan sedikit sedih saya pindahkan motor itu. Oh ….motorku malang.
Motorku ini juga hampir mencelakan temanku. Suatu ketika motorku dipinjam oleh seorang teman. Dia bawa ngebut motor itu. Sampai pada suatu saat dia harus mengerem, namun ternyata rem belakang tidak lagi berfungsi. Temanku kaget, namun dengan refleks dia menurunkan 'gigi' hingga posisi gigi netral. Hingga akhirnya, dia terhindar dari kecelakaan.
Begitu kami bertemu, dia berkata, "Ya! Motor loh nggak ada rem belakangnya ya?"
"Oh ya, sorry Nang. Gue lupa ngasih tahu loh."
"Gue hampir nabrak. Motor lagi gue bawa ngebut. Pas gue mau rem belakang, ternyata remnya nggak ada. Tadinya gue pakai rem depan, tapi gue ngeri, motornya akan berputar dan gue bisa celaka. Akhirnya gigi motor gue turunin sampai gigi netral."
"Sekali lagi, sory ya Nang."
"Nggak masalah Ya."
Kejadian di atas menyangkut motor kantor yang biasa kupakai. Motorku yang malang. Namun ternyata, ketika saya memiliki motor sendiri, nasibnya tidak jauh berbeda dengan motor kantor itu. Bahkan lebih parah.
Suatu ketika, saya diminta bos untuk datang lebih pagi. Saya diminta untuk mengantarkan para TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke kantor imigrasi.
Saya berangkat dengan motor kesayangan. Dari jalan Jatiwaringin menuju jalan Kampung Sawah. Motor yang kugunakan adalah motor tahun 80’an. Pada saat kupakai usianya sudah remaja, sekitar 20 tahunan. Walau harganya murah, namun saya sangat membanggakannya.
Pagi-pagi sekali, saya beri minum motor itu hingga perutnya kembung alias full tank. Suasana pagi yang sejuk itu, tidak pernah terpikir olehku akan menjadi hari yang menyedihkan. Bagiku hari itu adalah hari uji kesabaran. Betapa tidak, di saat badan lelah, perut lapar dan terasa ngantuk, musibah itu terjadi.
Motor saya arahkan ke pasar Pondok Gede. Sesampai di jalan Gamprit, saya berbelok ke kiri. Saya ingin memotong jalan dan akan mengambil jalan yang tidak terlalu macet.
Selama perjalanan tidak banyak mengalami halangan. Baik dari segi macet maupun dari segi jalannya. Jalan yang kulalai hingga persimpangan Tol Jatiwarna semuanya mulus, tidak ada yang berlubang. Namun bagitu saya masuk jalan Kampung Sawah, jalanan mulai banyak ‘bekas jerawatnya’. Baru saja bebas dari satu lubang, saya memasuki jalanan yang penuh batu. Jika batu itu hanya kecil-kecil, tidak masalah. Tapi batu-batunya itu ada yang besar, ada yang sebesar kepalan tangan dan ada pula yang kerikil. Kekesalan melewati jalan ini, semakin sempurna. Karena jalanan ini juga dilengkapi dengan ‘polisi tidurnya’. Karena gundukan polisi tidur, jalan berbatu serta jalan yang berlubang itulah, motorku beberapa kali terguncang.
Hingga pada suatu ketika, saya merasakan punggung terasa hangat. Tak lama berselang, orang-orang yang berada di pinggir jalan berteriak api! api!. Sejurus kemudian, api sudah berada diantara pahaku. Dengan refleks motor itu kulepaskan dan langsung kusambar tas. Motorku terus terbakar. Mau mencari air di selokan tidak kutemui. Air selokannya kering. Saya melihat ada setumpuk pasir di dekat sana, tapi pasir itu telah mengeras. Walhasil, motorku itu terus terbakar. Bensin yang berada di tangki motorku, nampaknya membuat si jago merah semakin semangat beraksi. Aku pasrah.
Tubuhku lemas. Lemas bukan karena melihat peristiwa yang mengejutkan itu saja. Tapi memang pada saat itu saya sedang berpuasa. Saat itu bulan Ramadhan.
Berbagai perasaan yang kurasakan. Kesal, marah, bingung, sedih dan menyesal. Bingung karena saya harus menyelesaikan tugas dari bos. Sebab bila tugas tidak diselesaikan, bos tentu akan marah. Bingung bagaimana saya melaporkan kejadian ini kepada orang tua. Karena memang motor itu pemberian orang tuaku. Sedih karena motor itu belum lama ‘jadian’ denganku. Belum lagi genap 6 bulan, ‘kekasihku itu’ telah pergi meninggalkanku. Saya lagi sayang-sayangnya dengan motor itu. Walau larinya tidak terlalu kencang, namun dia telah mendampingiku kemana saja kupergi. Baik tempat yang jauh maupun yang dekat. Kesal, marah dan menyesal, mengapa saya tidak teliti pada motor itu? Mengapa saya tidak periksa seluruh bagian motor itu?
Di saat pikiran dan perasaan bercampur seperti es campur itu, saya harus mengendalikan diri. Saya sedang berpuasa, berpuasa Ramadhan.
Coba bayangkan! Di satu sisi perasaan dan pikiran saya sedang kusut seperti benang. Di sisi lain, saya harus bersabar, sebagai konsekwensi dari berpuasa.
Perasaan kalut itu kulepas dan kuserahkan kepada Allah. Saya meneruskan perjalanan menuju kantor dan menyelesaikan tugas. Sesampainya di kantor, saya tidak cerita pada bos, tidak cerita pada teman. Saya panggil supir dan segera memintanya untuk mengantar para TKW ke imigrasi.
Pengalaman ini banyak sekali mengandung hikmah. Diantaranya; jika kita sayang pada sesuatu atau pada seseorang, maka janganlah berlebihan. Sebab bila berlebihan, kita akan merasakan berat untuk melepaskannya. Karena itu kita harus menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Allah memberikan kepada kita sebagai sebuah titipan. Yang namanya titipan, suatu saat pemiliknya akan mengambil kembali. Kata seorang ulama, segala yang ada di dunia adalah titipan. Kita hanya diberikan hak guna pakai saja, bukan hak milik.
Tulisan ini merupakan salah satu dari 5 tulisan yang dilombakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar