Hari ini tanggal 28-03-2008, aku mendengar dan menyaksikan sebuah berita di salah satu stasiun televisi. Di berita itu dijelaskan ada sekelompok orang yang mencari nafkah dengan mengais-mengais sampah. Semua benda yang dapat dimanfaatkan, dipilih, diambil dan dibersihkan. Salah satu benda yang dipilih adalah plastik. Gelas bekas wadah air mineral, botol bekas wadah air minum termasuk benda yang dipilih. Setelah dipilih, semua plastik itu, digunting atau dipotong hingga membentuk selembar plastik. Botol misalnya, digunting dari mulut botol hingga lapisan botol yang paling bawah dan dibuka hingga berbentuk lembaran plastik. demikian plastik-plastik lainnya. Setelah itu, platik-plastik tersebut dibersihkan dan dicuci hingga bersih. Proses selanjutnya adalah dijemur dan dilanjutkan dengan penimbangan.
Reporter TV swasta itu bertanya, "Berapa kg plastik yang diperoleh selama 1 minggu?" Pemulung itu menjawab, "5 ton."
"Berapa harga plastik per-kg nya?"
"1 kgnya dihargai dengan Rp 5000,-"
Sang reporter terkejut, "Waaah! Berarti dalam seminggu bisa mengantongi uang sebanyak Rp 5 juta."
Benda lain yang dikumpulkan adalah besi, termasuk seng, tong bekas dan sejenisnya. Reporter itu kembali bertanya, "Berapa kg besi yang dikirim dalam satu kiriman?"
"8 ton hingga 10 ton."
"Berapa banyak uang yang diperoleh dalam tiap kg-nya?"
"Sekitar ribuan."
Kembali reporter itu terkejut, "Waaah! Berarti dalam sekali kirim bisa mengantongi uang sebanyak jutaan."
Besi yang dikumpulkan itu dijual ke pabrik-pabrik. Plastik-plastik yang dijual untuk di daur ulang, mungkin dijual ke pabrik pula.
Coba perhatikan! Pekerjaan mereka nampaknya memalukan, menjijikkan, tidak memiliki prestise, tidak keren. Tapi, lihat penghasilan mereka. Penghasilan mereka mungkin lebih besar dari penghasilan kita. Oleh karena itu, janganlah kita menilai seseorang dari kulit luarnya saja! Begitu kata-kata yang biasa diucapkan oleh Tukul.
Saya punya tetangga seorang pedagang sayuran. Penghasilannya diperoleh dari menjual sayur-sayuran, ikan, daging, pendek kata segala kebutuhan makanan atau masakan ibu-ibu rumah tangga. Apa yang membuat saya kagum? Salah satu anaknya telah berhasil lulus dari perguruan tinggi.
Tetangga saya yang lain bekerja sebagai buruh bangunan. Tapi apa yang membuat saya kagum? Salah satu anaknya telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Luaaar biasa.
Jika kita perhatikan jenis pekerjaan orang-orang di atas, kita mungkin berkesimpulan bahwa pekerjaan yang mereka geluti adalah pekerjaan kasar. Mungkin diantara kita yang berpendidikan enggan untuk menjalani pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Banyak alasan yang mereka ajukan. Tidak sesuai dengan pendidikanlah, tidak prestise lah atau alasan yang bermula dari salah persepsi tentang pekerjaan kasar. Persepsi mereka bahwa pekerjaan kasar hanya menghasilkan pendapatan yang kecil.
Pendapatan yang kecil terkadang menjadi alasan seseorang untuk tidak menjalani suatu jenis pekerjaan. Dia lebih memilih untuk menganggur daripada bekerja dengan pendapatan yang kecil. Padahal Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Muadz ra. tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu'adz. Beliau bersabda, "(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah swt."
Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh puasa atau shalat. " Kemudian beliau ditanya, "Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Bekerja mencari nafkah penghidupan." (HR Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah)
Kedua keterangan di atas menunjukkan bahwa yang terpenting adalah bekerja. 2 keterangan di atas menunjukkan hanya mendorong kita untuk bekerja, tidak membicarakan masalah pendapatan yang diperoleh dari bekerja. Jadi yang terpenting tetap bekerja daripada bekerja tetap. Setelah itu barulah kita pikirkan mengenai besarnya penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang kita geluti.
Arnab adalah singkatan dari namaku dan orang tuaku. Sedangkan gaizir adalah nama kakekku. Adapun Arnab secara etimologi dalam bahasa Arabnya berarti kelinci. Kelinci adalah hewan yang banyak dan cepat mempunyai keturunan. Dengan menggunakan nama ini, aku berharap dapat menjadi penulis yang produktif sebagaimana kelinci juga produktif
Jumat, 28 Maret 2008
Senin, 17 Maret 2008
HARGA KASIH SAYANG
Harga Kasih Sayang......
Gaji Papa Berapa?Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuahperusahaan swasta terkemuka diJakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidakseperti biasanya, Sarah,putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SDmembukakan pintu untuknya.Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama."Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil menciumanaknya.Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang danbaru terjaga ketikaia akan berangkat ke kantor pagi hari.Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga,Sarah menjawab, "Akununggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sihgaji Papa ?""Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uanglagi, ya ?""Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat."Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papabekerja sekitar 10 jam dandibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung22 hari kerja. Sabtudan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur.Jadi, gaji Papa dalam satubulan berapa, hayo ?"Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari mejabelajar sementaraPapanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. KetikaAndrew beranjakmenuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlarimengikutinya. "Kalo satuhari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berartisatu jam Papa digajiRp.40.000,- dong" katanya."Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur"perintah AndrewTetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikanPapanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uangRp. 5.000,- enggak ?""Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa mintauang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah"."Tapi Papa..."Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !"hardiknya mengejutkanSarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia punmenengok Sarah dikamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur.Sarah didapati sedangterisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,-di tangannya.Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu,Andrew berkata,"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buatapa sih minta uangmalam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kanbisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nantiaku kembalikan kalausudah menabung lagi dari uang jajan selama mingguini"."lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut."Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa mainular tangga. Tigapuluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papaitu sangat berharga.Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku,hanya ada Rp. 15.000,-tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp.40.000,- maka setengah jamaku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabungankukurang Rp. 5.000,-makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.Andrew pun terdiam. ia terdiam kehilangan kata-kata.Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaanharu. Dia barumenyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikanselama ini, tidak cukupuntuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
KISAH INI DARI FEB FEMALE
Gaji Papa Berapa?Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuahperusahaan swasta terkemuka diJakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidakseperti biasanya, Sarah,putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SDmembukakan pintu untuknya.Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama."Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil menciumanaknya.Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang danbaru terjaga ketikaia akan berangkat ke kantor pagi hari.Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga,Sarah menjawab, "Akununggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sihgaji Papa ?""Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uanglagi, ya ?""Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat."Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papabekerja sekitar 10 jam dandibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung22 hari kerja. Sabtudan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur.Jadi, gaji Papa dalam satubulan berapa, hayo ?"Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari mejabelajar sementaraPapanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. KetikaAndrew beranjakmenuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlarimengikutinya. "Kalo satuhari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berartisatu jam Papa digajiRp.40.000,- dong" katanya."Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur"perintah AndrewTetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikanPapanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uangRp. 5.000,- enggak ?""Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa mintauang malam-malam begini? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah"."Tapi Papa..."Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !"hardiknya mengejutkanSarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia punmenengok Sarah dikamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur.Sarah didapati sedangterisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,-di tangannya.Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu,Andrew berkata,"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buatapa sih minta uangmalam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kanbisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nantiaku kembalikan kalausudah menabung lagi dari uang jajan selama mingguini"."lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut."Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa mainular tangga. Tigapuluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papaitu sangat berharga.Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku,hanya ada Rp. 15.000,-tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp.40.000,- maka setengah jamaku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabungankukurang Rp. 5.000,-makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.Andrew pun terdiam. ia terdiam kehilangan kata-kata.Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaanharu. Dia barumenyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikanselama ini, tidak cukupuntuk "membeli" kebahagiaan anaknya.
KISAH INI DARI FEB FEMALE
Sabtu, 15 Maret 2008
SAMA TAPI BEDA
Kita sering melihat banyak orang. Perbuatan mereka bermacam-macam. Pendapat mereka bermacam-macam. Diantara yang bermacam-macam itu, terdapat perbuatan dan pendapat yang sama. Tapi coba kita renungkan, adakah landasan, motivasi mereka sama?
Seorang politikus -menjelang Pemilu- yang memberi bantuan kepada anak yatim, apakah sama dengan seorang muslim yang ikhlas memberi bantuan kepada anak yatim; walau hanya dengan Rp 10 ribu ?
Kapitalis Barat mengatakan bahwa mereka menghargai sebuah musyawarah dan dalam Islam pun terdapat musyawarah. Tapi, apakah keduanya sama? Tidak!!! Musyawarah yang diusung oleh ideologi Kapitalis berlandaskan ide sekularisme; ide memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Sedangkan Islam tidak seperti itu. Agama tidak pernah dipisahkan dari kehidupan dan negara.
Coba bayangkan kalau kaum muslimin menganut ide demokrasi. Padahal inti dari ide demokrasi adalah menyerahkan pembuatan peraturan, UU kepada manusia atau wakil rakyat. Padahal kita diajarkan untuk mengembalikan segala urusan hanya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Bagaimana kalau UU atau peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan Islam? Pernah baca penjelasan mengenai surat At-Taubah ayat 31?
Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang Nasrani menyembah para pendetanya. Orang-orang Yahudi menyembah para rahibnya. Salah seorang sahabat Rasulullah yang ex Nasrani -Adi bin Hatim ra.- protes kepada Rasulullah, "Orang-orang Nasrani tidak menyembah para pendetanya kok!" Rasulullah bersabda, "Para pendeta ahli kitab mengharamkan segala yang dihalalkan oleh Allah. Mereka juga menghalalkan segala yang diharamkan oleh Allah. Kemudian para penganutnya mengikuti pendapat para pendeta itu. Itulah arti penyembahan orang-orang Nasrani dan Yahudi."
Amerika seringkali bertindak, campur tangan terhadap negara lain dengan dalih perdamaian dunia, keamanan dunia. Tapi nyatanya. Dengan campur tangannya, Amerika dapat membuat pangkalan militer di daerah Timur Tengah, Amerika dapat kompensasi minyak/gas dari negara yang "dibantu".
Coba bayangkan kalau Amerika mempunyai pangkalan militer di luar wilayahnya? Bagaimana kalau pangkalan militer itu berada di wilayah kaum muslimin, kemudian terjadi peperangan antara Amerika dengan kaum muslimin? Sementara itu, Amerika menyerang kaum muslimin dari pangkalan militer itu?
Berhati-hatilah pada perbuatan atau pendapat musuh-musuh Islam yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Hati-hatilah pada opini yang dikembangkan barat (baca musuh Islam). Apa latar belakang/ide opini dan pendapat mereka?
Seorang politikus -menjelang Pemilu- yang memberi bantuan kepada anak yatim, apakah sama dengan seorang muslim yang ikhlas memberi bantuan kepada anak yatim; walau hanya dengan Rp 10 ribu ?
Kapitalis Barat mengatakan bahwa mereka menghargai sebuah musyawarah dan dalam Islam pun terdapat musyawarah. Tapi, apakah keduanya sama? Tidak!!! Musyawarah yang diusung oleh ideologi Kapitalis berlandaskan ide sekularisme; ide memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Sedangkan Islam tidak seperti itu. Agama tidak pernah dipisahkan dari kehidupan dan negara.
Coba bayangkan kalau kaum muslimin menganut ide demokrasi. Padahal inti dari ide demokrasi adalah menyerahkan pembuatan peraturan, UU kepada manusia atau wakil rakyat. Padahal kita diajarkan untuk mengembalikan segala urusan hanya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Bagaimana kalau UU atau peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan Islam? Pernah baca penjelasan mengenai surat At-Taubah ayat 31?
Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang Nasrani menyembah para pendetanya. Orang-orang Yahudi menyembah para rahibnya. Salah seorang sahabat Rasulullah yang ex Nasrani -Adi bin Hatim ra.- protes kepada Rasulullah, "Orang-orang Nasrani tidak menyembah para pendetanya kok!" Rasulullah bersabda, "Para pendeta ahli kitab mengharamkan segala yang dihalalkan oleh Allah. Mereka juga menghalalkan segala yang diharamkan oleh Allah. Kemudian para penganutnya mengikuti pendapat para pendeta itu. Itulah arti penyembahan orang-orang Nasrani dan Yahudi."
Amerika seringkali bertindak, campur tangan terhadap negara lain dengan dalih perdamaian dunia, keamanan dunia. Tapi nyatanya. Dengan campur tangannya, Amerika dapat membuat pangkalan militer di daerah Timur Tengah, Amerika dapat kompensasi minyak/gas dari negara yang "dibantu".
Coba bayangkan kalau Amerika mempunyai pangkalan militer di luar wilayahnya? Bagaimana kalau pangkalan militer itu berada di wilayah kaum muslimin, kemudian terjadi peperangan antara Amerika dengan kaum muslimin? Sementara itu, Amerika menyerang kaum muslimin dari pangkalan militer itu?
Berhati-hatilah pada perbuatan atau pendapat musuh-musuh Islam yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Hati-hatilah pada opini yang dikembangkan barat (baca musuh Islam). Apa latar belakang/ide opini dan pendapat mereka?
Kamis, 13 Maret 2008
KECILKU DI BULAN RAMADHAN
PENGALAMAN KECILKU DI BULAN RAMADHAN
Oleh: Arya Noor Amarsyah Bustamam
arnabgaizir@yahoo.co.id
Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana kami sekeluarga menjalani hari-hari di bulan Ramadhan. Rumah kami terletak diantara stasiun Manggarai dengan stasiun Hias Rias Cikini. Namun rumah kami lebih dekat ke stasiuan Manggarai. Terletak di antara kedua stasiun itu, bukan berarti rumah kami terletak di tengah-tengah rel. Rumah kami terletak di pinggir rel kereta api. Maka tidak heran, bila teman-temanku datang ke rumah, mereka akan merasa terganggu. Berisik katanya. Lokasi rumah kami tepatnya terletak di belakang gedung Perintis Kemerdekaan. Itu lho, tempat dibacakannya teks Proklamasi. Jika para pembaca berjalan-jalan ke gedung yang terletak di jalan Proklamasi ini, maka para pembaca dapat mengetahui bahwa di bagian belakang gedung Perintis Kemerdekaan itu terdapat jalan rel kereta api. Rel kereta api yang menghubungkan stasiun Manggarai dan stasiun Hias Rias Cikini. Nah, di sekitar itulah dulu kami tinggal.
Aku anak sulung dari dua bersaudara. Usiaku terpaut dua tahun dengan adikku. Kami berdua sama-sama ‘jagoan’ alias anak laki-laki. Kami biasa berdua. Pergi sekolah bersama, berangkat bersama untuk mengikuti kegiatan pramuka dan sudah tentu kami sering berkelahi. Senjata andalan adikku dalam berkelahi adalah menggigit. Namun namanya anak kecil, cepat bertengkar dan cepat pula berdamai.
Ada suatu peristiwa yang membuatku takut dan jera berkelahi dengan adikku. Dalam suatu perkelahian, aku pukul hidung adikku. Hidungnya berdarah. Rasa sayangku padanya begitu mendominasi diriku, sehingga timbullah rasa iba dan penyesalan yang tiada bertepi. Mulai saat itu, aku menjadi jera untuk berkelahi dengannya.
Walau kami sering berkelahi, namun kami kompak di bulan Ramadhan. Aku tidak ingat lagi mulai usia berapa kami berpuasa. Yang kuingat, kami tidak pernah merasakan puasa setengah hari. Makanya, ketika adzan maghrib berkumandang, kami segera berlarian. Maklum, anak kecil sedang kelaparan.
“Dug, dug, dug. Allahu Akbar…..Allahu Akbar!
“Bedug!” teriak kami.
Kami sama-sama berlari menuju pintu pagar dan terus berlari hingga ke bagian belakang rumah. Kami berlari menuju ke ruang makan. Memang rumah kami tidak terlalu besar. Hanya saja, rumah kami memanjang ke belakang. Bagian depan adalah areal yang biasa digarap oleh ibuku. Ibu membuat kebun kecil-kecilan. Berbagai macam tanaman ada di sana, termasuk sebuah pohon sirsak. Bagian selanjutnya adalah teras dan diikuti dengan ruang tamu. Di belakang ruang tamu terdapat kamarku dan adikku. Kami berada di kamar yang sama. Kami tidur di tempat tidur bertingkat. Aku di atas dan adikku di bawah. Di belakang kamarku ada kamar ayah dan ibuku. Nah, di belakang kamar inilah terdapat ruang makan. Ruang makanlah yang menjadi tujuan kami, ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang. Seolah kami sedang berlomba lari. Lomba lari jarak 100 m. Tanda dimulainya lomba ini bukanlah letusan pistol, tapi suara bedug dan adzan maghrib. Garis finish-nya adalah ruang makan. Begitu sampai di ruang makan, sirup yang sudah tersedia, langsung kami ‘sikat’. Kolak ubi pun tidak dapat bertahan lama. Dalam sekejap, 1 gelas kolak kami ‘gasak’.
Sesaat setelah kami shalat maghrib dan makan; aku, adikku dan seorang tetangga langsung berangkat ke masjid Sunda Kelapa. Jarak antara rumah kami dan masjid Sunda Kelapa cukup jauh, kurang lebih 2,5 km hingga 3 km. Karena itulah, kami berangkat secepat mungkin. Kami bertiga; aku, adikku dan tetanggaku yang bernama Sahono berangkat menuju ke masjid. Semuanya mengenakan celana pendek, dengan sarung dililit dipinggang dan sebuah sajadah kami genggam atau kami letakkan di atas pundak.
Kami berjalan sejajar dengan rel kereta api. Selanjutnya, masuk jalan seukuran gang. Melintasi Gg. Anyer 17 dan 16 dan terus berjalan hingga ke ujung gang. Sesampainya di ujung gang, kami memasuki jalan yang lebih besar. Jalan yang bisa dilalui oleh mobil. Namun, karena jalan tersebut buntu di ujung gang tadi, maka jarang sekali mobil yang melalui jalan itu. Jika pun ada mobil yang lalu lalang, itu berarti mobil milik penghuni di sekitar situ atau tamu dari penduduk daerah itu.
Kami bertiga terus menyusuri jalan itu. Berjalan melintasi Gg. Anyer III, Anyer II, Anyer I. Terus berjalan hingga sampai di ujung jalan. Di ujung jalan itu, berdirilah sebuah Sekolah Lanjutan Pertama, SLTP VIII namanya.
Bagaimana para pembaca? Terbayangkah oleh para pembaca jarak yang cukup jauh? Tapi bagi kami walaupun masih SD, jarak sejauh itu tidak menjadi masalah. Ayah biasa mendidik kami hidup prihatin. Kami biasa berjalan kaki, bila ke rumah nenek yang terletak di jalan Ungaran. Aku, adikku dan ayah terkadang berjalan kaki ke rumah mak ‘ngah (kakak perempuan dari ibu) yang terletak di jalan Kenari.
Namun perjalanan menuju masjid Sunda Kelapa tidak sampai di situ. Kami memasuki jalan Mangunsarkoro. Terus berjalan dengan dua kali menyeberangi jalan raya. Hingga akhirnya, kami sampai di masjid Sunda Kelapa.
Masjid Sunda Kelapa termasuk masjid yang cukup besar di Jakarta. Masjid ini memiliki halaman berumput yang cukup luas dan halaman tidak berumput yang juga cukup luas. Bangunan masjidnya sendiri terletak di bagian atas. Untuk sampai di ruang utama, kita harus melewati beberapa buah anak tangga. Ruang utama berada di tengah dan diapit oleh ruang selasar/beranda yang terletak di kanan kirinya. Kami biasanya shalat di selasar bagian kanan.
Di selasar bagian kanan itu, sudah menunggu 3 orang teman kami bahkan terkadang 6 orang teman. 3 orang teman itu terdiri adalah 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Arief. Dia teman sekelasku. Sedangkan kedua adiknya tidak setingkat dengan adikku, namun kami semua bersekolah di tempat yang sama. 3 orang lainnya lagi, juga 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Danny. Dia juga teman sekelasku. Sedangkan adiknya merupakan teman sekelas adikku. Danny bersaudara ini juga bersekolah di tempat yang sama dengan kami. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya suasana shalat Tarawih, bila semuanya berkumpul.
Ada saja yang membuat kami bercanda di saat shalat Tarawih. Mulai dari meneriakkan kata ‘aamiin’ dengan tidak wajar, bersenggol-senggolan dalam shalat, hingga tertawa-tawa dalam shalat. Sampai pada suatu ketika, kami ditegur oleh penceramah Tarawih saat itu. Pembaca ingin tahu, siapa penceramah Tarawih saat itu?? Penceramah Tarawih saat itu adalah Bung Tomo. Itu lho, pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya. Dengan suaranya yang berwibawa, beliau bertanya pada kami, “Apakah kalian yang tadi berisik ketika shalat Tarawih sedang berlangsung?”
“Ya, benar,” jawab kami sambil mengangguk tertunduk.
Keesokkan harinya, kami tetap menunaikan shalat Tarawih. Namun kali ini tidak disertai dengan ‘aksi ribut kami’. Kami menunaikan shalat Tarawih dengan tenang. Seusai menunaikan shalat Tarawih, bung Tomo menemui kami kembali. Tapi kali ini bukan untuk menegur kami. Beliau menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang, sebagai imbalan karena kami tidak melakukan aksi ribut. Itulah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.
Usai menunaikan shalat, kami semuanya pergi menuju ke bagian sekretariat masjid Sunda Kelapa. Sebagai anak SD, kami ditugaskan oleh guru agama untuk meminta tanda tangan penceramah dan stempel masjid. Tanda tangan penceramah dan stempel masjid ini merupakan bukti bahwa kami telah menunaikan shalat Tarawih. Berapa kali dalam bulan Ramadhan kami menunaikan shalat Tarawih, semuanya dapat dilihat dalam lembaran yang diberikan oleh guru agama. Dalam lembaran ini terdapat beberapa kolom. Kolom hari pertama hingga hari terakhir bulan Ramadhan, judul ceramah, tanda tangan penceramah dan stempel masjid.
Ketika sampai di sekretariat masjid, kami berebutan meminta tanda tangan. Karena tidak hanya dari sekolah kami saja yang diberi tugas oleh guru agama. Banyak sekolah lain yang juga ditugasi oleh guru agamanya. Banyak tangan terangkat pada saat itu memegang selembar kertas.
“Pak saya dulu pak!”
“Pak saya dulu pak!” teriak yang lain.
Penceramah Tarawih atau orang yang mewakilinya dikelilingi oleh puluhan anak-anak SD. Tidak ubahnya dengan seorang pencopet yang sedang dikeroyok oleh massa. Atau tidak ubahnya remah makanan yang dirubungi semut.
Setelah dewasa, terkadang aku berpikir. Mengapa aku dan adikku dapat menempuh jalan yang sebegitu jauh? Belum lagi dilanjutkan dengan aktivitas shalat yang juga menguras tenaga? Apakah karena mendapat tugas dari guru agama? Atau karena lainnya?
Setelah dipikir-pikir, jawabannya satu. Segala perbuatan -betapapun beratnya- yang dilakukan dengan senang hati, suka cita dan penuh keikhlasan, tidak akan terasa memberatkan. Hanya saja ada perbedaan dalam pengertian senang hati dan suka cita. Senang hati dan suka cita di saat kecil berawal dari bercanda. Sedangkan senang hati dan suka cita di saat dewasa berangkat dari keikhlasan karena Allah (itulah yang selalu kita upayakan).
Kalau malam hari diisi dengan shalat Tarawih, lain halnya siang hari di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan di masa kecilku dulu merupakan hari-hari libur. Walhasil, tidak ada satupun kegiatan sekolah yang kami lakukan. Apa yang kami lakukan di pagi atau siang hari di bulan Ramadhan? Salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan pada saat itu adalah menyewa komik. Ada komik serial si Tolol karya Djair, ada komik serial Mandala karya Man dan komik-komik lainnya. Biasanya serial komik-komik itu berjilid-jilid. Sehingga untuk menghabiskan satu judul komik, cukup memakan waktu. Bila sedang membaca komik, lapar dan haus sepertinya tidak dirasa. Jadi, berpuasa di siang hari tidak terasa melelahkan. Kalau lelah, kami tinggal tidur.
Bagi kami, kegiatan membaca bukanlah hal yang membosankan. Karena kedua orang tua kami, terutama ayah adalah seorang kutu buku. Seorang yang gemar membaca. Kalau para pembaca melihat koleksi buku ayah kami, mungkin akan terkagum-kagum. Banyak sekali koleksi buku ayah kami, ratusan jumlahnya. Suatu jumlah yang menurutku cukup banyak. Selain itu, aku dan adikku sering dibelikan komik, novel Lima Sekawan dan buku-buku lainnya. Sehingga membaca juga menjadi hobi kami.
Nampaknya gemar/hobi membaca perlu ditumbuhkan. Sehingga anak-anak, tunas-tunas muda tidak hanya melulu disuguhi oleh berbagai macam jenis games. Games bukan suatu hal yang tidak berguna, namun membaca juga tidak kalah pentingnya.
Bila sore hari telah tiba, saat-saat menjelang maghrib semakin dekat. Namun tidak berarti aku dan adikku dapat bersantai menunggu maghrib sambil menonton televisi. Bulan Ramadhan biasanya identik dengan sirup, batu es dan kolak. Berbuka puasa tanpa es sirup seperti kurang lengkap rasanya. Oleh karena itu, aku atau adikku diberi tugas untuk membeli es batu. Pada saat itu, kulkas atau lemari es masih merupakan barang yang mewah. Orang yang memiliki lemari es masih bisa dihitung. Jadi jika mau es batu, kita harus membelinya di depot-depot es.
Pukul 16.00 atau 16.30 adalah waktu yang tepat untuk berangkat membeli es batu. Untuk mencapai depot es terdekat, aku harus menempuh jalan sekitar 150 - 200 m.
Dengan membawa satu buah kantong plastik, aku berjalan menuju depot es yang terletak di jalan Tambak. Udara yang tidak terlalu panas dan terkadang disertai dengan buaian angin sepoi-sepoi, membuatku tidak merasa berat memikul tanggung jawab ini. Dengan langkah seperti orang yang tidak berpuasa, aku pun sampai di depot es itu. Kalau sedang beruntung, aku dapat segera mendapatkan esnya. Namun jika agak terlambat datang ke depot es, maka peminatnya akan semakin banyak. Itu berarti, persaingan untuk mendapatkan es juga semakin ketat. Bila ini terjadi -bahkan sering terjadi-, berebut untuk minta dilayani terlebih dahulu terciptalah. Aksi saling mendorong pun terkadang ikut mewarnai.
Setelah berhasil memperoleh sebongkah es batu, aku pun pulang dengan riang. Riang karena berhasil mengalahkan beberapa orang rival dan riang menyambut datangnya bedug adzan Maghrib.
Tulisan ini kubuat sebagai media diriku dan adikku untuk mengucapkan rasa hormat dan beribu-ribu terima kasih kepada kedua orang tua kami. Kedua orang tua yang telah mendidik dan menyayangi kami semenjak kecil. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami. Dan, semoga Allah menyayangi mereka, sebagaimana mereka menyayangi kami semenjak kecil. Aamiin.
TULISAN INI BERHASIL MASUK 10 BESAR DAN MENDUDUKI PERINGKAT KETUJUH
Oleh: Arya Noor Amarsyah Bustamam
arnabgaizir@yahoo.co.id
Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana kami sekeluarga menjalani hari-hari di bulan Ramadhan. Rumah kami terletak diantara stasiun Manggarai dengan stasiun Hias Rias Cikini. Namun rumah kami lebih dekat ke stasiuan Manggarai. Terletak di antara kedua stasiun itu, bukan berarti rumah kami terletak di tengah-tengah rel. Rumah kami terletak di pinggir rel kereta api. Maka tidak heran, bila teman-temanku datang ke rumah, mereka akan merasa terganggu. Berisik katanya. Lokasi rumah kami tepatnya terletak di belakang gedung Perintis Kemerdekaan. Itu lho, tempat dibacakannya teks Proklamasi. Jika para pembaca berjalan-jalan ke gedung yang terletak di jalan Proklamasi ini, maka para pembaca dapat mengetahui bahwa di bagian belakang gedung Perintis Kemerdekaan itu terdapat jalan rel kereta api. Rel kereta api yang menghubungkan stasiun Manggarai dan stasiun Hias Rias Cikini. Nah, di sekitar itulah dulu kami tinggal.
Aku anak sulung dari dua bersaudara. Usiaku terpaut dua tahun dengan adikku. Kami berdua sama-sama ‘jagoan’ alias anak laki-laki. Kami biasa berdua. Pergi sekolah bersama, berangkat bersama untuk mengikuti kegiatan pramuka dan sudah tentu kami sering berkelahi. Senjata andalan adikku dalam berkelahi adalah menggigit. Namun namanya anak kecil, cepat bertengkar dan cepat pula berdamai.
Ada suatu peristiwa yang membuatku takut dan jera berkelahi dengan adikku. Dalam suatu perkelahian, aku pukul hidung adikku. Hidungnya berdarah. Rasa sayangku padanya begitu mendominasi diriku, sehingga timbullah rasa iba dan penyesalan yang tiada bertepi. Mulai saat itu, aku menjadi jera untuk berkelahi dengannya.
Walau kami sering berkelahi, namun kami kompak di bulan Ramadhan. Aku tidak ingat lagi mulai usia berapa kami berpuasa. Yang kuingat, kami tidak pernah merasakan puasa setengah hari. Makanya, ketika adzan maghrib berkumandang, kami segera berlarian. Maklum, anak kecil sedang kelaparan.
“Dug, dug, dug. Allahu Akbar…..Allahu Akbar!
“Bedug!” teriak kami.
Kami sama-sama berlari menuju pintu pagar dan terus berlari hingga ke bagian belakang rumah. Kami berlari menuju ke ruang makan. Memang rumah kami tidak terlalu besar. Hanya saja, rumah kami memanjang ke belakang. Bagian depan adalah areal yang biasa digarap oleh ibuku. Ibu membuat kebun kecil-kecilan. Berbagai macam tanaman ada di sana, termasuk sebuah pohon sirsak. Bagian selanjutnya adalah teras dan diikuti dengan ruang tamu. Di belakang ruang tamu terdapat kamarku dan adikku. Kami berada di kamar yang sama. Kami tidur di tempat tidur bertingkat. Aku di atas dan adikku di bawah. Di belakang kamarku ada kamar ayah dan ibuku. Nah, di belakang kamar inilah terdapat ruang makan. Ruang makanlah yang menjadi tujuan kami, ketika mendengar adzan Maghrib berkumandang. Seolah kami sedang berlomba lari. Lomba lari jarak 100 m. Tanda dimulainya lomba ini bukanlah letusan pistol, tapi suara bedug dan adzan maghrib. Garis finish-nya adalah ruang makan. Begitu sampai di ruang makan, sirup yang sudah tersedia, langsung kami ‘sikat’. Kolak ubi pun tidak dapat bertahan lama. Dalam sekejap, 1 gelas kolak kami ‘gasak’.
Sesaat setelah kami shalat maghrib dan makan; aku, adikku dan seorang tetangga langsung berangkat ke masjid Sunda Kelapa. Jarak antara rumah kami dan masjid Sunda Kelapa cukup jauh, kurang lebih 2,5 km hingga 3 km. Karena itulah, kami berangkat secepat mungkin. Kami bertiga; aku, adikku dan tetanggaku yang bernama Sahono berangkat menuju ke masjid. Semuanya mengenakan celana pendek, dengan sarung dililit dipinggang dan sebuah sajadah kami genggam atau kami letakkan di atas pundak.
Kami berjalan sejajar dengan rel kereta api. Selanjutnya, masuk jalan seukuran gang. Melintasi Gg. Anyer 17 dan 16 dan terus berjalan hingga ke ujung gang. Sesampainya di ujung gang, kami memasuki jalan yang lebih besar. Jalan yang bisa dilalui oleh mobil. Namun, karena jalan tersebut buntu di ujung gang tadi, maka jarang sekali mobil yang melalui jalan itu. Jika pun ada mobil yang lalu lalang, itu berarti mobil milik penghuni di sekitar situ atau tamu dari penduduk daerah itu.
Kami bertiga terus menyusuri jalan itu. Berjalan melintasi Gg. Anyer III, Anyer II, Anyer I. Terus berjalan hingga sampai di ujung jalan. Di ujung jalan itu, berdirilah sebuah Sekolah Lanjutan Pertama, SLTP VIII namanya.
Bagaimana para pembaca? Terbayangkah oleh para pembaca jarak yang cukup jauh? Tapi bagi kami walaupun masih SD, jarak sejauh itu tidak menjadi masalah. Ayah biasa mendidik kami hidup prihatin. Kami biasa berjalan kaki, bila ke rumah nenek yang terletak di jalan Ungaran. Aku, adikku dan ayah terkadang berjalan kaki ke rumah mak ‘ngah (kakak perempuan dari ibu) yang terletak di jalan Kenari.
Namun perjalanan menuju masjid Sunda Kelapa tidak sampai di situ. Kami memasuki jalan Mangunsarkoro. Terus berjalan dengan dua kali menyeberangi jalan raya. Hingga akhirnya, kami sampai di masjid Sunda Kelapa.
Masjid Sunda Kelapa termasuk masjid yang cukup besar di Jakarta. Masjid ini memiliki halaman berumput yang cukup luas dan halaman tidak berumput yang juga cukup luas. Bangunan masjidnya sendiri terletak di bagian atas. Untuk sampai di ruang utama, kita harus melewati beberapa buah anak tangga. Ruang utama berada di tengah dan diapit oleh ruang selasar/beranda yang terletak di kanan kirinya. Kami biasanya shalat di selasar bagian kanan.
Di selasar bagian kanan itu, sudah menunggu 3 orang teman kami bahkan terkadang 6 orang teman. 3 orang teman itu terdiri adalah 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Arief. Dia teman sekelasku. Sedangkan kedua adiknya tidak setingkat dengan adikku, namun kami semua bersekolah di tempat yang sama. 3 orang lainnya lagi, juga 3 orang kakak beradik. Yang tertua bernama Danny. Dia juga teman sekelasku. Sedangkan adiknya merupakan teman sekelas adikku. Danny bersaudara ini juga bersekolah di tempat yang sama dengan kami. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya suasana shalat Tarawih, bila semuanya berkumpul.
Ada saja yang membuat kami bercanda di saat shalat Tarawih. Mulai dari meneriakkan kata ‘aamiin’ dengan tidak wajar, bersenggol-senggolan dalam shalat, hingga tertawa-tawa dalam shalat. Sampai pada suatu ketika, kami ditegur oleh penceramah Tarawih saat itu. Pembaca ingin tahu, siapa penceramah Tarawih saat itu?? Penceramah Tarawih saat itu adalah Bung Tomo. Itu lho, pahlawan yang dikenal dengan teriakan ‘Allahu Akbar’nya, ketika bertempur melawan Inggris pada 10 Nopember 1945, di Surabaya. Dengan suaranya yang berwibawa, beliau bertanya pada kami, “Apakah kalian yang tadi berisik ketika shalat Tarawih sedang berlangsung?”
“Ya, benar,” jawab kami sambil mengangguk tertunduk.
Keesokkan harinya, kami tetap menunaikan shalat Tarawih. Namun kali ini tidak disertai dengan ‘aksi ribut kami’. Kami menunaikan shalat Tarawih dengan tenang. Seusai menunaikan shalat Tarawih, bung Tomo menemui kami kembali. Tapi kali ini bukan untuk menegur kami. Beliau menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang, sebagai imbalan karena kami tidak melakukan aksi ribut. Itulah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan.
Usai menunaikan shalat, kami semuanya pergi menuju ke bagian sekretariat masjid Sunda Kelapa. Sebagai anak SD, kami ditugaskan oleh guru agama untuk meminta tanda tangan penceramah dan stempel masjid. Tanda tangan penceramah dan stempel masjid ini merupakan bukti bahwa kami telah menunaikan shalat Tarawih. Berapa kali dalam bulan Ramadhan kami menunaikan shalat Tarawih, semuanya dapat dilihat dalam lembaran yang diberikan oleh guru agama. Dalam lembaran ini terdapat beberapa kolom. Kolom hari pertama hingga hari terakhir bulan Ramadhan, judul ceramah, tanda tangan penceramah dan stempel masjid.
Ketika sampai di sekretariat masjid, kami berebutan meminta tanda tangan. Karena tidak hanya dari sekolah kami saja yang diberi tugas oleh guru agama. Banyak sekolah lain yang juga ditugasi oleh guru agamanya. Banyak tangan terangkat pada saat itu memegang selembar kertas.
“Pak saya dulu pak!”
“Pak saya dulu pak!” teriak yang lain.
Penceramah Tarawih atau orang yang mewakilinya dikelilingi oleh puluhan anak-anak SD. Tidak ubahnya dengan seorang pencopet yang sedang dikeroyok oleh massa. Atau tidak ubahnya remah makanan yang dirubungi semut.
Setelah dewasa, terkadang aku berpikir. Mengapa aku dan adikku dapat menempuh jalan yang sebegitu jauh? Belum lagi dilanjutkan dengan aktivitas shalat yang juga menguras tenaga? Apakah karena mendapat tugas dari guru agama? Atau karena lainnya?
Setelah dipikir-pikir, jawabannya satu. Segala perbuatan -betapapun beratnya- yang dilakukan dengan senang hati, suka cita dan penuh keikhlasan, tidak akan terasa memberatkan. Hanya saja ada perbedaan dalam pengertian senang hati dan suka cita. Senang hati dan suka cita di saat kecil berawal dari bercanda. Sedangkan senang hati dan suka cita di saat dewasa berangkat dari keikhlasan karena Allah (itulah yang selalu kita upayakan).
Kalau malam hari diisi dengan shalat Tarawih, lain halnya siang hari di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan di masa kecilku dulu merupakan hari-hari libur. Walhasil, tidak ada satupun kegiatan sekolah yang kami lakukan. Apa yang kami lakukan di pagi atau siang hari di bulan Ramadhan? Salah satu kegiatan yang biasa kami lakukan pada saat itu adalah menyewa komik. Ada komik serial si Tolol karya Djair, ada komik serial Mandala karya Man dan komik-komik lainnya. Biasanya serial komik-komik itu berjilid-jilid. Sehingga untuk menghabiskan satu judul komik, cukup memakan waktu. Bila sedang membaca komik, lapar dan haus sepertinya tidak dirasa. Jadi, berpuasa di siang hari tidak terasa melelahkan. Kalau lelah, kami tinggal tidur.
Bagi kami, kegiatan membaca bukanlah hal yang membosankan. Karena kedua orang tua kami, terutama ayah adalah seorang kutu buku. Seorang yang gemar membaca. Kalau para pembaca melihat koleksi buku ayah kami, mungkin akan terkagum-kagum. Banyak sekali koleksi buku ayah kami, ratusan jumlahnya. Suatu jumlah yang menurutku cukup banyak. Selain itu, aku dan adikku sering dibelikan komik, novel Lima Sekawan dan buku-buku lainnya. Sehingga membaca juga menjadi hobi kami.
Nampaknya gemar/hobi membaca perlu ditumbuhkan. Sehingga anak-anak, tunas-tunas muda tidak hanya melulu disuguhi oleh berbagai macam jenis games. Games bukan suatu hal yang tidak berguna, namun membaca juga tidak kalah pentingnya.
Bila sore hari telah tiba, saat-saat menjelang maghrib semakin dekat. Namun tidak berarti aku dan adikku dapat bersantai menunggu maghrib sambil menonton televisi. Bulan Ramadhan biasanya identik dengan sirup, batu es dan kolak. Berbuka puasa tanpa es sirup seperti kurang lengkap rasanya. Oleh karena itu, aku atau adikku diberi tugas untuk membeli es batu. Pada saat itu, kulkas atau lemari es masih merupakan barang yang mewah. Orang yang memiliki lemari es masih bisa dihitung. Jadi jika mau es batu, kita harus membelinya di depot-depot es.
Pukul 16.00 atau 16.30 adalah waktu yang tepat untuk berangkat membeli es batu. Untuk mencapai depot es terdekat, aku harus menempuh jalan sekitar 150 - 200 m.
Dengan membawa satu buah kantong plastik, aku berjalan menuju depot es yang terletak di jalan Tambak. Udara yang tidak terlalu panas dan terkadang disertai dengan buaian angin sepoi-sepoi, membuatku tidak merasa berat memikul tanggung jawab ini. Dengan langkah seperti orang yang tidak berpuasa, aku pun sampai di depot es itu. Kalau sedang beruntung, aku dapat segera mendapatkan esnya. Namun jika agak terlambat datang ke depot es, maka peminatnya akan semakin banyak. Itu berarti, persaingan untuk mendapatkan es juga semakin ketat. Bila ini terjadi -bahkan sering terjadi-, berebut untuk minta dilayani terlebih dahulu terciptalah. Aksi saling mendorong pun terkadang ikut mewarnai.
Setelah berhasil memperoleh sebongkah es batu, aku pun pulang dengan riang. Riang karena berhasil mengalahkan beberapa orang rival dan riang menyambut datangnya bedug adzan Maghrib.
Tulisan ini kubuat sebagai media diriku dan adikku untuk mengucapkan rasa hormat dan beribu-ribu terima kasih kepada kedua orang tua kami. Kedua orang tua yang telah mendidik dan menyayangi kami semenjak kecil. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami. Dan, semoga Allah menyayangi mereka, sebagaimana mereka menyayangi kami semenjak kecil. Aamiin.
TULISAN INI BERHASIL MASUK 10 BESAR DAN MENDUDUKI PERINGKAT KETUJUH
Langganan:
Postingan (Atom)